#27. Ini Terlalu Sakit
Malam hari terlihat sangat gelap tanpa bayangan, Sally duduk sendirian di kursi teras rumah. Indra pendengarannya berkali-kali lipat lebih sensitif dari biasanya.
"Siapa?" Tanya Sally, dia bisa mendengar langkah kaki mendekat.
"Ini Veer."
"Sama Pinky!" Sahut gadis cantik dari belakang Veer.
Sally tersenyum, ternyata dua orang kesayangannya, "Ayo masuk, Ibu lagi gak ada semisal mau minta orderan makanan buat anak-anak rumah sakit lagi."
"Kita mau ketemu kamu Sal."
Pinky berlari mendekati Sally, ingin membantu gadis tersebut berdiri dan masuk ke dalam rumah. Sally menepis lengan Pinky dengan lembut, berkata yakin, "Sally bisa sendiri, udah hafal berapa aja langkah yang di ambil kalau mau kemana aja di dalem rumah."
"Oke, aku jalan di belakang kamu ya kalo gitu." Pinky berdiri di belakang Sally, mengikuti dari belakang.
Veer ikut masuk menyusul para gadis, duduk di sofa dan meletakan kotak berisi martabak telur kesukaan Sally. Ia menarik Pinky untuk duduk di sampingnya. Sedikit berdehem untuk memulai pembicaraan serius, "Sally, pertama-tama, aku sama Pinky mau ngucapin terima kasih karena kamu dulu udah ngenalin kami satu sama lain dan membantu hubungan kami sampai saat ini. Kedua—"
Rasa geli tidak bisa Sally sembunyikan, netra hitamnya tidak fokus karena mengalami rabun senja. Semua yang tertangkap oleh mata kanannya hitam, seperti buta. "Kalian mau menikah?"
Pinky memekik senang, "Sally bisa tahu! Tuh kan, kamu nggak perlu kasih tahu dia Veer! Rencananya kita mau adain tunangan bulan depan. Tapi juga masih minta persetujuan dari Mama Vira dan Papa David."
"Sally selalu dukung semua keputusan kalian, dan pokoknya Veer sama Pinky harus janji nggak boleh marahan. Harus selesaikan masalah tanpa emosi."
Veer mengambil satu tangan Sally, meremas telapak tangan dingin di dalam genggamannya yang hangat, "Sal, kamu yakin mau nutupin semuanya dari Veen?"
"Yakin, Sally nantinya cuman jadi beban bagi Veen. Pasti juga buat malu Veen. Pria mana yang ingin mengurus wanita cacat? Tidak ada Veer. Sally cinta sama Veen, karena itu Sally mau Veen dapetin wanita terbaik sebagai pendamping hidup. Aruna juga cocok untuk dia."
"Aruna udah buat kamu luka, kalau bukan karena dia, kamu pasti sehat sampai sekarang."
"Veer, kamu lupa? Dulu siapa yang ajarin Sally untuk memaafkan dan menerima segalanya? Mencintai dan menerima diri sendiri atas apapun yang terjadi. Masa lalu biarkan berlalu, tidak baik menyimpan dendam, lebih baik memaafkan untuk mendapatkan kelegaan. Masak nggak malu lupa omongan sendiri?"
Benar saja, Veer menggaruk pipinya yang tidak gatal. Dia memang sedikit ceroboh dan hiperaktif beberapa tahun terakhir ini. Sangat manja kepada Sally dan Mama Vira.
Sally sendiri menjadi pribadi lebih dewasa, selalu berpikiran matang dalam mengambil keputusan.
Sifat mereka berdua seperti tertukar.
Tiga orang berbincang ringan di ruang tamu. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Veer dan Pinky pamit untuk pulang.
Dulu, selama dua tahun hidup tanpa ada bayangan Veen, Sally baru menyadari. Hatinya lebih condong ke Veen dalam mencintai. Di satu sisi dia harus menjaga perasaan Veer.
Jadi setelah kembali dari Singapura bersama Veer, Sally memperkenalkan Pinky pada sahabatnya. Gadis keturunan Cina tersebut sering di katakan mirip dengan dirinya.
Sally mencoba mendekatkan Veer dan Pinky semampu dia bisa, selalu membuat keduanya bersama-sama. Sehingga ketika dia berkata jujur bahwa hatinya ternyata mencintai Veen, agaknya Veer tidak akan terlalu kecewa sebab sudah ada Pinky di sisinya.
Hasil dari rencana Sally di luar ekspetasi, Veer benar-benar nyaman dengan Pinky, salah satu faktor utama pria tersebut menyukai Pinky adalah karena sifatnya begitu periang, dan wajahnya mirip Sally. Membuat Veer menjatuhkan hati pada gadis keturunan china itu.
Saat Veer meminta maaf karena mencintai gadis lain, Sally juga ikut menjelaskan maksud utamanya. Tujuan ia mendekatkan mereka berdua. Dan mengapa dulu dia menolak Veen demi Veer.
Dua manusia saling bersembunyi di balik dinding cinta yang berbeda. Saling mengelak di kenyataan, namun saling merindu di dalam kesunyian. Sally dan Veen. Mereka sama-sama saling menitipkan ungkapan cinta melalui angin malam.
Berharap angin bisa membawa kehangatan dari perasaan cinta keduanya.
Sally menutup pintu, mulai menghitung langkah menuju kamarnya.
Di dalam kamar, seperti biasa, jendela kamar akan tetap terbuka. Kedua lengan Sally terlipat dan bertumpu di pinggiran jendela, mendongak seakan saat ini dia masih bisa melihat bulan dan bintang gemerlap di langit.
Meski pada aslinya, semuanya nampak—
— gelap, sangat gelap.
Sally berujar pelan, "Tuhan, sampai saat ini, Sally masih kuat. Terima kasih telah memberikan Sally kesempatan hidup hingga sekarang. Dan untuk angin, jangan lupa sampaikan salam rindu Sally untuk Veen. Bilang sama dia ya? Sally cinta Veen, ucapin makasih karena telah memberikan Sally kesempatan merasakan rasanya mencintai dan merindu."
Angin malam berhembus kencang, menyapu fitur halus dari wajah Sally. Menderu masuk ke dalam kamar, membawa beberapa helai rambutnya menari-nari. Angin telah menjawab, “pesanmu di kabulkan, angin akan menyampaikan.”
Sedetik kemudian angin mereda, sapuannya berbelok ke arah lain. Bergerak kencang membuat malam dingin semakin dingin. Sepi dan sunyi.
Tirai jendela melambung tinggi di terjang angin. Jendela berderak kecil menghantuk-hantuk dinding.
Veen melipat sajadah. Pria itu baru saja selesai menunaikan sholat sunnah dua rekaat sebelum tidur. Pakaian putih bersih memberikan kesan lembut di gabung wajah tampannya.
Berjalan mendekati jendela, rambut hitam legam tersibak ke belakang karena sapuan angin. Rasa dingin menusuk kulit justru memberikan rasa hangat di dalam hatinya. Netra sekelam langit malam terangkat, menatap bulan purnama di atas sana.
Dengan ini, angin pergi, misinya untuk menyampaikan rasa rindu di selimuti hangatnya kasih sayang cinta dari Sally telah di terima oleh Veen.
Bulan menjadi saksi, dan ratusan bintang menjadi pendukungnya. Sedangkan Tuhan mengawasi dua manusia ciptaannya, merasa sudah cukup untuk menguji ketulusan cinta dan kasih sayang antara keduanya.
Inikah masa untuk menyatukan dua manusia saling mencinta?
***
"Ayo masuk, Veen. Jangan cuma berdiri di sana," Kian menghampiri Veen, menggiringnya untuk duduk di dalam restoran. Di belakang ada Aruna yang mengikuti.
Kian melenyapkan kelembutan dan keramahan. Melengos meninggalkan Veen juga Aruna yang baru saja datang. Dia tidak bisa memaafkan tersangka utama penyebab Sally kehilangan satu mata, sampai mengalami rabun senja dan tidak bisa lagi melihat malam hari.
Dari pintu dapur, Sally keluar di ikuti Juan. Bercanda dan berbicara membuat suasana di antara keduanya hidup dan tidak membosankan.
7 tahun berlalu, Juan telah memiliki calon istri begitu juga Dewa, untuk temannya sejak SMP ini. Sally cukup turut prihatin, Dewa dipaksa menikah dengan gadis yang tidak ia kenali, sekaligus tidak dia cintai.
Veen menangkap kedekatan Sally dan Juan. Kebencian tidak bisa untuk di sangkal. Mana mungkin Sally bisa sesantai itu? Sangat intim pada pria lain dengan status telah menjadi kekasih Veer.
Dia hampir lupa, Sally memang pandai memainkan hati seorang pria.
Semua kesalahpahaman terjalin semakin dalam, Sally sudah meminta Veer dan Mama Vira untuk berjanji serta lainnya untuk tidak mengungkap apapun mengenai kondisinya.
Biarkan semua berlalu, mengalir mengikuti takdir dan biarkan waktu mengungkapkan semua kebenaran.
Juan pamit untuk pulang, Sally berbalik. Tersenyum kepada Veen dan Aruna lalu kembali masuk ke dalam dapur.
"Una seneng karena Sally nggak marah dan senyum ke Una. Veen, makasih ya, udah ngasih kesempatan untuk Una." Aruna memeluk lengan kiri Veen, menyandarkan kepala di pundak lebar milik kekasihnya.
"Aku mau ke dapur dulu, ketemu sama Ibu Kian. Lupa ngomong kalau Mama mau pesen catering untuk ulang tahun butik. Kamu tunggu disini."
"Iya, Veen. Cepet balik ya."
Veen menuju dapur, mengedarkan pandangan sesampainya di dalam. Para pegawai berfikir bahwa Veen adalah Veer, jadi Mbak Naila maju.
"Mau cari Sally ya? Buka aja pintu belakang, dia suka nyiramin tanaman bunga buat di taruh di depan nantinya."
Mendapatkan sikap acuh. Mbak Naila menggaruk rambut, mengedik bahu acuh dan kembali berkutat pada pekerjaannya.
Sally menyirami banyak macam tanaman bunga, semua bunga dalam pot adalah hasil dari tanamannya sendiri. Terasa menyenangkan merawat banyak bunga, ketika besar, bunga akan di pindahkan ke depan restoran sebagai hiasan.
Pintu terbuka membuat Sally berhenti menyirami, menaruh wadah air di tanah, menepuk-nepuk tangan kemudian berbalik. Sejenak, wajahnya kaku, Sally segera tersenyum lembut mendapati Veen datang.
"Veen, cari Sally ya?"
Veen tidak menjawab, mendekat dan mencekal tangan kiri Sally. Cengkraman tangannya tidak bisa di bilang ringan. Baru beberapa detik di cengkeram, lengan putih telah memerah memar.
"Sally, sejak kapan kamu jadi murahan? Dekat dengan banyak pria meski sudah memiliki Veer? Sepertinya kau sangat suka membuat banyak pria menyukaimu lalu akan di campakkan olehmu." Kata-kata Veen cukup menohok. Di sertai desisan tajam menggambarkan ketidak senangan yang sangat besar di dalam hati.
"Sally kayak gitu ya di mana Veen?" Tidak memberikan jawaban. Sally malah melemparkan pertanyaan. Tangan kanannya meremas kain rok.
"Iya!" Veen menjawab yakin tanpa keraguan.
Sally mendongak, mata kucingnya memerah hampir menangis. Sangat kecewa mendengar kata murahan keluar langsung dari mulut pria tercinta. Bibitnya bergetar saat berujar, "Kalau begitu, anggap saja demikian. Sebanyak apapun Sally jelasin, Veen pasti juga gak akan perduli. Karena Veen benci sama Sally."
Cekalan pada tangan kirinya semakin erat, wajah pucatnya sedikit memerah.
Veen mendelik tajam, merespon jawaban dari Sally, "Oh, lalu sekarang kamu mau bilang kalau kamu nggak cinta lagi sama Veer? Kamu lupa pengorbanan dia buat diri kamu? Dan kamu membalas cinta Veer dengan bergaul bersama banyak pria?"
"Veen,"
"Apa? Mau bilang bukan begitu maksudnya? Iya?! Melukai aku belum cukup untuk kamu?"
"Dengerin Sally,"
"Gak ada yang perlu di dengerin. Harusnya kamu malu mencuri banyak perhatian pria dengan kondisi mata cacat kamu."
Sudah.
Di olok mata cacat ribuan kali oleh orang lain masih mampu untuk Sally abaikan. Tapi hanya dengan satu olokan dari Veen membuat hatinya runtuh. Untuk saat ini, biarkan Sally merasa kecewa karena telah memiliki satu mata cacat.
Begitu menyakitkan di katakan cacat oleh orang yang kita cintai.
Sally menarik tangannya, pipi putihnya sudah di aliri arus air mata, "Sally memang cacat, dan wanita cacat ini meminta maaf kepada Veen karena telah berani melukai pria sempurna seperti kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top