#26. Bukan Maksud Melukai
"Jelasin ke gue tentang kalian berdua." Veer duduk terlebih dahulu di sofa ruang tamu, mereka saat ini berada di rumah Vira tinggal.
Veen ikut duduk, melepas jaketnya lalu melipat dan menaruhnya ke atas meja. Tidak menganggap serius perkataan penuh tuntutan akan jawaban dari adiknya.
Ia meregangkan tubuh, duduk bersandar santai di punggung sofa, "Jelasin apa lagi? Lo ada mata kan?"
"Gimana lo bisa ketemu sama Aruna lagi?"
"Kita ketemu di kampus, dia kuliah di sana pake beasiswa, keluarganya jatuh miskin karena Papa kita. Asal lo tahu, Aruna itu anaknya baik, dia lukain Sally semata-mata terdorong sama rasa cemburu sesaat. Aruna juga minta maaf terus-menerus ke gua, dia juga udah tahu kalau kita kembar."
"Lo percaya sama dia? Semudah itu? Udah lupa hasil dari 'rasa cemburu sesaat' Aruna?" Veer sengaja menekan kalimat rasa cemburu sesaat. Dia baru tahu kalau kakaknya adalah orang yang sangat pemaaf. Sejak kapan?
Apa karena Aruna berwajah manis?
Tidak, Veer tahu Aruna telah menyukai dirinya sejak SMP. Gadis tersebut pernah memberikan coklat dan surat cinta, namun Veer tidak mengidahkan. Hatinya terpaku untuk Sally semata. Banyak sekali tingkah dari Aruna untuk mendekati dirinya, dan perilaku itu sangat tidak sesuai dengan wajah lugunya.
Veen tidak berpikiran jika nantinya Aruna hanya memanfaatkan dirinya demi kekayaan kembali? Keluarga Anggoro dahulunya telah jatuh secara mendadak, tidak memiliki persiapan mental dan material untuk jatuh miskin.
Veer yakin 100% mereka memiliki dendam terhadap Papanya. Sebab David adalah kunci, poin utama penyebab mereka runtuh bersama keluarga Vella dan gadis-gadis pembully lain.
"Veer, jangan berdebat. Kali ini jangan urusin urusan gue, urus Sally. Bisa kan? Gue udah korbanin banyak hal buat lo, jadi anggep aja ini permintaan buat balas budi lo ke gue."
"Terserah!" Ketus Veer. Memilih bangkit dan pergi keluar rumah, tidak ingin kembali berdebat dengan sang kakak. Memang benar dia berhutang budi sangat banyak kepada kakaknya.
Permintaan Veen tidak mampu dia tolak. Dia juga harus menghormati pilihan kakaknya, tidak perlu ikut campur terlalu jauh dalam urusan pribadi orang lain.
Mobil Dewa datang memasuki pekarangan rumah, sosok jangkung berwajah bayi keluar. Tubuhnya semakin tinggi seiring bertambahnya usia, hampir melebihi Veer.
"Sally kenapa nangis?" Tanya Dewa langsung pada intinya. Dia tadi ke restoran dan menemukan Sally menangis di dapur. Ibu Kian bahkan tidak bisa untuk menenangkan dirinya.
"Aruna." Jawab Veer.
Tentu saja Dewa tidak terlalu paham, namun mampu membuatnya cukup emosi hanya dengan mendengar nama ini. "Ngapain tuh cewek?"
"Balikan sama Veen."
Dewa tersedak oleh kemarahan, "Anjing! Itu cowok otaknya udah konslet apa gimana? Dongo bener malah balikan sama si nenek lampir. Mending sama si lintah darat daripada sama si Aruna!"
Veer mengedikan bahu acuh, mengulurkan tangan pada Dewa, meminta barang yang biasa dia konsumsi saat kalang kabut dengan emosi sendiri, "Satu," pintanya.
"Jangan di sini pekok, Veen bakal muntap kalau lihat lo nyebat."
"Yaudah, ayo cabut. Setelah itu kita ke restoran."
Keduanya masuk ke dalam mobil Dewa, pergi ke studio yang biasa di jadikan Veer, Dewa, dan Juan untuk berkumpul bersama. Entah sekedar bermain ps, saling bertukar cerita, atau meminta solusi dari masalah yang menimpa di antara mereka bertiga.
Kediaman Vira menjadi kembali sangat sepi. Di lantai dua, tepatnya di dalam kamar. Veen membuka kopernya, mengambil satu buah album bersampul hitam.
Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk membakarnya setelah sampai di New York, dan sesampainya di sana, dia justru tidak mampu.
Terlalu sayang untuk membakar album berisi senyuman indah ini. Dia membuka kembali album tersebut, pada halaman pertama terpampang foto Sally tengah tersenyum lebar sangat manis.
"Sampai sekarang, kamu masih tidak mau beranjak dari hatiku. Katakanlah padaku, apa aku salah tidak bisa membuang rasa cinta untukmu ini?" Monolognya, berkata pada benda mati yang sudah pasti tidak akan memberikan jawaban sesuai keinginannya.
Faktanya, hubungannya dengan Aruna telah berjalan selama kurang lebih dua tahun. Dan dirinya masih belum mampu membuka hati untuk Aruna, hatinya masih terisi oleh nama Sally. Pintu hati telah tertutup rapat, tidak mengijinkan nama siapapun untuk masuk.
Hatinya hanya boleh di huni oleh nama Sally seorang, dari dulu, sampai kini.
Harapannya untuk melupakan Sally dengan bersanding kembali bersama Aruna sia-sia, rasa cinta pertama sangat sulit untuk dia alihkan kepada sosok kedua.
Veer dan Sally tadi terlihat begitu serasi, di tambah Eve. Mereka seperti keluarga kecil lengkap penuh rasa bahagia. Menciptakan dunia kegembiraan untuk mereka bertiga.
Dan Veen, hidup dalam dunia sepinya. Bertahan sendirian bersama pedihnya kesendirian.
***
"Mbak, buku-buku masakan ada dimana, yah? Kok di rak biasa nggak ada." Sally bertanya sekaligus mengeluh pada kasir, dia sering ke toko buku ini untuk membeli berbagai macam buku.
Mbak kasir juga sudah hafal dengan Sally. Mbak kasir tersenyum minta maaf, "Aduh mbak, lupa. Maaf ya, mulai sekarang toko kami nggak nyediain lagi buku resep masakan. Penjualannya terlalu rendah setiap tahun, jadi pihak manager memutuskan untuk berhenti menjual buku resep masakan."
"Yah...." Sally mendesah kecewa, kembali berkata, "Gapapa deh, Mba. Sally cari buku lain aja buat di beli."
"Iya, Mbak Sal. Kalau butuh apa-apa, panggil saya aja."
"Oke."
Dengan begitu Sally melangkah menuju buku rak berkategori Novel Romance-Fantasy, salah satu novel dengan genre paling dia sukai. Suara lonceng bergemerincing berbunyi, menandakan ada pengunjung lain baru saja masuk.
"Selamat datang di toko buku kami, Kak. Jangan sungkan untuk memanggil jika anda mengalami kesulitan dalam menemukan buku sesuai pilihan." Kasir berucap hangat, menyambut tamu ramah disertai senyum.
Veen menanggapi dengan anggukan, ekspresi wajahnya tetap dingin seperti biasa. Bibirnya mendesah kesal merasakan rasa pahit masih tertinggal di lidahnya, ah, dia tidak akan pernah minum jamu daun pepaya lagi. Meskipun Vira memaksanya, rasa ini terlalu pahit.
Veen berjalan mendekati rak buku dengan kategori bisnis dan management, membaca banyak buku referensi untuk menampung ilmu lebih. Dia sekarang telah menjabat sebagai CEO di anak cabang Indonesia, induk perusahaan tetap di pegang sendiri oleh David.
Di saat David memilih pensiun dari dunia ekonomi, jabatan Presiden akan di turunkan kepada Veen dan CEO di berikan Veer. Tidak perduli Veer mau atau tidak, adiknya harus tetap mau. Ini sudah menjadi tanggung jawab sebagai anak sah dari David yang berhak menerima segala aset dan mengelolanya dengan baik.
"Veen."
Panggilan dari suara familiar mengalihkan atensi Veen. Menolehkan kepala ke samping, dia menemukan Sally berdiri di dekat tembok, di samping kirinya.
"Hm." Veen bergumam singkat sebagai balasan. Tidak memiliki minat untuk membangun pembicaraan panjang.
"Kamu apa kabar selama di New York? Kemarin Sally belum sempat tanya kabar kamu, semua pesan dan telefon dari Sally kenapa nggak pernah di angkat? Masih marah sama Sally?"
Veen yang semula telah kembali memperhatikan serentetan judul buku, terpaksa teralih menatap Sally untuk kedua kali. Satu alisnya terangkat, senyum sinis penuh sarkasme tercipta di bibirnya, "Masih belum cukup milikin Veer?" Tukasnya kejam, kemudian kembali melihat susunan buku.
Dia tidak ingin hatinya ikut terluka jika melihat Sally murung akibat kata-katanya. Hanya dengan cara ini, mereka akan menjauh dan tidak membiarkan rasa cinta Veen tumbuh kian makin tinggi. Melihat Sally saja sudah seperti memberikan bertonton pupuk ke atas tanaman berisi cintanya untuk gadis tersebut.
"Bukan begitu, Sally cuma mau minta maaf karena udah lukain hati Veen. Sekarangpun hati Sally nggak bisa tenang sebelum Veen maafin Sally," ujarnya. Kepalanya merunduk, "Maaf ya kalau ganggu, semoga hubungan kamu dengan Aruna langgeng. Sally pergi dulu."
Suara lembut kesukaannya lenyap sesaat kemudian, tangan kanannya meremat salah satu buku kuat-kuat. Menahan gejolak cinta yang semakin membara.
Dia mungkin tidak akan bisa bertahan lebih jauh apabila harus kembali menetap di sini, Veen perlu membeli rumah dan hidup sendiri. Menjauhi Sally sebisa mungkin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top