#24. Kepergian
Beberapa hari ini Sally absen dalam mengunjungi Veer. Sibuk termenung dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sepulang sekolah hanya duduk di kamar sambil menatap dua foto di figura kecil.
Satu foto bersama Veen, dan satunya lagi foto bersama Veer. Apakah keputusan yang dia ambil sudah sepenuhnya benar? Apakah keputusan ini sudah menjadi yang terbaik untuk dia ambil?
Suara dering ponsel mengalihkan pemikiran rumit di kepala Sally. Menuruni ranjang pelan-pelan, sekilas dia bisa melihat layar ponsel menyala menampilkan nama Mama Vira.
Sally segera mengangkat, "Halo, Ma? Ada apa?"
"Veen hari ini pergi, kalau mau, Mama jemput kamu sekarang juga. Kita antar Veen sama-sama."
Mengigit bibir bawahnya gugup, Sally bingung harus menjawab iya atau tidak. Semua pesan dan panggilannya belum ada satupun yang ternotice oleh Veen.
Dia masih merasa tidak enak hati setelah melukai hati pemuda tersebut, dan juga, sepertinya ia tidak sanggup untuk berhadapan lagi dengan mata sendingin dinding es.
Tubuhnya duduk di kursi depan meja rias tanpa kaca, memikirkan ulang kembali, dia mendapatkan jawaban, "Maaf, Ma. Sally nggak bisa anter Veen. Mending Mama Vira aja yang nganter Veen ke bandara. Sally titip salam."
***
"Ma, pesawat sebentar lagi mau take off."
Vira menyimpan ponselnya ke dalam jaket, menatap lagi wajah Veen, memberikan senyum lembut khas seorang ibu, "Kamu beneran mau pergi?" Mencoba kembali memastikan keputusan putranya.
"Iya."
"Kamu tega ninggalin Sally?"
Veen bungkam, tangan kirinya yang memegang ponsel berada di dalam saku jaket, mengepal erat. Akhir-akhir ini dia membiarkan semua telefon dan pesan dari Sally seperti angin lalu.
Melengos ke arah samping, Veen berkata dingin dan acuh tak acuh, "Kita memiliki hidup masing-masing. Sally sudah punya Veer."
Menghembuskan nafas pasrah, Vira sudah menyerah untuk membujuk Veen lebih jauh agar tetap menetap di Indonesia, "Oke, terserah kamu. Sally titip salam, dia minta maaf nggak bisa datang ke sini buat nganter kamu."
"Hm."
Perbincangan singkat terjadi antara anak dan ibu. Pesawat sebentar lagi akan lepas landas, Veen memeluk Vira, tidak lupa mencium tangan kanannya. Berpesan untuk selalu menjaga diri dan tidak bekerja terlalu keras di butik.
Melihat punggung putra sulungnya menjauh, Vira tidak lagi menahan tetesan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Membiarkan tiap butir meluncur sempurna menuruni kulit pipinya.
Mulai sekarang, Veen akan tumbuh mandiri di negeri asing, jauh dari orang tua, saudara, dan cintanya.
Di tempat duduk, Veen mengeluarkan album mini bersampul hitam. Membukanya perlahan, di setiap lembar banyak sekali foto dari senyuman Sally.
Semua foto ini di ambil pada hari kebersamaan mereka waktu bermain ke panti, pada saat itu Sally sering tersenyum dan tertawa. Membuat Veen tidak bisa menahan tangannya untuk berhenti membidik setiap untaian senyum indah, pemandangan tercantik dalam hidupnya.
"Bahkan saat aku pergi, kamu masih tidak ingin hadir. Veer memang yang utama di dalam hati kamu. Maka aku akan menjauh, menjalani hidup tanpa bayanganmu, lagi."
Ditutupnya album tersebut. Sampai di New York, dia akan membakar kenangan ini bersama rasa cintanya. Mencoba untuk mengikhlaskan dan merelakan Sally bersanding dengan Veer.
Sekali lagi, Veen hanya mampu diam tanpa bisa mengeluh berhadapan dengan keadaan dimana dia harus mengalah.
Kesalahpahaman membuat hubungan keduanya semakin retak dan rapuh, saling acuh di luar, namun saling merindu di kalbu.
***
Di dapur restoran, Naila menepuk bahu bos muda. "Kok ngelamun?"
Sally tersenyum, menggeleng bermaksud mengisyaratkan bukan apa-apa.
"Cerita aja sama Mbak, pasti di dengerin. Mumpung restoran sepi udah mau tutup," Naila kembali memojokkan gadis muda di sampingnya untuk bercerita.
Sally itu suka tersenyum dan bicara ketika membantu memasak, jadi perubahan seperti ini sudah nampak begitu kentara membuat Naila merasa Sally sedang ada masalah.
"Cuman masalah hati mbak," kata Sally di akhiri kekehan. Ini adalah hari ke-5 selepas kepergian Veen ke New York. Semua pesan dan panggilan darinya, seperti biasa, tidak di idahkan satupun. Pesannya saja belum ada yang di baca. Membuat kekelaman di hati Sally semakin menjadi.
"Anak muda biasa kalo masalah hati, masih suka plin-plan. Ikutin aja pelan-pelan alur takdirnya, tanya juga sama hati kamu. Siapa yang paling kamu pilih, karena kesalahan dalam memilih bisa menjadi meriam pemicu penyesalan di masa depan."
Seakan tercerahkan oleh kata-kata Naila. Sally lari begitu saja, pergi kembali ke rumah untuk mandi, sholat, kemudian pergi ke rumah sakit tempat Veer di rawat.
Mungkin penyebab kegelisahan hatinya bukan karena dia kehilangan Veen, dan hatinya lebih mencintai Veen daripada Veer. Tapi kegelisahan ini terjadi karena dia menghabiskan lebih banyak waktu bersama Veen, sehingga menimbulkan kenyamanan tersendiri.
Kegelisahan ini dimunculkan oleh hatinya yang tidak ingin kehilangan kenyamanan, benar bukan?
Pergi ke rumah sakit menaiki taksi, Sally selalu meyakinkan hatinya jika dia merasa sedih Veen pergi akibat kehilangan sosok ternyaman untuk dia jadikan teman sekaligus pelindung.
Semoga begitu.
Sampai di rumah sakit, Sally berlari menuju ruangan Veer. Sepanjang jalan ia terus-menerus menekankan pada hatinya. Rasa sayang kepada Veen hanya sebatas nyaman akan adanya sosok pelindung begitu perhatian. Dan rasa sayang untuk Veer adalah sebuah bentuk dari cinta setelah menghabiskan banyak waktu bersama hampir 8 tahun lebih.
Mendorong pintu hingga terbuka, Sally mengatur nafas terlebih dahulu. Menetralkan detak jantungnya yang berpacu seperti genderang di tabu kecepatan penuh.
"Ngapain lari-lari? Kayak anak kecil aja kamu," suara Veer mengalun, lembut dan pelan. Sedikit serak karena tadi pagi baru saja kembali melakukan kemoterapi. Walaupun hasil kemoterapi sudah tidak terlalu membantu, Vira dan David tetap ingin putranya menjalani kemoterapi. Berharap ada sedikit keajaiban untuk putra bungsu mereka.
Kulit wajahnya pucat pasi, hampir seperti setiap darahnya telah di sedot kedalam tabung. Menyisakan cangkang berdaging.
"Veer..."
Bangun dari tidur dan duduk di atas bangkar, dia bisa menangkap kesedihan di suara gadis pujaan hatinya, "Kamu kenapa? Sini, duduk di samping aku."
Bukannya duduk, Sally mengambil langkah cepat nan panjang. Memeluk tubuh Veer seerat mungkin. Tidak ingin kehilangan satu sosok berharga lagi di dalam hidupnya.
Veer menahan ringisan mendapatkan tubrukan penuh tenaga dari Sally, meskipun kesehatannya perlahan membaik dengan hidup di bantu obat-obatan. Tenaganya terlalu lemah tatkala selalu berbaring dan duduk saja di atas bangkar.
"Sally-ku kenapa nangis?" Tanyanya dengan lembut.
Tidak mendapatkan jawaban cukup lama. Veer pasrah, ikut memeluk tubuh Sally yang terasa seperti kompor elektrik di tubuhnya. Hangat dan nyaman.
Isakan tangis membuat Veer khawatir, dia kembali bertanya, "Sally, ada apa? Kok nangis gini? Cerita dulu sama Veer." Tangan kanannya mendorong lembut bahu ramping untuk sedikit mengendurkan pelukan.
Hasilnya malah pelukan semakin mengerat, bisikan rendah teredam muncul dari balik lehernya, "Veer, jangan pergi, ya? Pokoknya harus sembuh. Janji sama Sally."
Sekarang Veer tahu apa penyebab kesedihan Sally, gadisnya kehilangan Veen. "Iya, Veer janji untuk sembuh. Selalu jaga Sally nantinya," jawabnya sungguh-sungguh.
Mendapatkan jawaban positif sesuai keinginan, Sally mengendurkan pelukan keduanya. Menatap tepat ke mata Veer. Ini adalah mata seperti milik Veen.
"Jangan nangis lagi, cantiknya ketutupan air mata," ucap Veer. Memajukan wajahnya untuk mencium air mata di pipi kanan Sally. Merasakan kelembutan dari kulit putih gadisnya. Kemudian kembali berkata, "Mata kiri kamu sakit kalau nangis kan? Mulai kedepannya, kamu juga harus janji nggak akan nangis kecuali mengeluarkan air mata kebahagiaan."
Tanpa pikir panjang, Sally mengangguk, kedua lengannya masih memeluk pinggang lebar dan kokoh milik Veer. Saat ingin memeluk pemuda ini lagi, Veer sudah lebih dulu menyatukan kening mereka berdua.
Empat mata saling menatap, meresapi rasa di balik netra sedalam laut tinta. Nafas teratur milik Veer terjalin dengan nafas hangat Sally yang terputus-putus sebab sesenggukan sehabis menangis.
Menaikan wajah sedikit, Veer menempelkan bibirnya yang dingin di kelopak mata kanan milik Sally. Mencium mata terindah menurut dirinya. Ketika Veer membuka bibirnya untuk berbisik, Sally bisa merasakan nafas hangat membakar di area mata kanan.
"Terimakasih telah memilihku. Aku mencintaimu, Sally-ku."
Mata terpejam bergetar, membuat bulu mata lebat melengkung menyapu ujung hidung mancung Veer. Menggelitik di sana, menghantarkan getaran ringan ke dalam hati. Memberikan kepastian jika saat ini, gadis ini sudah resmi untuk bisa ia miliki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top