#23. Siap Akan Konsekuensi

"Loh, Sally?"

Vira bingung pada sekretarisnya yang memberitahu Sally datang ke butik. Dia menengok ke kanan dan kiri untuk menemukan putra sulungnya, Sally sendirian ke sini?

Dia berjanji dalam hati akan memarahi Veen nanti, karena membiarkan Sally datang ke sini sendirian.

"Mama Vira," panggil Sally. Bangkit dari duduk dan mengambil tangan kanan Mama dari kembar V. Menciumnya seraya tersenyum.

"Kamu ada urusan apa sampai ke butik? Veen dimana? Kok gak nemenin kamu?"

"Veen," Sally menjeda, berembus nafas putus asa dan berkata, "Sally juga lagi cari Veen Ma, dia nggak masuk sekolah hari ini."

"Nggak masuk?" Alis halus tipis milik Vira menjorok ke dalam, keningnya berkerut. "Tapi tadi pagi dia pamit mau berangkat sekolah."

Sally semakin bingung, bertanya khawatir, "Terus Veen kemana ya, Ma? Di telfon juga gak aktif."

"Kamu tenang dulu, Mama coba telfon dia."

Vira berjalan cepat kembali ke ruangannya di ikuti Sally, mengambil ponsel untuk menelfon Veen.

Seusai tragedi tadi malam, Veen seakan menjauh dari Sally. Tidak pernah mengangkat telefon darinya, mengabaikan semua pesan permintaan maafnya sejak tadi malam.

"Halo?" Akhirnya telefon tersambung. Vira memberikan tanda agar Sally untuk tetap diam. Pasti sedang ada masalah antara dua anak remaja ini. Jika tidak, mana mungkin Veen mengangkat telefonnya pada panggilan pertama, tapi tidak menjawab panggilan telefon berulang kali dari Sally?

"Iya, Ma. Apa?"

"Kamu dimana?"

"Mau pulang sekolah. Mama kenapa tanya?"

"Kamu bohong sama Mama? Sally bilang kamu nggak ada di sekolah, jujur sama Mama. Kamu dimana Veen?"

"Di rumah Papa."

David? Mengapa Veen di rumah mantan suaminya bahkan sampai membolos?!

"Ada urusan apa? Mama sekolahin kamu untuk bolos?" Nadanya menandakan sedikit kemarahan timbul di dalamnya.

"Ma, enggak gitu. Veen udah mutusin untuk nerusin usaha Papa. Beberapa hari ke depan Veen akan pindah ke New York langsung dan tinggal dengan Mama Vina. Kalau tanggal operasi sudah di tentukan pihak rumah sakit, tolong hubungi Veen. Titip Veer di sana, Ma."

"Veen! Kamu—"

"— tut."

Kekesalan menelan emosi tenang Vira. Veen memutuskan keputusan penting secara mendadak tanpa memberitahu dirinya, sekalipun tidak pernah bercerita untuk pergi secepatnya ke New York. Anak itu bilang dia akan pergi setelah lulusan SMA disini.

Matanya teralihkan pada Sally yang juga sibuk mengetik pesan untuk Veen, gadis itu sangat cemas. Vira memanggil, "Sally."

"Iya, Ma?" Kepalanya mendongak untuk melihat Vira berdiri menjulang di depan sana.

"Veen pergi ke rumah David hari ini, dia bilang mau ke New York beberapa hari lagi. Veen mutusin langsung lanjut sekolah di sana mulai sekarang. Nggak nunggu kelulusan SMA disini dulu."

Jemarinya berhenti bergerak memencet serangkaian ikon abjad, giginya terkatup menyembunyikan lidahnya yang kelu dan tidak tahu harus berbicara apa menanggapi berita dari Vira.

"Kamu ada masalah sama Veen?" Suara Vira kembali terdengar di ruangan sunyi.

Meletakan ponsel di sisi tempat duduk, Sally merunduk, mengangguk lemah. Penyebabnya pasti karena keputusan Sally tadi malam, membuat Veen terluka dan marah hingga mengambil keputusan seperti ini.

"Cerita sama Mama." Pinta Vira.

Sally bercerita semuanya tanpa menutupi apapun, mengenai vonis dari Dokter juga ia ikut sertakan agar Vira mengetahui semua. Suaranya kuyu saat menjelaskan satu-persatu, hatinya menelan cuka terlalu banyak.

"Hah...." Vira memijit kening, menutup mata lalu mendesah penuh beban. Dia tahu jika kedua putranya sama-sama menyukai Sally, menimbulkan masalah serumit ini mengenai hati.

Veen sejak kecil selalu mengalah pada adiknya, tidak pernah sekalipun mengeluh harus berbagi apapun dengan Veer. Faktanya, Vira tahu dia dan David dulunya sangat tidak adil pada putra sulung mereka.

Karena tubuh Veer lebih rentan dan lemah, mereka lebih memusatkan perhatian kepada putra bungsu. Tidak terlalu memperhatikan putra sulung mereka, membentuk karakter Veen untuk selalu menjadi lebih dewasa, tegas, dan harus mau mengalah untuk adiknya.

Sampai Vira dan David bercerai, Veen di bawa oleh sang Mama bukan tanpa alasan jelas. Dua mantan pasangan suami istri telah sepakat, Veer ikut dengan David dan Veen ikut dengan Vira.

Semenjak tinggal berdua bersama Veen, Vira selalu memberikan kasih sayang sebanyak mungkin. Berniat untuk melunasi hutangnya dahulu sebab terlalu memihak Veer, memusatkan fokus dan kasih sayang bagi si bungsu.

Tapi ternyata dua anaknya bertukar posisi, Veer menjadi yang selalu di sayangi dan di rawat baik-baik. Dan Veen selalu menjadi penyendiri di rumah David tanpa teman, hanya melakukan aktivitas belajar, tidak bisa keluar untuk sekedar bermain dengan remaja seusianya.

Veen.

Vira merasa jauh dan tidak terlalu bisa memahami putra sulungnya. Rasa bersalah tidak mampu terelak di dalam dada. Dia tidak adil menjadi seorang ibu.

Veen selama ini kekurangan kasih sayang dan kehangatan orang tua. Di rumah sakit dulu, Vira cukup terkejut mengetahui kebenaran ini.

Dia memandang wajah Veen berkali-kali, menemukan satu hal, wajah tanpa emosi. Tidak ada senyum maupun kesedihan di mata pekat Veen. Semuanya datar, seperti dunia ini hambar di mata putra sulung.

Vira mengetahui Veen menyukai Sally sebenarnya adalah kejadian tidak sengaja, waktu itu putranya membuka lockscreen di sampingnya. Ekor matanya menangkap foto Sally sebagai wallpaper.

Sejak saat itu, dia mencoba mendekatkan Veen dengan Sally. Berharap kali ini dia bisa mengabulkan keinginan dari hati anaknya. Dan kenyataan rumit kembali menyerang, Veer mengatakan pada dirinya tentang perasaannya untuk Sally.

Vira merasa bimbang di posisi ini, di tatapnya lagi sosok Sally yang duduk di sofa dekat pintu ruangan.

Gadis kecil ini tumbuh tanpa kasih sayang, pertama kali dia melihat Sally, dia langsung menyayanginya di karenakan wajahnya begitu cantik dan imut, serta merta karena dia ingin anak perempuan namun pernikahan sudah di terjal perceraian.

"Sally, Mama minta maaf sama kamu atas nama dua putra Mama."

"Ma, apa maksud Mama? Seharusnya Sally yang minta maaf."

"Sudahlah. Ayo pergi ke rumah David, Mama akan antar kamu bertemu Veen untuk menjelaskan alasan kamu lebih memilih Veer. Menutupi kebenaran demi kebaikan memang hal baik, namun jika menutupi kebenaran dapat menimbulkan kesalahpahaman menuju kebencian, itu tidak baik. Kamu harus jujur dengan Veen."

"Sally hanya enggan untuk memberikan harapan kepada Veen, Ma. Kalau aku ngasih tahu dia tentang alasan memilih Veer. Pasti Veen juga akan berjuang, dia kemarin malam bilang, sempat ingin egois untuk merebut Sally dari Veer. Mencoba untuk tidak mengalah satu kali ini saja. Tapi semuanya nanti bisa menghasilkan dampak buruk untuk Veer."

"Kamu siap menanggung kebencian dan membiarkan kesalahpahaman antara kamu dan Veen berlanjut sampai nanti?"

"Sally siap dan ikhlas, asalkan Veer bisa selalu sehat dan nemenin Sally. Itu udah lebih dari standar kebahagiaan."

"Baik," Vira duduk di kursi kerjanya. Mendongak menatap langit-langit bercat putih, "Mama selalu berharap yang terbaik untuk anak-anak Mama." Ujarnya sambil menutup mata perlahan. Mengusir pening yang membelenggu kepalanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top