#22. Keputusan Akhir.

Malam ini Veen membawa Sally secara paksa menuju pasar malam. Sally sengaja tidak membalas pesannya untuk menghindari kontak selama beberapa hari. Sally juga manusia, bisa merasakan lelah bila terus-menerus mendapatkan banyak sekali peringatan untuk menjauhi Veen.

Memang para gadis tidak menyiksa fisiknya, tapi mereka menyerang ketenangan batin dan pikirannya.

Di depan kios menembak panah, mereka berdua berdiri bersisian. Sally menatap boneka besar di sudut toko. Dia teringat pertama kali bisa masuk ke pasar malam, dan menikmati rasanya berbaur dengan masyarakat tanpa memerlukan banyak aturan mengenai, kasta.

Tangan kanannya di tarik, membuat Sally menoleh ke arah Veen. Wajah pemuda itu sedikit pucat setelah keluar dari rumah sakit. Tubuhnya juga tidak sebugar biasanya, akan tetapi senyumnya masih semanis dan semenawan seperti hari-hari sebelumnya.

"Nih, main." Tangannya yang memegang busur dan panah di pindah letak ke dalam genggaman Sally. "Kamu suka panah, kan?"

"Veer yang ngasih tahu kamu?"

"Iya," tidak ingin membuang waktu lebih lama. Tubuh Sally di tarik sampai berdiri di tengah tanda lingkaran.

"Sally nggak bisa Veen," kata ini membuat Veen mendekati Sally. Berdiri tepat di belakangnya.

"Kenapa?"

Sally yang semula merunduk, kini mendongak. Malam ini rambutnya tergerai sampai bahu, beberapa helai rambut tertiup ringan oleh angin malam. Nada bicaranya sedikit serak, sedih, dan kecewa, "Memanah selalu menggunakan mata kiri untuk titik fokus, mata kiri Sally...."

Setiap memanah, titik fokus dan ketajaman mata kiri adalah senjata terpenting. Sebelum meluncurkan panah, maka mata kanan akan terpejam dan membiarkan mata kiri untuk bekerja lebih esktra fokus ke depan.

Tanpa mata kiri, pemanah tidak bisa menembakkan anak panahnya.

Veen tersentak, sempat melupakan hal terpenting seperti ini. Di dalam hati merasa tidak enak karena memiliki kepekaan minim, dia hanya ingat dulu Veer pernah bercerita pergi bersama Sally ke pasar malam untuk pertama kalinya.

Adiknya bercerita di hiasi senyuman dan raut penuh suka cita. Veer bilang Sally sangat suka bermain panah. Gadis ini juga memborong banyak sekali hadiah di toko karena semua tembakannya tidak meleset, berbagai boneka dengan anak kecil di sekitar pasar malam. Sally bahagia bermain di pasar malam.

Veen juga ingin membuat Sally bahagia, membawanya ke pasar malam untuk bermain panah kemudian menghabiskan waktu bermain hal-hal lain. Faktanya, kekecewaan merundung Sally terlalu dalam.

Gadis itu selalu diam setelah pergi dari kios tadi. Tidak mengucapkan satu patah katapun, Veen juga gugup, merasa sedikit tidak enak telah membuat Sally sedih di malam hari yang meriah ini.

Suara kembang api mengalihkan atensi Sally, ia mendongak untuk melihat pertunjukan kembang api. Sangat meriah dan indah, sebelumnya dia bisa melihat banyak kembang api meletup di awan gelap malam hari.

Itu dulu, sekarang mata kirinya terpaksa tertutup untuk selamanya. Ekor matanya tidak bisa menjangkau terlalu banyak pemandangan jika tidak menolehkan kepala.

Terselimuti suhu hangat di bagian punggung, Sally mengalihkan titik fokus. Menemukan Veer menyampirkan jaket di bahunya, tersenyum lembut meminta maaf, "Maaf, aku ngacauin kebahagiaan kamu malam ini."

"Enggak, Veen nggak salah. Jangan minta maaf, Sally cuman sedih, sedikit doang kok, gak banyak. Jadi gak usah ngerasa bersalah." Mengambil jaket hitam dari bahunya, Sally melipatnya dalam tiga lipatan, mengembalikan jaket tersebut kepada Veen.

Menarik udara dingin sesaat, Sally terdiam lalu mulai berkata, "Lebih baik kita menjauh."

Bara api seakan di tuangkan langsung ke dalam hatinya, memporak-porandakan segala isi di dalamnya. Memberikan sengatan panas menyengat menyakitkan. Satu kata untuk penggambaran, sakit.

Veen merasa hatinya sakit, apakah seperti ini kondisi hati Sally ketika dia mengungkapkan perasaan kepada Aruna yang duduk di samping gadis tersebut?

Kalau benar, dia ingin mengutuk dirinya sendiri. Rasanya tertolak secara paksa dan di perintah menjauh dari orang kita cintai, ternyata menyakitkan.

Wah, ini memang menyakitkan.

Kedua alis tajamnya mengerut, di curahi hujaman cahaya bulan purnama samar-samar menciptakan kesan ketegasan di wajah Veen makin jelas.

Sally menutupi jari-jarinya di belakang tubuh, terlalu gugup, menyembunyikan tautan jarinya.

Suara rendah cukup serak dan begitu dalam mengalun bersama kebisingan orang-orang sekitar, meski begitu, Sally masih bisa mendengar dengan jelas dan pasti suara ini.

"Aku ada salah?"

Jika Sally mencatat kesalahan Veen dari awal kelas 10, dia bisa menebak pasti mencapai satu buku penuh.

Beruntung dia tidak terlalu memikirkan lagi rasa sakit dari masa lalu, dia saat itu mengira Veen adalah Veer, sosok lembut yang selalu mencintainya. Sekarang dia tahu kebenaran, pemuda di masa lalu ketika kelas 10 adalah Veen asli.

Kesan Sally tidak terlalu menyimpan dendam kesakitan terhadap penolakan dan pengabaian masa lalu. Dulu adalah dulu, sekarang adalah sekarang.

Dia sudah memikirkan ini matang-matang, menimang-nimang semuanya dengan hati-hati. Dan akhirnya dia sudah memutuskan keputusan akhir, dia memilih Veer.

Sally membalas lembut, "Gak kok. Banyak yang suka sama kamu di sekolah, mereka selalu ganggu Sally selama ini. Memberi peringatan untuk menjauh dari Veen. Sejenak, Sally juga berfikir mengenai perasaan kamu. Dengan kita selalu berdua dan menghabiskan waktu bersama, kesannya Sally memberikan harapan terlalu lebih untuk Veen. Ini juga nggak baik kalau Veer sampai tahu."

"Veer udah tahu aku suka sama kamu," ucapnya, menyunggingkan senyum sinis.

Veen selalu di takdirkan untuk mengalah demi Veer.

Dia melanjutkan tanpa memberikan jeda kepada Sally untuk menjawab, "Aku setuju kalau itu keinginan kamu. Kita menjauh mulai saat ini. Aku juga sadar, sebagai kakak sudah menjadi tanggung jawab alami untuk selalu mengalah untuk sang adik. Selalu seperti itu. Kamu milik Veer, bukan Veen."

Sally bisa melihat kekecewaan di wajah Veen, ujung matanya sedikit memerah entah karena marah atau ingin menangis. Sally memilih opsi pertama.

Cekalan kencang mendadak membuat Sally tidak siap. Kekuatannya terlalu berlebihan di pergelangan kurus miliknya. Bibirnya meringis, menatap Veen yang juga sedang menatap dirinya lekat-lekat.

Andai tatapan tajam itu bisa terwujud, maka mungkin Sally sudah akan di telan hidup-hidup olehnya.

"Jawab aku dengan jujur," Veen menarik tangan Sally, tubuh mereka berdekatan. Helaian rambutnya lurusnya terbang terhembus sapuan nafas hangat. Keadaan sangat ramai, semua orang fokus pada kesibukan masing-masing. Mengabaikan dua insan ini. "Kalau dulu aku nggak tukar posisi dengan Veer, akankah kamu mencintai aku? Dan bukan Veer?" Tanyanya.

"Veen," Sally merengek sakit.

"Aku ngomong untuk ngalah demi Veer, apa kamu tahu di dalam hati, aku ingin egois dan berniat merebut kamu?"

"Veen, Sally mohon, lepas."

Semakin memberontak, cekalan Veen makin kencang, "Sedikitpun di hati kamu tidak ada rasa cinta untuk aku? Hanya untuk Veer?"

"Sally sayang kalian berdua, Sally mau kalian berdua selalu bersama dan disini jagain Sally."

"Itu keluar dari pertanyaan aku Sally Abaigeal! Jawab aku! Tidak ada sedikitpun cinta di hati kamu untuk aku? Secelah pun? Semua sudah di rampas untuk nama Veer?"

"Sally memilih Veer," kilahnya. Sebimbang apapun hatinya dalam memilih, dua kembar V menempati posisi tertinggi untuk pemuda paling dia cintai.

Keadaan menekan Sally untuk memilih salah satu. Dia tidak bisa menggantung dua perasaan sekaligus, lebih baik memilih salah satu dan mengecewakan satunya. Daripada harus selalu merasa bersalah memberikan harapan pada dua orang sekaligus. Akhir dari kedua pilihan juga sama, pasti ada yang di kecewakan.

"Baik. Kita ikuti kemauan kamu."

Kehangatan lenyap dalam sekejap. Sally seakan berjalan di dunia waktu, kembali ke masa di mana Veen selalu acuh pada dirinya. Suaranya dingin seperti sebongkah es yang baru saja di pecah.

"Veen, Sally minta maaf—"

"Keputusan sudah di ambil. Sekarang, kita ambil jalur masing-masing. Ayo pulang."

Meraup sebanyak-banyaknya oksigen ke dalam paru-paru, Sally mengulurkan tangan berniat untuk memegang lengan Veen.

Pemuda itu menyampingkan tubuh, membuat Sally hanya mampu menggapai sebuah angin kekosongan, hampa.

Ini keputusan Sally, matanya menatap penuh punggung Veen perlahan menjauh. Ia terus bergumam minta maaf. Jika dia memilih Veen. Terlalu banyak resiko dan masalah untuk timbul.

Pertama, Veer pasti akan mengalami kekecewaan begitu dalam sehingga berpengaruh untuk kesehatan. Ini sangat tidak baik.

Kedua, para gadis di sekolahan akan selalu mengganggu Sally tanpa henti. Membully secara beruntun tidak memberikan dia waktu sejenak untuk beristirahat.

Ketiga, dia tidak ingin Veen mengurus gadis cacat seperti dirinya. Belum lama ini dia pergi ke dokter saraf mata bersama Kian, Dokter bilang mata kanannya sedikit mengalami gangguan dalam kinerja menangkap cahaya untuk beberapa tahun ke depan. Besar kemungkinan Sally akan mengalami rabun senja. Ini efek dari kerusakan mata kirinya akibat benda tajam tidak steril.

Dua saraf mata meski bercabang tetap memiliki kesatuan dalam otot kinerjanya. Satu rusak oleh benda tajam kotor, maka lambat laun mata kanan akan mulai memunculkan tanda dampak dari kerusakan salah satu mata.

Veer memiliki sifat ambisius dan tegas dalam bisnis David. Berbeda dari Veer, tidak terlalu memikirkan dunia para pengusaha. Memilih untuk bersantai dan melakukan kegiatan sesuai kesukaannya. Lebih tepatnya sesuai dengan kapasitas pikirannya dalam berfikir, Veer itu tidak suka memikirkan hal berat.

Memilih Veen untuk menjadi tambatan terakhir, hanya akan menimbulkan rasa malu untuk pemuda tersebut. Di dunia bisnis internasional. Kecacatan sedikitpun akan menjadi sorotan dalam pandangan.

Sangat rumit dan menyesakkan.

Rabun senja, setelah mengetahui vonis ini. Sally lebih banyak meluangkan waktu menikmati senja dan malam hari. Mengenang baik-baik pemandangannya di dalam ingatan dan jiwanya, sebab suatu hari nanti. Dia tidak bisa menikmati dunia senja dan malam hari lagi.

"Maaf Veen, ini adalah keputusan terbaik." Gumamnya pelan, menahan keras keinginan untuk menangis.

ceritanya sampai sini makin bosenin atau kurang feel?

🤧 ide buat nulis ilang ilang terus gara gara mikirin tugas soalnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top