#21. Tidak Memalukan
“Sebab kekurangan bukan hal memalukan. Dan aku, selalu mencintai semua keadaanku karena tubuh ini milikku, i love my self.” | Sally Abaigeal Amaranggana.
Aku selalu mencintaimu.
Kalimat Veen tidak bisa lepas dari otak kecil Sally sampai sekarang ini. Di sesi upacara bendera rutin setiap senin pagi, pikirannya juga tidak fokus dan berkelana kemana-mana.
Hari ini pemuda itu tidak masuk, harus melakukan tahap uji pertama pengecekkan sel induk yang akan di donorkan kepada pasien. Dewa juga tidak masuk karena demam mendadak, anak itu sempat ke puncak di hari minggu dan pulang larut malam.
Semalam, Dewa mengeluh banyak hal melalui telefon. Sally tentu saja mendengarkan dengan seksama, memberikan semangat dan beberapa kalimat lembut untuk membuat Dewa merasa senang dan lekas sembuh.
Sesuai harapan, Dewa sangat senang mendapatkan respon baik dari Sally. Semenjak insiden bully dari Vella kepada Sally, gadis itu menjadi sosok semula ketika Dewa mulai memperhatikannya di bangku SMP.
Sally terbilang cukup ramah, murah senyum, lembut, dan jarang sekali marah. Sifatnya juga sopan. Apabila dia tidak menyukai seseorang. Maka ia tidak akan memperlihatkan begitu jelas ketidaksukaannya itu, sebaliknya, dia menjaga tutur kata untuk tidak menyakiti lawan bicara.
Bagaimana Dewa tahu? Karena dia juga pernah menjadi pemuda setengah matang yang tidak terlalu di sukai Sally. Dulu, sifatnya begitu impulsif mengejar Sally dan justru membuat gadis itu tidak nyaman.
Dewa bisa membaca dari raut wajah Sally di saat berbicara dengan dirinya. Dalam hati ada perasaan berkecil hati, tapi kelembutan yang Sally suguhkan untuk dirinya membuat dia untuk tidak terlalu impulsif dan hati-hati.
Pertunangan mereka telah sepakat di adakan di masa liburan kenaikan kelas 12, naas, sebelum liburan tiba, Sally melepas diri begitu awal dari Amaranggana membuat Riana spontan tidak ingin melanjutkan pertunangan Dewa dengan Sally.
Merasa tidak akan mendapatkan sekecil keuntungan sekalipun.
Aning, salah satu siswi di kelasnya mendekati dirinya. Perawakannya kurus langsing khas perempuan garis keturunan tiongkok, wajahnya bulat kecil dengan garis alis lembut, bersama sepasang mata hitam jernih berkilauan.
Sally memiliki kesan baik tentang Aning selama ini.
"Aning mau ngomong sesuatu?"
Aning mengangguk, beberapa anak rambutnya saling menempel karena berkeringat, suaranya cukup rendah dan berkata, "Nanti mau jajan bareng nggak? Udah lama kita nggak jajan bareng, soalnya kalo ada Veen pasti lo udah di seret duluan sama dia."
"Boleh, kok." Sally mengembangkan senyum. Mata kirinya masih terasa nyeri. Saat tersenyum, secara otomatis matanya sedikit melengkung. Dan itu terasa menyakitkan untuk bekas sayatan di korneanya, Dokter bilang rasa sakit akan hilang dalam satu tahun.
Manusia cenderung akan menjadi mati rasa akibat rasa sakit yang terus mendera setiap saat. Dan itu juga berlaku untuk Sally, mata kirinya sangat sering sakit sampai-sampai dia ingin menangis. Tapi jika dia menangis, mata kirinya semakin sakit.
Setelah menanggung rasa sakit hebat beberapa waktu, secara otomatis saraf dan otot mulai terbiasa sehingga untuk kemudian hari, sakit ini akan menjadi tidak terasa dan tidak terlalu mengganggu.
Petugas PMR memperingati kawanan anak-anak berbisik untuk diam. Menghadap kedepan fokus mengikuti upacara dengan khidmat.
Sally dan Aning juga diam. Mengatupkan bibir, sudah tidak lagi mengeluarkan suara hingga sesi upacara telah selesai. Kerumunan anak-anak di bubarkan. Seperti biasa, guru memberikan waktu untuk anak muridnya istirahat dan memulihkan cairan tubuh sekaligus energi selama lima belas menit sebelum pelajaran pertama di mulai.
Aning menyeret Sally ke kantin pada awalnya, namun tepat di depan kantin. Tangannya malah di seret menuju kamar mandi dekat gerbang belakang.
Tentu saja ini menimbulkan sedikit kebingungan pada Sally.
"Thank's udah bawa dia."
Kebingungan memunculkan kecurigaan, dan kecurigaan telah memunculkan kemalangan untuk Sally hari ini. Ia menoleh ke arah Aning, gadis itu masih berdiri di sisi kirinya. Ia bertanya ragu, "Aning di suruh sama Lisa buat bawa Sally ke sini?"
Kegugupan tidak bisa Aning tutupi dari gerakan tubuhnya, kepalanya menunduk dan mengangguk halus, merasa bersalah, "Maaf, Sally. Tapi gue nggak ada pilihan lain lagi. Orang tua Lisa atasan bokap gue, Lisa ngancem karir bokap gue kalo gak mau bawa lo ke sini."
Memahami tekanan di dalam hati Aning, Sally tersenyum. Ucapannya lembut tidak menampilkan sedikit kemarahan, "Gak papa, kamu balik aja ke kelas."
Mendapatkan kesempatan emas. Aning pergi dari kamar mandi sepi dekat gerbang belakang, berlari kencang kembali menuju kelas.
Lisa sendiri bersandar di dinding kamar mandi, gadis itu hanya sendiri dan tidak membawa antek-antek, salah satu faktor yang mendorong Sally untuk tidak terlalu menyalahkan Aning telah membawanya kemari.
Ini cukup adil, satu lawan satu.
"Sok baik," cibir Lisa. Dia menegakan tubuhnya, mengusap jas yang sempat terkotori debu di tembok, "Gue gak mau basa-basi, mulai sekarang jauhin Veen karena dia milik gue! Lo udah ada Dewa juga, kan? Jadi jangan maruk jadi cewek, catat mata aja di banggain!"
Sally diam. Memikirkan jawaban yang tepat agar tidak menyinggung sifat sensitif Lalisa, salah sedikit, itu sama saja dengan Sally membuang korek api di tanah berhujan bensin. Membuatnya meledak dan berkobar.
Menemukan jawabannya, Sally segera membalas, "Sebelumnya, Sally minta maaf kalau ngebuat Lalisa susah buat deketin Veen. Tapi Sally sama Veen udah temenan sejak kecil, sepantasnya untuk kita saling bersama karena ikatan telah terjalin sejak dini. Untuk Dewa sendiri, Sally anggap dia sebagai temen, nggak lebih dan nggak kurang.
"Kalau memang Lalisa suka sama Veen, kenapa kamu nggak tanya baik-baik aja sama Sally apa aja yang di sukai Veen dan yang enggak di sukai? Cara ini pasti lebih mudah untuk dapetin Veen untuk diri kamu sendiri." Selesai mengucapkan kalimat, hatinya terasa masam seolah telah menelan cuka satu botol penuh.
Begitu menyengat, masam, dan sesak di hati.
Keluarnya kalimat ini di dukung oleh pertanyaan menjebak dari Veer kemarin sore. Sally masih ingat benar pertanyaan Veer untuk dirinya.
"Antara aku dan Veen, siapa yang lebih kamu cintai?"
Veen memang sahabat aslinya, akan tetapi dia lebih lama menghabiskan waktu bersama Veer. Banyak kelembutan yang pemuda itu suguhkan untuk Sally secara cuma-cuma. Membuat Sally berfikir hidupnya akan tenang dan bahagia asalkan sosok mentarinya selalu di sisinya.
Veer itu lembut, tenang, penuh kasih sayang dan hampir jarang untuk marah. Sangat sabar serta telaten menghadapi segala sifat menjengkelkan Sally. Contohnya, sifat keras kepala yang telah mendarah daging.
Jika Veen itu bagaikan tembok cina bagi Sally, sangat kokoh, teguh, hampir tidak memiliki titik lemah dan selalu kuat. Maka dimatanya, Veer seperti sepatu kaca berkilau rentan akan sedikit saja kesalahan dalam memperlakukan.
Veer terlalu indah dan sempurna bersama dengan segala sifatnya. Memukau Sally dengan semua nasihat dan pikirannya yang dewasa, juga terbuka. Mencintai dan di cintai balik oleh Veer seperti bermimpi hidup dalam dunia imajinasi.
Meskipun kalimat cinta Veen masih menggema begitu jelas, seperti bisikan itu nyata dan baru saja di bisikan oleh pemilik kata secara langsung. Hatinya tetap luluh akan sifat Veer, mencintai Veer adalah kewajiban untuk Sally.
Veer telah berkorban banyak, dan dia tidak boleh mengecewakannya.
Lalisa menjadi tertarik sementara, setelah akal sehatnya kembali menguasai. Memutar kilas balik kedekatan antara Veen dan Sally. Dia kembali tersungut emosi, "Jangan coba nipu dan jebak gue! Ini tekanan terakhir dari gue buat lo, jauhin Veen! Dia terlalu sempurna buat cewek mata satu kayak lo. Mata satu sialan lo!"
"Mau satu atau dua yang masih berguna, Sally tetap menganggap ini anugerah sebab banyak orang di luaran sana bahkan tidak bisa melihat setitik cahaya keindahan dalam dunia." Sifat ini terbentuk oleh nasihat Veer dari hari ke hari. Menyaring kelembutan dan rasa syukur semakin tumbuh di dalam hati Sally.
Lalisa semakin marah, harus menghina bagaimana lagi agar Sally marah pada dirinya?!
Kata-katanya kembali terdengar, sangat sarkasme, "Cacat tetep cacat. Kalau sampe Veen sama lo, yang ada dia cuma nanggung malu. Gak usah pasang muka sok polos dan sok suci di depan gue, karena gua nggak akan ke tipu sama topeng lo. Cacat, cacat," lidahnya berdecak seperti merasa sedikit kasihan, "Hidup lo malang, ya? Dulunya, lo selalu sombong dan nolak ajakan anak cewek lain buat temenan. Sekarang mereka yang nolak lo, gimana rasanya? Enak punya mata cacat? Bisa lihat jelas, nggak tuh?"
Emosi sedikit muncul di pupil matanya, sekelebat saja, kemudian Sally tersenyum. Ikut merasa kasihan untuk dirinya sendiri. Dia memang cukup malang. "Sally nggak tahu apakah Veen malu bareng sama Sally. Dan Sally minta maaf kalau dulunya pernah menyinggung perasaan Lalisa. Kamu juga harus tahu, setiap manusia memiliki titik rendah dimana takdir akan menekannya ke dalam jurang kesakitan tidak berdasar.
"Sally sedang berada di tahap ini. Hasilnya, Sally sekarang cuma punya satu mata untuk di jaga agar bisa selalu melihat dunia. Kekurangan ini bukan suatu hal yang bisa di katakan memalukan, karena seburuk apapun mata ini. Semuanya masih tetap milik tubuh Sally, kalau bukan Sally sendiri yang mencintai dan menerima semua keadaan, siapa lagi?
"Sally ingin berpesan satu hal sama kamu. Tolong jaga lisan ketika berbicara dengan seseorang, setiap manusia memiliki niat hati berbeda di setiap masingnya. Bila mereka kecewa dengan ucapan kamu, suatu saat mereka bisa menjadi boomerang untuk diri kamu sendiri. Jangan merendahkan orang lain dan mengukur semuanya dari garis batas kata kesempurnaan. Suatu saat, Lalisa juga akan menemui titik dasar penekan takdir dalam hidup. Mungkin saat itu terjadi, Lalisa baru bisa menahami perasaan orang lain lebih baik."
"DIEM! Lo jauhin Veen! Muak banget gue ngomong sama orang cacat sok suci!"
Melenggang pergi mengambil langkah panjang, Lalisa tidak menoleh lagi untuk melihat Sally. Dia pikir dengan membully dan memberi gertakan pada Sally, anak itu akan mau melunak menuruti perintahnya. Yaitu menjauhi Veen.
Siapa sangka, Sally mengeluarkan kalimat mutiara menjengkelkan di telinganya. Membuat ubun-ubunnya berasap sampai gosong. Lalisa kewalahan untuk membuat Sally merasa marah!
Ting!
Pesan masuk.
Veen
Mau jalan-jalam nanti malam? Kita ke pasar malam
Sally tidak memberi jawaban, kembali memasukan ponselnya ke dalam saku. Melangkahkan kaki meninggalkan tempat sepi dekat gerbang belakang sekolah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top