#2. Sebuah Kebahagiaan
"Aku menyadari, kebebasan dalam mengekspresikan diri lebih menyenangkan daripada hidup dalam wajah penuh kepalsuan akan tuntutan."| Sally Abaigeal Amaranggana
Dua tahun berlalu begitu cepat. Rasa tertekan penuh dengan aturan masih melekat dalam hidup Sally. Kali ini ujian nasional telah selesai dan besok sore adalah hari pengumuman nilai ujian. Akan ada panggung megah yang tentu saja wajib untuk Sally ikuti. Mamanya berkata pada dirinya tempo hari, menceritakan bagaimana pintarnya anak temannya dalam bernyanyi. Dia juga ingin Sally pandai bernyanyi dan langsung mencarikan guru les menyanyi.
Beruntung Sally sudah memiliki suara alami yang lembut dan indah untuk di dengar. Setidaknya dia tidak terlalu terbebani untuk bernyanyi dan membuat Mamanya senang.
Sebentar lagi dia akan memasuki masa SMA. Banyak orang berkata masa SMA adalah masa terbaik dalam masa muda. Akan banyak kenangan bahagia dan seru yang tercipta. Menjadikan sesutau istimewa untuk di ceritakan pada anak-anak mereka suatu saat nanti.
"Nona, anda harus mandi." Suara Madam Kian membuat Sally berhenti bermain piano di dalam kamarnya. Membuka pintu dan mempersilahkan Madam Kian di ikuti beberapa pelayan berseragam kompak di belakang.
"Madam, apa Mama dan Papa akan keluar malam ini?" Tanya Sally. Sangat ingin tau.
"Ya, Nona. Tuan dan Nyonya saat ini menghadiri pesta bersama kolega perusahaan. Mereka akan pulang besok sore dan langsung datang ke acara pengumuman nilai ujian Nona Muda besok. Jadi anda tidak perlu khawatir jika orang tua anda tidak datang, Nyonya berpesan untuk mengawasi nyanyian anda agar tidak mengecewakan besok hari."
Sally diam-diam merasa bahagia di hati, orang tuanya tidak ada di rumah malam ini. Hal itu akan memudahkan rencananya dengan Veen.
Para pelayan bergegas mencampurkan air susu dan potongan kelopak mawar merah berkualitas ke bak mandi luas berpola burung angsa raksasa. Bau harum menguar memenuhi kamar mandi pribadi Sally yang banyak di hiasi oleh emas.
Sally terduduk saat pelayan meraih tangannya mengguyurkan parfume khusus. Bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum. Menatap ke depan dengan fikiran bergelayut kemana-mana.
Madam Kian ikut tersenyum melihat Nona muda terlihat begitu bahagia. Ruangan seluas ini terlihat terlalu berlebihan hanya untuk 1 orang. Namun keluarga Amaranggana selalu mementingkan keindahan dan kesempurnaan dalam hal apapun. Tidak luput dari desain kediaman.
Patung kaca berbentuk mermaid berdiri tegak di dua sisi meja cermin berlapis emas, tempat untuk bercermin setelah Sally selesai dalam urusan mandi.
Setelah menunggu, akhirnya malam tiba. Sebelum pergi, Sally memanggil Madam Kian, meminta untuk mendengar lagu yang sudah dia latih hanya dalam waktu 2 hari. Ia menyanyikan lagu berjudul Poem sesuai keinginan Sella, lagu yang menggunakan bahasa Tiongkok Chinese. Dia ingin putrinya bernyanyi menggunakan bahasa cina, bahasa rumitnya susah dalam pelafalan jika tidak ahli. Kalau putrinya bisa menyanyikan ini, maka akan menjadi sangat luar biasa.
Madam Kian memberikan banyak pujian pada Sally. Meninggalkan kamar setelah tidak ada urusan lagi yang perlu dia lakukan. Kembali bekerja mengatur rumah sebesar istana.
Sally membawa kardus lusuh, di dalamnya berisi tas. Saat ini dia memakai baju tidur agar tidak menimbulkan kecurigaan orang yang lewat. Sampainya di pintu belakang yang temaram cahaya, dia tergagap mendengar suara salah satu penjaga.
"Siapa itu?"
"Ini Sally."
"Ah, Nona Muda. Maaf, saya tidak sopan." Pengawal tersebut membungkuk.
"Tidak apa-apa. Aku ingin membawa kardus berisi buku ini kepada Veen, tolong jemput aku jam 10 malam, ya?"
"Baik, Nona Muda. Saya mematuhi."
"Kamu boleh pergi."
Sally berjinjit menengok kanan dan kiri, dirasa benar-benar aman. Dia keluar dari gerbang belakang. Tidak masalah jika dia hanya bisa keluar sebentar karena harus membuat pengawal tadi yakin. Dalam hati, dia tetap sedih. Kenapa harus datang pengawal? Jika saja pengawal tadi tidak datang, dia bisa bermain di luar lebih lama.
"Veen, Veen..." Sally berbisik. Melempar batu menimbulkan bunyi dedaunan kering sobek, memberikan kode sesuai ajaran sahabatnya.
Gang sempit sepi temaram cahaya membuat jemari Sally semakin memegang kardusnya kuat-kuat, mengigit bibir bawahnya menahan rasa takut yang membuncah.
Rasa dingin menjalar pada leher belakangnya, Sally terdiam sambil berdo'a. Semoga tidak ada hantu. Semoga tidak ada hantu.
"Ba!"
"Aa!"
"Hahaha," Veen tertawa terbahak-bahak. Melepas topeng berwajah hantu dari wajahnya. Paras rupawan tanpa cacat nampak di bawah sinar bulan.
Sally memukul lengan Veen, "Ngagetin! Ayo cepetan, kita ke pasar malem!"
"Oke, ayo! Kita cari kamar mandi umum buat kamu ganti baju." Ia menarik tangan Sally penuh semangat. Meninggalkan kardus sembarangan dan menenteng tas Sally di pundaknya. Ini adalah kali pertama mereka berdua menghabiskan waktu di luar.
Veen yang merencakan semua ini, setidaknya bisa mengalihkan kekhawatiran mereka terhadap nilai ujian. Nilai tidak bisa menggigit, tapi mereka sangat takut dengan Nilai. Terutama Nilai rendah.
Sally keluar dari kamar mandi. Gadis cantik yang biasanya tampil elegan dan anggun kini sirna. Menyisakan gadis cantik ceria yang sangat hiperaktif. Sally memakai kaos polos hitam, celana jeans sobek di kedua lutut, dan rambut yang di kuncir kuda. Tidak lupa memakai topi, agar tidak ada yang mengenali dirinya sebagai putri dari pasangan Presiden Amaranggana Group's dengan aktris papan atas, Sella Mikayla Stiva.
Veen dan Sally sampai di pintu depan, mampir ke kotak pos untuk membayar biaya masuk. Setibanya di dalam, Sally tidak bisa menahan untuk takjub. Pertama kali berbaur dengan banyak orang dalam masyarakat membuatnya sangat bahagia.
Selalu berdiri di samping Sally, Veen tidak bisa menahan untuk melengkungkan sebuah senyuman tampan. Banyak perempuan melirik malu-malu ke wajah tampan sempurna milik Veen.
Sally sudah tidak menghiraukan Veen. Dia berlari ke sana ke mari mencoba hal yang tidak pernah dia lakukan, mendatangi setiap kios yang menarik di lapangan tempat pasar malam di gelar.
Lampu besar di atas panggung menyorot ke atas, membuat garis vertikal putih transparan. Sally mendongak, membuka mulutnya lebar kagum. Ini adalah cahaya yang dulu hanya bisa dia lihat melalui jendela. Mama dan Papanya tidak pernah memberikan ijin untuk dirinya pergi ke pasar malam. Segala negoisasi di tolak oleh orang tuanya. Membuat Sally hanya bisa terduduk di balkon menyaksikan lampu putih bergerak membentuk pola setengah lingkaran. Berulang-ulang.
Sally membeli permen kapas, gulali, dan lolipop besar. Dia sudah bermain banyak hal sampai lupa waktu. Veen tergopoh-gopoh di belakang, membawa boneka raksasa hadiah dari permainan lempar anak panah yang tentu saja di menangkan oleh Sally. Anak itu sangat pandai dalam memanah. Bermain tanpa henti membuat penjaga toko hampir menangis merasa akan bangkrut bila tidak mengusir anak cantik ini.
Di pertengahan jalan, Veen membagikan boneka berukuran kecil ke beberapa anak perempuan yang melewatinya, Sally bahagia bisa membuat orang lain bahagia.
"Veen! Ayo pulang!"
"Okey, udah puas main semuanya?" Tanya Veen. Dia membenarkan topi hitam milik Sally, dan mengusap sisa permen kapas di sudut bibir sahabatnya secara lembut.
Pipi Sally memerah, menepis ibu jari Veen tanpa tenaga, "Jangan gitu, aku malu."
"Gak papa."
"Kok gitu?"
Merangkul pundak Sally yang lebih pendek darinya, dia mencuri kecupan di pipi selembut kulit bayi, "Karena kamu keliatan manis waktu malu-malu. Veen suka."
"Tuh kan, Sally malu beneran! Au ah, Sally duluan!"
Melihat Sally berjalan beberapa langkah didepan malu-malu. Rasa manis tak tertahankan menembus hatinya. Senyuman Sally adalah pelangi, sebuah warna dalam bentuk keindahan yang ingin selalu Veen pertahankan.
Dan membuat pelangi di hidup Sally adalah tujuan hidupnya.
Ada banyak perilaku manusia ketika sedang jatuh cinta. Pertama, mencintai dalam diam. Kedua, mencintai dengan mengungkapkan. Dan ketiga, mencintai tanpa berharap sebuah balasan.
Veen mencerminkan perilaku ketiga. Dia mencintai Sally tanpa berharap akan mendapatkan balasan perasaan suatu hari nanti. Dia melakukan semua yang di inginkan hatinya untuk selalu membuat Sally bahagia.
Melukis kegembiraan di wajah cantiknya adalah rasa bahagia paling sempurna. Menguapkan segala problematika dalam hatinya.
Veen terbatuk, menutup mulutnya karena trotoar sudah banyak di lewati orang. Takut tidak sopan jika dia tidak menutup mulut. Selesai batuk, dia meraih kembali boneka Sally yang dia taruh di dekat tiang tong sampah.
"Sally tunggu!" Teriak Veen.
Sally menjulurkan lidah dan terus berjalan di depan, memakan permen kapas borongannya. Anak itu sangat demam dengan rasa permen kapas saat ini.
Ia merunduk. Menatap boneka besar berbulu putih bersih. Sangat cantik seperti pemiliknya. Tapi atensinya teralihkan oleh noda basah di dekat lengan boneka. Warna merah terlalu kontras untuk bulu seputih salju.
"Darah?" Dia kalang kabut. Khawatir jika Sally akan melihatnya. Mengangkat tangan kiri yang dia gunakan untuk menutup mulut, Veen terbatu di tempat. Menghentikan langkah menatap noda darah basah di telapak tangan kirinya.
Veen meraih ponselnya, menekan icon kamera dan berkaca melalui ponsel canggihnya. Mengusap sudut mulutnya, Sally tidak boleh melihat noda darah ini. Tapi boenakanya sudah terkotori darahnya dan Sally nanti pasti akan bertanya.
Mencari akal dalam keadaan seperti ini, Veen tidak ada pilihan lain selain mengambil dua duri dari tanaman terjejer di sepanjang jalan. Menekannya tanpa keraguan. Bibirnya meringis sesaat karena merasakan rasa goresan tajam menyayat sepanjang telapak tangan halusnya.
Veen tersenyum melihat kulitnya robek tidak terlalu dalam, membiarkan darah sedikit demi sedikit keluar. Kembali memegang boneka, membiarkan darahnya mengotori.
Sally dan Veen sampai di kediaman Vira. Dirumah sepi sebab Vira lembur di butik mengurus pesanan gaun. Papa dan Mamanya sudah bercerai lama membuatnya tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Meski begitu, Veen tetap bersyukur masih memiliki Vira sebagai ibu yang selalu menyayanginya.
"Veen, tangan kamu kenapa?!" Sally menarik tangan Veen, tidak perduli pada bonekanya. Matanya berair ingin menangis melihat robekan berdarah kering.
"Gak papa, tadi kepleset terus nggak sengaja megang tanaman hias yang berdiri deket trotoar. Kesayat sedikit, kamu bersihin boneka kamu dulu. Aku masakin nasi goreng, abis itu ambil baju piyama aku dulu buat kamu pake." Tidak lupa memberikan usapan lembut di puncak kepala Sally.
Dengan beberapa bujukan, gadis cantik itu akhirnya mau pergi dan mencuci bulu bonekanya. Walau setelah di cuci pasti akan tetap meninggal bekas.
Veen memasak nasi goreng yang resepnya mudah dan tidak terlalu susah. Di tengah memasak, kerongkongannya seperti terdorong sesuatu. Dia menuju tempat cuci piring dan batuk disana, darah merah mengguyur permukaan aluminium. Memberikan warna mengerikan.
Veen menghidupkan kran, membasuh mulutnya secepat mungkin. Kedua tangannya tanpa sadar bergetar. Merasakan ketakutan luar biasa.
Ponselnya berbunyi, tertera nama Vira. Veen mengangkat telefon, memanggil Vira, "M-ma," suaranya terputus-putus.
"Kamu kenapa Veen? Sakit?"
"Darah Ma, aku batuk darah lagi." Sekuat tenaga Veen menahan diri untuk tidak membuat suara ketakutan.
"Tunggu di rumah! Mama pulang sekarang, kita ke rumah sakit!"
Sambungan terputus sebelum Veen sempat membalas. Menghirup udara dalam-dalam. Hatinya terasa sedikit tenang. Meletakkan ponselnya dan kembali memasak.
"Veen! Sally udah selesai cuci bonekanya!" Menunjukan boneka putihnya bahagia, "Kita kasih nama apa, ya?"
Veen mematikan kompor, ikut berfikir dengan tangan sibuk mengangkat nasi goreng ke dalam piring, "Vely?"
"Vely?" Sally membeo.
"Iya, Ve untuk Veen. Ly untuk Sally. Boneka ini lambang kasih sayang kita, setuju?"
"Setuju!" Seru Sally bahagia.
Mereka berdua memakan nasi goreng bersama. Selesai makan mereka tidak lupa untuk sholat bersama. Jam sudah menunjukan pukul 10 malam jadi Sally harus pulang.
Pengawal yang tadi bertemu dengannya di halaman belakang juga sudah menunggu di depan pintu, siap mengawal Sally.
"Kamu keluar dulu, tunggulah di luar gerbang. Aku ingin mengambil bonekaku."
"Baik, Nona."
Sebelum dia mengambil, Veen sudah membawakan Vely. Memberikannya pada Sally.
"Sally."
"Iya, Veen?"
Melihat mata jernih begitu bening membuat hatinya terasa di peras oleh sesuatu. "Aku mau tanya, boleh?"
"Boleh, ayo ngomong aja. Sally tunggu."
"Kamu sayang sama aku?"
Mengangguk, Sally menepuk pundak Veen, "Sally sayang sama Veen. Selalu. Kenapa harus tanya?"
"Enggak, boleh tanya satu lagi?"
"Boleh lah."
"Sally suka sama Veen?"
Mengingat betapa polosnya pemikiran Sally saat ini, dia juga mengangguk mengiyakan, "Sally suka sama Veen."
"Dan Veen juga suka sama Sally."
Wajah Sally bersemu merah saat dada Veen tepat berada di depannya, keningnya di sentuh oleh sesuatu yang hangat. Begitu lembut dan penuh kasih.
"Veen suka sama Sally. Sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan. Bukan lagi sebagai sahabat. I want to be your sun."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top