#19. Tidak Ingin Memilih

"Ini bukan tentang siapa yang mengalah, tapi tentang siapa yang lebih pantas." | Veer Darendra Mahardika.

Hari ini adalah hari ke 20 masuk sekolah selepas liburan panjang kenaikan kelas. Di kelas barunya, Veen memilih meja paling depan bersama Sally. Dengan satu mata yang tersisa untuk melihat, duduk di tempat terlalu jauh pasti akan memberikan kesulitan bagi Sally.

Kondisi tubuh Veer mengalami peningkatan karena Sally selalu rutin menjenguk, berbincang, dan membuat Veer semangat untuk sembuh. Tidak hanya pasrah terhadap takdir.

Sebentar lagi Veen akan menjalani tes uji sel induk, sekaligus mengecek kesehatan tubuh pendonor dan kestabilan darahnya.

Aruna, Vella, berserta gadis-gadis lain pembully Sally telah di keluarkan, tentu saja dengan pengaruh David Mahardika. Pengusaha dalam negeri yang lebih sering mengembangkan usaha di tanah Eropa. Kedatangan David di sekolah secara langsung membuat Kepala Sekolah sangat memperhatikan Sally dan Veen, di tambah David telah menawarkan diri menjadi donatur tetap di Cakrawala Nusantara.

Meski begitu, tetap saja ada beberapa murid yang berani membully Sally diam-diam. Hanya bully menggunakan kata, tidak berani menggunakan tindakan fisik.

Kepopuleran Veen semakin meningkat, kepalanya serasa seperti akan pecah selalu mendapati lokernya terisi banyak surat cinta, bekal, permen dan sebagainya.

"Mau ke kantin?" Veen bertanya sambil membereskan alat tulis, menatap Sally setelah selesai dengan pekerjaannya.

"Enggak, Sally mau ke perpustakaan aja." Jawabnya.

Veen mengangguk, melakukan hal favoritnya sebelum beranjak pergi, yaitu menarik satu kepangan Sally. Sampai membuat kepala gadis itu miring seraya meringis.

Dewa bersedekap dada, tidak senang melihat kedekatan antara Veen maupun Sally semakin meningkat hari demi hari. Lihatlah, dia masih terus tertinggal, belum lagi masih harus bersaing dengan Juan.

"Sally," Dewa memanggil. Membuat langkah kaki Sally berhenti, dia melihat wajah cantik di dekat pintu menoleh padanya.

"Iya, Dewa, ada apa?"

"Mau ikut ke perpustakaan, hehe." Ia berlari, tidak membereskan alat tulis maupun buku di atas mejanya.

Sally tersenyum, "Boleh, ayo barengan."

Keduanya berjalan santai menelusuri koridor, sesekali banyak adik kelas menyapa Dewa tapi selalu di acuhkan karena cowok itu hanya fokus pada Sally. Berbicara berdua sebanyak-banyaknya, karena setelah ini, Sally pasti akan berbicara dengan Veen.

Mereka sampai di perpustakaan, kondisi ruangan tidak terlalu ramai. Hanya berisi lima sampai tujuh anak saja, para siswa lebih suka pergi ke kantin, bergosip, maupun jalan-jalan untuk menghabiskan waktu istirahat. Membaca di perpustakaan sunyi bagi mereka membosankan, suntuk, dan menjengkelkan.

Pengawas perpustakaan tersenyum melihat Sally dan Dewa. Dia menawari bantuan jika ingin mencari buku, semua letak-letak kategori buku sudah dia hafal di luar kepala.

"Sal?"

"Hm?"

"Masih belum suka sama Dewa?"

Kepalanya mendongak, berkedip tiga kali menatap wajah Dewa begitu dekat dengan dirinya. Ia sedikit mundur, "Maaf, Dewa. Sally cuman anggap Dewa temen. Gak lebih gak kurang."

Dewa kembali duduk, menarik dirinya untuk kembali tegak. Bibirnya berhembus nafas kekecewaan, kegagalan, dan keputusasaan.

"Kenapa bisa nggak suka sama Dewa?" Kini ia bertanya, dia selalu mencoba yang terbaik membuat Sally nyaman berada di sampingnya. Melakukan apa saja supaya Sally mau menerima dia.

"Maaf ya," Sally meminta maaf lagi, membuka halaman baru dari buku di tangannya. "Hati Sally udah lama tertambat untuk orang lain, mendingan Dewa cari gadis lain yang lebih baik dari Sal-"

"VEEN!"

Kalimatnya belum selesai, panggilan cempreng sangat menggelegar di ruangan sepi dan sunyi seperti perpustakaan. Gadis yang berteriak tidak lain ialah Lalisa, anak dari XII IPS-3.

Anaknya cantik, berponi lucu, senyumnya lebar membentang begitu manis, tubuhnya tinggi langsing namun masih tinggi Sally. Seragamnya begitu ketat mempertontonkan lekukan indah di tubuhnya.

Lalisa memegang tangan kiri Veen erat-erat, tidak ingin membiarkan pemuda incarannya kabur dari dirinya begitu saja. Lalisa menangkap Sally dari ekor matanya. Ah, dia tahu.

Veen pasti ingin menemui Sally. Lalisa tersenyum sinis, Sally sekarang berubah drastis. Lebih pendiam dan jarang bicara, style dalam berdandan juga berubah. Menjadi sederhana, selalu di kepang dua membuat wajahnya terlihat seperti anak SD?

Lalisa cemburu harus mengakui secara jujur, Sally tetap nampak begitu manis dan cantik meski di kepang dua. Jika orang lain yang menggunakan gaya ini, mungkin akan terlihat cupu dan konyol. Cocok untuk di jadikan bahan bullyan.

Dia pernah sekali berkata kasar pada Sally, menyuruhnya untuk menjauh dari Veen karena dia gadis cacat bermata satu. Lalisa kira Sally akan mengadu pada Veen, ternyata tidak.

Jadi dia semakin bersemangat memaki Sally ketika tidak ada Veen, menyakiti Sally dengan kata-kata kejam dan cacian makinya. Tidak perduli kata-katanya bagaikan pisau untuk Sally, mampu menyayat hati perlahan-lahan hingga berdarah.

"Lis, lepas!" Veen membentak kesal. Lintah satu ini tidak mau melepaskan diri dari tubuhnya. Sekarang dia menyesali keputusannya untuk pergi ke kantin. Andai dia pergi bersama Sally saja, pasti lintah ini tidak akan menempel pada tangannya.

Matanya menatap tajam Dewa. Berani mengambil kesempatan saat dia tidak ada. Dewa sendiri memberikan senyum menjengkelkan, mengacungkan jempol mengejek Veen dan turut prihatin telah di ganggu lintah darat seperti Lalisa.

Dewa sudah merasakan kesalnya di sukai oleh Lalisa. Di kelas X Lalisa pernah menyukai dirinya, selalu menempel dan mengikuti dirinya ketika jam istirahat. Sangat menjengkelkan.

"Gak mau! Veen, kenapa si nggak mau sama Lisa? Kenapa malah milih Sally? Lisa lebih sempurna, Sally cuman gadis cacat bermata satu," kesalnya, kaki kiri Lisa terangkat lalu mendarat kesal di atas lantai. Menghentak jengkel.

Sally sendiri menarik nafas, lalu membuangnya perlahan. Ejekan mata cacat sudah tidak terlalu menganggu dia. Dewa bersuara, menghibur pujaan hati, "Gak usah di dengerin. Mak lampir kalo ngomong suka yang jahat-jahat, berbau asap neraka."

Di depan pintu, Veen mengibaskan tangan. Kakinya menjegal kaki kiri Lalisa dari belakang. Akhirnya tubuh gadis berponi itu ambruk di lantai, sangat memalukan.

Pengawas Perpustakaan dan anak-anak yang tengah membaca buku tertawa. Beberapa siswa dari luar ikut tertawa saat melirik pintu perpustakaan yang terbuka, memperlihatkan Lalisa terjerembab jatuh penuh rasa malu.

"Veen, kamu jahat!"

"Nama tengah gue tuh." Acuhnya. Lalisa akhirnya mau pergi juga. Veen sedikit berlari menghampiri meja Sally, menyodorkan satu kotak susu rasa vanilla.

Tangannya di tampar oleh tangan Dewa, "Apa lo liat-liat gue? Minggir, Sally sama gue duluan. Jangan dateng-dateng rebut posisi." Cerocosnya.

"Terus? Gue harus meluk lo sambil ketawa? Bilang, selamat Dewa udah jalan sama Sally dan berduaan di perpustakaan, gitu?" Sewot Veen. Kalimat ejekannya terdengar menyebalkan di telinga Dewa.

Sally membuka mulut, membuat Dewa tidak jadi protes. "Udah, udah, disini perpustakaan nggak boleh berisik. Makasih Veen susu kotaknya, ayo balik aja ke kelas. Jam istirahat sisa sepuluh menit lagi."

Jalan di pimpin oleh Sally, Veen berdiri di belakang bersama Dewa. Mereka tidak berhenti untuk saling sikut-sikutan, injak-injakan kaki, sampai tampar-menampar telapak tangan.

"Kalian berdua diem!" Gerakan Sally begitu cepat. Berbalik dan meninju perut dua cowok menyebalkan ini.

Dewa dan Veen sama-sama batuk keras. Sedikit terhuyung ke belakang mendapatkan tinjuan dadakan. Mereka lupa Sally punya tenaga kuat.

Dua anak bebek akur dan damai.

***

"Sini, aku bawain tasnya." Tangannya mengambil alih tas Sally tanpa menunggu persetujuan pemilik barang. Langkah kaki mereka seirama menuju ruang rawat Veer.

Sally dan Veen masih mengenakan seragam sekolah, tidak pulang dahulu berganti pakaian. Mereka kompak membelokan arah kaki kala sampai di ruangan nomer 136.

Di dalam ruangan, Veer terbaring. Sudah tidak perlu menggunakan alat pernapasan lagi. Di sampingnya tergantung selang berisi darah. Sally bisa yakin, itu rasanya sangat sakit.

Veer melambaikan tangan lemah, sekaligus memberi aba-aba bagi Sally untuk masuk menemani dirinya.

"Veer ngerasa lebih baik lagi, gak?" Tubuhnya sudah duduk di dekat bangkar. Bertanya khawatir.

Veen merobohkan tubuh di atas sofa, memejamkan mata nyenyak di sana. Berusaha tidur dan tidak mendengar percakapan antara Sally bersama adiknya.

"Lebih baik karena dapet senyum dari bidadari kayak Sally." Di akhir kalimat, Veer terkekeh. "Gimana sekolahnya?"

"Baik. Veen dan Dewa jagain Sally."

"Bagus deh, kalau ada lagi yang mencoba bully kamu. Bilang sama aku atau Veen, kita yang urus mereka. Sally-ku tidak boleh di ganggu."

Hatinya basah oleh kehangatan tumpahan kasih sayang Veer. Sally membawa tangan pucat abnormal Veer dalam genggaman tangannya. Menyentuhkan keningnya di punggung tangan sehangat Vely boneka beruang besar.

Kegelisahan Sally tertangkap oleh kepekaan Veer, dia menepuk kepala gadisnya, "Kenapa hm?"

"Veer sebentar lagi ke Singapura, Mama Vira bilang setelah operasi, Veer harus di awasi ketat selama satu bulan di sana, belum lagi kalo udah selesai lewatin satu bulan. Masih masuk ke tahap pemulihan seutuhnya satu tahun. Lama banget nanti di Singapura." Suaranya limbung, menahan frustasi di dalam pikiran maupun hati.

"Cuman sebentar, mungkin dua tahunan di sana. Kita kan bisa telefonan? Jangan sedih lagi."

"Oke."

Perbincangan keduanya terus berlanjut, tidak kekurangan topik untuk di jadikan bahasan dalam berbagi tawa. Sedari tadi hati Veen panas seperti bara api, bisa di gunakan untuk di jadikan tempat memanggang daging sapi.

Sekeras apapun dia mencoba tidur, matanya tetap ingin terbuka. Sally ijin keluar untuk pergi ke kantin rumah sakit, membeli minuman dingin untuk dirinya sendiri.

Ruangan kembali senyap.

"Bangun aja kali, gue tahu lo nggak tidur dari tadi." Kekuatan batin mereka mulai aktif. Veer bisa merasakan kegelisahan mendadak di hatinya.

Veen juga santai ketahuan tidak tidur, "Mau apa?"

"Enggak, gue boleh tanya sesuatu?"

"Tanyain aja."

"Lo suka sama Sally, kan?"

Kepalanya kesemutan, dua mata elang berbeda makna saling bersitatap. Wajah kembar mereka seperti cerminan satu sama lain. Untuk saat ini, warna kulit adalah perbedaan mencolok di antara keduanya. Sang kakak berkulit putih segar, dan sang adik berkulit putih pucat dengan beberapa tanda kemerahan di bagian lengan.

"Maksud lo? Gak usah ngawur."

Mata Veer menyipit, bibirnya membentuk senyum semanis milik Veen. "Gak usah bohong, tatapan mata lo ke Sally, gue paham arti dari tatapan itu."

Tubuhnya sudah kembali ambruk di sofa, memiringkan tubuh menghadap punggung sofa. Suaranya sedikit teredam saat menjawab, "Iya, gue suka sama Sally. Tapi gue gak ada niatan buat milikin dia untuk diri sendiri. Sally milik lo. Sebagai abang, malu-maluin rebutan sama adek sendiri."

"Veen, ini bukan tentang siapa yang mengalah. Akan tetapi tentang siapa yang lebih pantas di antara kita berdua. Dengan kondisi gue kayak gini, setelah operasi kita nggak tahu apa hasilnya. Seandainya jiwa gue lepas, lo satu-satunya orang terpantas untuk dapetin Sally."

"Jaga omongan lo, Mama sama Papa udah berusaha sampai detik ini. Dan lo justru mikir setelah operasi jiwa lo lepas? Mana semangat lo?" Posisinya sudah menjadi duduk sangat cepat. Marah mendengar kalimat Veer yang putus asa, tidak menyimpan semangat sedikitpun.

Di luar ruangan, Sally berdiri di sisi pintu masuk. Memeluk botol minuman dingin dalam diam. Siapa akhir dari pemilik hati ini?

Sally mencintai keduanya. Tidak pernah ingin kehilangan salah satu, entah itu Veen, ataupun Veer. Dia ingin mereka tetap selalu di dekatnya, menjaga dirinya dan memberikan kasih sayang di sambungi perhatian. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top