#18. Telah Menemukan Pelaku

"Tuhan selalu adil, memberikan kita kesempatan untuk menghabiskan sementara waktu bersama orang yang kita cinta jika tidak mampu menghabiskan waktu bersama untuk selamanya." | Veen Darendra Mahardika


Anak panti bergerumul di dekat pagar setinggi setengah paha orang dewasa, cat putihnya telah memudar termakan waktu dan di guyur oleh air hujan selama bertahun-tahun. Kayunya juga sudah nampak reot.

Veen datang membawa kardus di tangannya, makhluk kecil mendekati Veen lebih dulu. Menatap kotak besar penuh rasa ingin tahu. Otak kecil mereka berharap bahwa di dalam kardus besar, ada harta karun permen.

Sally mamakai blouse biasa berwarna navy, rok tutu hitam mencapai mata maki menutupi kaki jenjangnya yang indah. Rambutnya masih di kepang dua, setelah di potong, dia sangat suka gaya kepang dua. Tidak perduli bahwa tampilan baru ini memberikan kesan cupu untuk dirinya, Kian bilang Sally terlihat semakin manis. Juan dan Dewa juga berkata hal sama.

Bunda Fisa datang dari dalam, menggendong bayi mungil berkulit kemerahan. Veen dan Sally datang untuk salim tangan. Veen langsung undur, izin memfoto anak-anak.

"Anak yatim piatu baru ya, Bun?" Tanya Sally sangat penasaran.

Bunda Fisa menepikan selimut yang membungkus wajah imut makhluk mungil di gendongannya, "Iya, subuh tadi baru tahu kalau ada bayi. Entah orang tua mana lagi yang tega membuang anak semanis ini. Oh iya, kamu mau kasih nama, nggak?"

Sally tampak bersemangat, mengangguk gembira, senyumnya begitu ceria membuat Veen diam-diam memindah arah kamera ke objek baru. Menitik fokuskan lensa pada makhluk terindah dalam hidupnya, mencetak satu kenangan bidadari tersenyum di sore hari.

Veen ikut mendekat setelah memberikan kardus kepada anak-anak, telunjuknya menyentuh kulit pipi bayi, sangat lembut.

Sekilas dia melihat Sally dari ekor matanya, membiarkan imajinasi menguasai. Andai dia di beri kesempatan untuk hidup bersama Sally, akankah keturunan mereka nanti lebih manis dari bayi ini?

Veen menggeleng lemah, dia tidak pantas untuk bermimpi terlalu jauh. Bisa bersama gadis yang dia cintai untuk sementara waktu sudah lebih dari cukup, meski mereka tidak bisa bersama selamanya.

Melihat senyum di wajah pelitanya, sudah termasuk hal membahagiakan. Dia tidak ingin berharap terlalu lebih, Veen sadar diri dia terlalu banyak menorehkan luka di hati gadis itu.

"Ini perempuan atau laki-laki, Bun?" Wajah bayinya belum bisa menjelaskan jenis kelamin, jadi Sally memastikan terlebih dahulu.

"Perempuan, gedenya pasti cantik mirip Sally."

Pipi berisinya merona, akhir-akhir ini Kian selalu memberikan dia banyak makan. Membuat pipinya semakin berisi, "Bunda Fisa, bisa aja nih. Kalo namanya Friza gimana?"

"Bagusan Salve, Bun," cetus Veen, padahal tidak ada yang meminta pendapat dari dirinya.

Bunda Fisa berfikir, "Salve aja, ya? Panggilannya Sasa gitu. Sekarang nama kamu Sasa."

Beliau tidak menyadari nama Salve adalah gabungan dari nama dua anak remaja di depannya, Sally pergi bermain dengan anak-anak meninggalkan Veen sendirian. Dia sedang tidak ingin berbicara dengan Veen.

Hubungan di antara mereka sedikit canggung setelah Veen mengakui mencintai dirinya, pemuda itu menjadikan Aruna kekasihnya guna menekan hati untuk tidak terlalu fokus pada dirinya. Sally merasa gemuruh di hati.

Hatinya saja saat ini belum stabil. Terguncang oleh dua sosok kembar di waktu yang sama membuat ia kewalahan. Pontang-panting menata hati untuk memilih salah satu, tapi terasa sulit. Kenapa di dunia ini perempuan tidak boleh punya dua pasangan?

Sally mulai merasa konyol sendiri. Bermain bersama anak kecil ternyata sangat melelahkan, Dion tetap semangat menapakan tongkat di atas tanah secepat dia bisa. Ikut berlari dari kejaran Fajar. Tawa mereka membuat Sally semakin bersyukur, dia masih lebih baik dari anak-anak disini, memiliki banyak orang yang menyayangi dirinya.

Veen duduk di sebelahnya, menyodorkan aqua. Sally menerimanya, berterima kasih pelan. Mirip seperti cicitan.

Veen meletakan kamera di sisi tubuhnya, berkata lembut kepada Sally, "Aku ngungkapin perasaan aku, bukan untuk membuat kamu menjauh. Aku ngungkapin perasaan aku, karena aku mau kamu tahu, selama ini aku memilih Aruna sebab takut aku jatuh makin dalam sama kamu. Sebagai kakak, aku nggak mau berebut cinta dengan adik sendiri. Lagipula Veer lebih berhak."

Sally menggaruk luaran botol plastik, kepalanya sedikit menyamping karena Veen menarik satu kepangannya. Pemuda itu tersenyum begitu manis, mata sedingin es terlihat berkilau seperti aliran sungai berbintang. Lihat, lihat!

Wajah ini sangat mirip dengan Veer. Ketika lembut perlakuan mereka sangat hati-hati untuk dirinya. Bagaimana dia bisa memilih salah satu?

Sally bisa menangkap helaan nafas cukup kasar dari samping. Dia tahu itu adalah helaan nafas Veen, terdengar sangat lelah dan cukup berat.

"Sally sayang sama kalian berdua, Veen dan Veer sahabat aku." Kata Sally.

"Aku tahu, masa bersama kita sewaktu kecil mungkin cuma satu tahun. Tapi aku masih inget semuanya. Kamu suka banget gundal-gandul di kaki aku sambil cekikikan, nempel kayak anak beruang ke induknya."

Nostalgia Veen membuat dirinya malu, saat masih tadika dia begitu manja mendapatkan teman laki-laki tampan dan baik hati seperti Veen. Sehingga dia suka menempel pada cowok ini.

"Jangan di inget, Sally malu."

Veen menarik lagi satu kepangan Sally. Menimbulkan pekikan kesal pemilik kepangan.

"Veen!"

Senyum tampannya semakin mengembang, mengubah topik begitu cepat, suasana menjadi serius, "Kamu yakin nggak mau cerita siapa yang udah sakitin kamu?"

"Enggak Veen, aku udah maafin mereka semua. Jangan di usut lagi, Paman David pasti bertindak keras. Kasian kalau mereka di penjara."

Hatinya meringis. Sally belum bisa sepenuhnya memaafkan Vella. Lisannya berbohong karena takut Vella benar-benar di penjara nantinya. Ia merasa kasihan.

"Yaudah, tapi aku udah tahu siapa di balik pembullyan kamu."

Jari rampingnya menarik kaos hitam Veen, matanya membulat, "Ka-kamu tahu?"

Membiarkan kaosnya untuk di pegang erat. Veen menumpu telapak tangannya di atas punggung tangan Sally. Menjawab, "Udah. Aruna di balik semua ini."

Keningnya berkerut. Aruna? Bukan gadis itu. Vella yang menyakitinya. Penjelasan Veen berlanjut membuat Sally kembali memperhatikan seksama.

"Kemarin, aku ngundang Aruna untuk ikut syukuran, karena dia jarang bisa main ke rumah dan deket sama Mama. Aruna langsung setuju. Tapi saat aku pesen buat bawain makanan ringan untuk anak-anak, dia tanya acara syukurannya buat siapa. Aku jawab untuk Sally, dia langsung nolak. Aruna selalu pengen banget bisa deket sama Mama, sejak saat itu aku udah curiga sama dia. Besoknya kita ketemuan, Aruna punya kelemahan di bagian telunjuk selalu terkait dengan jari tengah kalo berbohong. Dia jawab nggak tahu apa-apa tentang kamu, tapi jari dia berkata jujur." Ia menjeda.

"Aruna dalang di balik rencana ini, dan Vella yang melakukan aksi. Bener kan? Aku udah kasih tahu Papa, dia memberi pilihan buat keluarga Anggoro dan Bagaskoro untuk memilih anak mereka di penjara atau jatuh dari dunia ekonomi. Aku dengan Aruna juga udah berakhir." Sambung Veen.

Paman David memang lugas dan langsung membidik tepat sasaran. Pikir Sally. Mulutnya ingin berucap membela dan memberikan keringanan untuk Vella, jika untuk Aruna, dia bergerak gelisah. Dia membenci Aruna begitu dalam kali ini.

Kata-kata Veen mendorong kalimat Sally kembali tertelan paksa, "Gak usah bela mereka. Hukuman pantas mereka dapatkan, kalau kamu nolak. Veer juga akan kecewa karena dia mau keadilan untuk kamu, mata kamu rusak karena mereka berdua. Karma selalu ada selepas dosa."

"Oke." Bulu matanya terkulai, menyembunyikan mata sendu sedikit menyimpan kekesalan, bibirnya kembali terbuka dan berkata, "Tapi jangan tindas keluarga mereka, orang tua Aruna dan Vella nggak tahu apa-apa tentang perilaku anaknya. Tolong bicara sama Paman David."

Alis Veen mengerut tak suka, sifat Sally menjengkelkan kala mengangkat topik ini. "Sal, kamu tahu Papa nggak suka meninggalkan tikus jahat setelah mencuri makanan. Papa lebih suka membunuh semua tikus daripada di kemudian harinya mengalami kerugian dari tikus jahat yang tersisa. Sekarang Paman Arjuna dan Tante Sella udah bener-bener lepas kamu. Mereka bahkan juga nggak jenguk kamu, kalau Papa membiarkan Aruna dan Vella maupun keluarganya lepas. Apa kamu berfikir, suatu saat mereka gak bisa melakukan hal buruk ke kamu waktu aku dan Veer nggak ada?"

"Maaf, Sally cuman mau belajar untuk memaafkan dan tidak menyimpan dendam sama Vella." Sesalnya, Sally mencoba untuk lebih baik dalam mengikhlaskan segala hal dari sekarang. Ternyata tidak semudah dari ekspetasi.

"Nantinya, aku kuliah di New York dan tinggal sama Mama Vina. Aku nggak mau ngebiarin satu tikus jahat lepas dan bisa nyakitin kamu kapan aja waktu aku nggak ada."

Sally menengadahkan kepala, menatap punggung Veen mulai menjauh dari tempatnya duduk. Menghampiri anak-anak kemudian bermain bersama di halaman panti.

Dulu Veer pergi dan sekarang telah kembali. Mengapa saat Veer kembali, Veen justru ingin kembali menjauh dari dirinya?

Wajah Veen menyamping, melihat siluet Sally melalui sudut mata elangnya. Ini adalah keputusan paling tepat. Dia sudah memiliki keyakinan penuh kepada Veer, adiknya akan sembuh setelah mendapat sel induk tulang sum-sum dari dirinya. Untuk resiko hasil dari anestesi, Veen berharap dia mendapatkan anestesi yang cenderung aman.

Dia juga manusia, bisa ketakutan. Tapi ini semua demi Sally dan Veer. Dua sosok paling berharga di dalam hidupnya. Tubuhnya berputar dengan Mita di gendongannya, iris gelapnya sekelebat menatap sikap termangu Sally.

Apa gadis itu tidak rela jika dirinya pergi? Kalau iya, hatinya tidak bisa menyembunyikan rasa hangat yang perlahan merambat. Membungkus hatinya bersama sapuan lembut dari api kasih sayang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top