#17. Transplantasi
Sally terhenyak, sesuatu di dalam hatinya serasa runtuh bergemuruh, rentetan bunyi retakan tertinggal bersamaan hancurnya hatinya menjadi puing-puing dinding hancur. Membuat hatinya kotor dan sakit, ujung pecahan menusuk titik sensitifnya.
Nama penyakit yang di ucapkan Veen membuatnya sedih. Ia bertanya, "Veer selalu jadi kamu, dan dia tampak sehat tanpa obat. Kenapa bisa kena penyakit?"
"Tubuh Veer lemah sejak kecil, obat yang selalu di konsumsi Veer selalu aku simpen. Baru setelah kita ketemuan, aku ngasih obatnya ke dia. Selama ini selalu seperti itu, tubuhnya yang lemah tidak kuat menampung terlalu banyak aktivitas dan akhirnya mengalami gangguan produksi sel darah bagian tulang sumsum-"
Arah pandangnya mendongak sejenak, lalu menatap Sally, "Waktu ujian nasional SMP, aku yang ngerjain karena itu kita jarang ketemu. Aku ijin ke Kepala Pelayan buat ngunjungin Mama, tapi sebenernya aku gantiin Veer untuk masuk ujian, Veer sendiri waktu itu ada di rumah sakit. Dan pertukaran ini kebongkar lebih dulu sama Mama, Veer minta beberapa hari lagi menjadi Veen supaya bisa ngabisin waktu sama kamu. Tapi di tolak.”
"Pasti ada cara untuk sembuh kan?"
Veen tidak menggeleng atau mengangguk, diam termenung, kemudian menjawab, "Ada satu. Transplantasi tulang sumsum dari sel induk yang sehat, tapi resiko transplantasi terlalu besar bisa sampai menghilangkan jiwa pasien, atau tulang sumsum bisa hancur. Para dokter transplantasi juga harus memikirkan matang-matang tentang ini, karena salah sedikit. Maka pendonor dan pasien dalam bahaya."
Keriuhan anak-anak tidak lagi terdengar oleh telinga Sally, indra pendengaran seakan mati dan mendengung keras mengetahui kondisi Veer.
"Kenapa nggak coba dulu?" Heran Sally, sesedikit apapun peluang, harus tetap di manfaatkan sebaik-baiknya. Lebih baik berusaha daripada hanya diam saja dan menyerah, pasrah pada keadaan.
"Kondisi tubuh Veer belum memadai."
"Lalu, kalau Veer terpaksa harus transplantasi siapa pendonornya?"
"Aku."
Tubuh Sally bergidik, entah kenapa merinding. Seperti sebuah duri di tusuk di setiap pori kulitnya. Transplantasi tulang sumsum berarti sel induk si pendonor di ambil dan di berikan kepada pasien.
Menjadi pendonor juga bukan hal mudah, pendonor bisa terkena beberapa dampak. Resiko yang muncul dari anestesi bisa mencakup kebingungan setelah operasi dan pneumonia. Tapi ada juga anestesi yang cenderung aman, seperti sakit tenggorokan karena tabung pernafasan, mual ringan, dan muntah-muntah.
"Veen,"
"Jangan khawatir."
***
Dewa datang ke rumah baru Sally bertepatan dengan kedatangan Juan, mereka berdua saling melemparkan tatapan sengit. Dewa membawa makanan di tangannya, sedangkan Juan membawa susu segar dan beberapa buah.
Pintu terbuka, Sally muncul, gadis itu masih memakai piyama domba. Rambutnya sudah di potong pendek sebahu, di kepang dua. Kepangannya sangat pendek dan terlihat lucu.
"Kalian datengnya pagi banget, ayo masuk."
"Wah, balapan nih kayaknya," kelakar Kian dari belakang. Membawa nampan berisi tumpukan piring, lauk pauk sudah tersedia di atas karpet.
3 hari setelah syukuran, Sally dan Kian mengajak teman-teman Sally untuk makan bersama di rumah barunya. Ia juga sudah melupakan masalah bully, tidak ingin mengungkapkan siapa pelaku kepada Veer maupun Veen.
Sally sudah memaafkan Vella, jika Vella sampai di penjarakan oleh Paman David, orang tua gadis itu pasti akan sedih. Mulai sekarang, Sally mencoba belajar untuk memaafkan dan berfikir bahwa ini bukan hanya salah Vella.
Tapi ini juga salahnya, dari dulu dia selalu menolak ajakan berteman dari Vella. Menolaknya mentah-mentah, tidak menggunakan bahasa yang sopan dan lembut. Memicu kebencian Vella pada dirinya.
Sepenuhnya kesalahan tidak hanya ada pada Vella, tapi juga pada dirinya.
Nanay datang bersama Ello, kekasihnya. Tahun depan mereka sudah siap untuk menikah. Keduanya telah berpacaran hampir 3 tahunan, dan sepakat untuk membawa hubungan asmara mereka ke dalam ikatan spiritual.
Dewa sejak tadi menguntit Sally, membututinya seperti ekor. Bertanya siapa yang telah melukai dirinya, tentu saja Sally tetap diam. Menampilkan senyum dan mengusir Dewa dengan cara halus.
Jian dan Jion tidak bisa ikut karena menemani Aska jalan-jalan, besok anak bulepotan tersebut harus kembali ke New York. Jadi ingin jalan-jalan di Jakarta satu hari penuh ditemani si kembar Albramas.
Kondisi Veer tidak baik, tidak buruk, tetap stabil. Dokter telah menyarankan untuk transplantasi tulang sumsum di Singapore, tapi mereka harus menunggu kondisi Veer mengalami peningkatan kesehatan. Rajin kemoterapi dan transfusi darah.
Hasil kemoterapi 2 hari yang lalu menunjukan sedikit harapan, David dan Vira tidak menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. Percaya dan berharap pada setiap celah terakhir untuk menyembuhkan anak mereka.
Hanya saja, Veen, pemuda itu-
Sally tidak ingin membahasnya.
Nanay duduk di dekat Kian, di samping kirinya ada Ello yang tersenyum manis. Lelaki pilihan Nanay sangat imut, murah senyum, dan ramah. Tutur katanya pun halus.
Di sisi lain. Sally tidak bisa menahan untuk cemberut, menghembuskan nafas berat frustasi. Kedua tangannya masih memeluk piring kosong.
Iyalah masih kosong, ketika dia mau mengambil lauk dan nasi, Dewa serta Juan berebut ingin mengambilkannya untuk Sally. Berakhir kedua lelaki tersebut saling tampar menampar tangan di depan Sally.
Ia jadi tidak bisa mengambil lauk maupun nasi, bahkan sekedar mengulurkan tangan saja sudah tidak bisa. Takut terkena tampar-tamparan dari Dewa dan Juan.
Kian menarik Sally untuk duduk di sampingnya membuat dua anak itik melepas kepergian sang induk. Abang Juan sekarang terang-terangan menunjukan segala bentuk perhatian untuk Sally, apa tidak cukup Dewa saja yang membuatnya tidak enak hati? Harus di tambah Juan juga?
Ia kesal.
Setelah makan selesai, Nanay memakan kacang di sofa, menonton television seksama. Di sampingnya ada Ello yang merangkul kekasihnya.
Di sofa tengah ada Sally yang di himpit Dewa dan Juan. Otaknya cenat-cenut, membuat mata kirinya terasa nyeri dan perih, dia menyerah dan marah, "Dewa! Bang Juan! Minggir dong, dari tadi dempetin Sally mulu!"
"Anak ingusan itu yang dempetin lo, Sal. Gue mah duduk di sini doang, jaga-jaga kalau itu anak macem-macem." Jelas Juan. Memberikan tatapan petir untuk Dewa, tak kalah sengit, Dewa membalas tatapan petir memakai tatapan berkobar api.
Suara Kian membuat mereka melupakan pertengkaran, "Dewa, saya boleh minta tolong?" Menghampiri anak-anak di ruang tamu, lalu duduk di sofa tunggal.
Dewa mengangguk, "Boleh, bu. Mau minta tolong apa?"
"Ibu mau ada rencana buka restoran kecil-kecilan, dan saya mau kamu yang jadi tukang foto buat promosi di internet nantinya."
Sally meletakan remot ke atas meja kaca kecil, sedikit merasa di rugikan, "Kok Ibu nggak bilang ada rencana kayak gini?"
Kian tersenyum, "Pikiran kamu harus tenang, jangan mikir yang bikin stres soalnya bisa ngaruh ke mata kiri kamu. Jadi Ibu gak ngasih tahu. Kita butuh penghasilan tetap untuk hidup, dan Ibu juga mau buka restoran kampung gitu. Ibu punya banyak resep makanan dari kampung halaman."
"Juan juga bisa bantu bu, setiap seminggu sekali selalu ada acara di rumah. Mungkin nanti Juan bisa pesen makanan di Ibu aja, sekalian ikut bantu promosi ke temen-temennya Mama." Ucap Juan. Tidak mau kalah dari Dewa untuk terlihat baik di mata Kian. Persaingan di antara mereka berdua terlalu kentara dan cukup lucu.
"Wah, bagus. Ibu udah dapet lokasi dan tempatnya dari mbak Vira. Besok mau ngecek kondisi disana."
Nanay mengacung tangan semangat, "Bu! Masalah karyawan biar Nanay yang urus, Nanay punya banyak temen yang lagi cari kerjaan."
Sally merasakan haru di dalam hatinya bisa memiliki banyak teman dalam suka maupun duka, siap membantu dengan ikhlas untuk membantu hidupnya.
Ponselnya berdering di dalam kantong baju, satu pesan dari Veen masuk.
Veen
Jam 13.30 siap-siap, kita main ke Panti Asuhan Pelangi.
Oke,Veen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top