#16. Jangan Terlalu Sedih

Jam menunjukan pukul 19.30 wib.

Sally duduk di bibir ranjang, melihat langit gelap bertabur bintang. Di sana, bulan menggantung indah dengan bentuk bulat sempurna. Cahayanya membuat Sally merasakan ketenangan di hati.

"Masuk," ucapnya saat mendengar suara pintu di ketuk dari luar.

Sally tersenyum, mata kanannya yang tidak tertutupi kapas melengkung membentuk bulan sabit, "Veer."

Pemuda di depan pintu membeku, kembali pada kesadaran, berjalan mendekati tempat duduk Sally. Ia membenarkan, "Aku Veen."

Oh, Sally salah.

Wajah Veen sangat teramat lembut seperti Veer tadi.

"Maaf."

"Nggak papa," tamatan penuh dambaan tidak Veen tutupi dari pupilnya. Malam ini Sally memakai gamis putih dan jilbab senada. Jahitan dari Vira sendiri. Dia membuat baju 5 hari yang lalu, membuat 4 stel koko dan 5 stel gamis.

"Veen ngapain di sini?" Tanyanya. Pandangan matanya tetap terfokus kembali pada langit malam.

"Berhenti mengkonsumsi obat penenang."

Sally mendongak, menatap tepat ke iris segelap langit malam, "Kamu tahu?"

"Waktu itu aku liat botol obat vitamin di atas meja rias kamu, tapi warna obat vitamin bukan putih karena aku juga sering konsumsi pil vitamin. Tangan kiri kamu juga mengalami keanehan, aku sempet pergi ke dokter saraf. Sekarang aku tanya sama kamu, kenapa tangan kiri kamu bisa gemetar?"

Wajah lembutnya merunduk, meremas jilbab putih lebar, "Karena perubahan sikap kamu dulu, aku tertekan dan selalu berfikir apa salah aku sama kamu. Selain kamu, aku nggak punya siapa-siapa untuk di jadikan tempat berkeluh-kesah, Sally putus asa. Marah dengan diri sendiri dan takut akan kesendirian. Sejak saat itu, tangan kiri Sally suka gemetar terdorong rasa takut dan baru tenang setelah mengonsumsi obat penenang."

Veen berjongkok di depan Sally, menggenggam kesepuluh jemari yang lebih mungil dari miliknya, "Mulai sekarang, hindari obat itu. Tangan kamu terkena tremor dan ini pasti efek samping dari benzodiazepin, rasa Prolonged Grief Disorder di tambah benzodiazepin mendorong kamu mengidap tremor saat sedih karena kehilangan sosok yang kamu cintai. Jadi Veen mohon, setiap kamu kesepian, panggil aku atau Veer. Kami selalu ada di sisi kamu mulai saat ini."

"Itu benar," Veer menyahut setelah hanya diam mendengarkan dari luar, merasa tidak nyaman di hati melihat tatapan mata kakaknya untuk gadis tercinta. Ia menepis pikiran tersebut.

Suasana mendadak canggung. Veen pamit untuk pergi, tidak berani menatap mata berkilau seindah bulan malam memandang penuh damba akan adiknya.

"Aku pergi dulu. Cepet turun, syukurannya bentar lagi di mulai."

Tersisa Veer dan Sally di dalam kamar tamu. Ia duduk di samping Sally, tersenyum hangat, bibirnya berucap manis, "Sally-ku sangat cantik hari ini."

"Beneran?"

"Iya." Jari telunjuknya terangkat mengusap pangkal hidung Sally pelan, "Sally harus janji sama Veer. Gak akan pernah kembali lagi ke dunia malam, Veer tahu kamu masuk ke dunia itu untuk menjadi sosok kamu sendiri terlepas dari segala kekangan dan aturan, tapi dunia malam juga tidak baik untuk Sally. Masih banyak cara untuk menjadi diri sendiri tanpa harus membahayakan kesehatan suatu saat nanti."

"Em!" Ujung jilbab bagian belakang berayun akibat anggukan Sally, dia lebih pendiam dan sering melamun jika tidak di ajak bicara dahulu. "Sally janji. Veer, nanti- darah!"

"Ah, sebentar," tangannya merogoh saku celana. Mengambil sapu tangan biru bersulam awan, menyapukan ke lubang hidungnya yang mengeluarkan darah. Kenapa harus di saat seperti ini?

Sally khawatir, mendadak otaknya mengulas kembali masa dimana akhir-akhir ini dia habiskan bersama Veer. Keadaan kulit pemuda itu lebih pucat dari awal mereka bertemu, "Veer, kulit kamu pucet banget. Kamu juga dulu jarang mimisan, kenapa sekarang mimisan? Darahnya ada banyak."

Fokus Sally terombang-ambing, terlonjak dalam hati di hantam oleh potongan memori, kembali ke masa ketika dia di bully oleh Vella. Bibir mungilnya bergetar, Veer menyadarinya.

"Sal?" Veer panik, Sally memeluk menutup erat mata kirinya, seolah-olah dia saat ini sedang berada di toilet perempuan. Matanya akan rusak, dia harus melindungi mata kirinya.

Gadis itu mengalami delusi.

Veer membawa tubuh rapuh yang bergetar terperangkap dalam lautan kehangatan. Menyalurkan kekuatan melalui sebuah pelukan.

"Tenang, aku disini. Sally aman," bisiknya.

***

Ruang tamu di sulap menjadi sangat meriah, ada banyak balon tertempel di dinding untuk membuat anak-anak senang melihatnya. Lampu kelap-kelip berganti warna dari merah, hijau, biru, sangat indah dan gemerlap. Menambah kemeriahan malam syukuran bersama anak yatim piatu.

Anak-anak panti yang di undang kali ini adalah pilihan Veen, awalnya Vira sudah menentukan untuk mengundang Panti Cemara, tapi kemudian putranya datang begitu saja memaksa dirinya mengundang anak-anak dari Panti Asuhan Pelangi.

Veen memilih Panti Pelangi bukan secara acak tanpa alasan, Panti ini berisi anak-anak kecil berkekurangan dalam fisik. Ia berniat memberikan sebuah kebahagiaan di atas kesedihan Sally saat ini, memberikan gadis tersebut motivasi dengan melihat anak-anak dari Panti Pelangi.

Mengingatkan jika masih ada banyak orang yang lebih menderita dari Sally, jadi dia tidak boleh terlalu berkabung dalam kesedihan, mulai sekarang Sally harus tersenyum.

"KAILIN!" Teriak wanita paruh baya dari dalam dapur.

Askailin, si cowok bule berpupil biru membalas juga dengan teriakan, "Mom! Please, i'm Aska, not Kailin! A'a itu cowok Ma! Bukan lady!" Kesalnya.

Veen masuk bersama anak-anak, menatap sepupu bulenya yang sibuk marah-marah. Memukul punggung sofa seperti ingin menghancurkannya.

Anak-anak pergi bermain balon di sudut ruang tamu.

"INI TEH KUMAHA DI SURUH GORENG MALAH DI TINGGAL PERGI?!" Vina berteriak sangat kencang, dia adalah adik kembar Vira. Menetap di New York mengikuti sang suami, sampai di Indonesia tadi sore untuk ikut syukuran sekaligus menginap beberapa hari melepas rindu dengan kakak kembarnya. Vina ke Indonesia berdua saja dengan Askailin.

"DON'T SAY KUMAHA NYAK!" Aska sibuk main game di benda pipih canggih dalam genggamannya.

Veen menabok kepala Aska, "Main gamenya di tunda dulu, sana deketin Mama Vina minta apa." Ujarnya.

"You mah gandeng pisan. Pergi sono, ganggu orang main game aja!"

Veen tidak mau mengingatkan lebih, menghampiri Vira dan memberitahu waktu mulai sudah dekat. Ibu Panti- Bunda Fisa sudah menggiring anak-anak duduk rapi di atas karpet.

Berjalan wara-wiri, teriakan Vina terdengar lagi begitu nyaring sekali, "KAILIN, KAMU KAMANA?"

Aska menyembulkan kepala, berteriak lagi untuk menjawab teriakan Vina, "MOM AING HERE!"

"Nuju naon?" Vina mendekat, kedua tangannya membawa nampan berisi beberapa piring. Naik pitam melihat anaknya justru leha-leha tidur gegoleran di atas sofa, "Bantuin keluarin makanan!"

"Oke Mom!" Balasnya dengan dengusan. Memberhentikan gamenya sementara, membantu Vina setengah ikhlas.

Vira menepuk punggung adiknya, dia meletakkan piring bersih di dekat kompor, wadah untuk tempe mendoan bagi Jion. "Sabar Vin, darah tinggi nanti."

"Aing lieur pisan ngurus satu budak itu, bandelnya minta ampun." Dumelnya, mengambil piring berisi makanan uang tersisa untuk di bawa ke ruang tamu.

"Ini belum tambah Jion anak bungsu dari pelanggan aku di butik, ramenya tambah nggak nguatin nanti."

Meletakan piring secara kasar ke atas nampan, Vina melampirkan tampang galak di wajahnya, "Biarin, kalo bandelnya naudzubillah mau aku sunatin ulang."

Kian datang dari luar, baru saja pergi ke warung terdekat membeli permen dan sejenisnya sesuai permintaan Veen. Melihat anak-anak telah duduk, dia ke dapur membantu mengeluarkan air, makanan sudah di hidangkan di atas karpet semua.

***

Syukuran berjalan lancar, Veer undur diri lebih dulu. Pergi di jemput sopir pribadi David, dia harus kembali ke rumah sakit pusat dan melakukan pemeriksaan ulang untuk kemoterapi. Dalam hal penyakit ini, dia belum memberitahu Sally.

Veen di taman bersama Sally berserta anak panti, yang lain sibuk berbicara di dalam. Di tangannya terdapat lima bungkus permen manis. Dia bertanya, "Siapa yang mau?"

"Mauuuuu!!!" Seru anak panti bersamaan.

Veen berjongkok, menyamakan tingginya setinggi anak-anak, "Sekarang tunjukin gambaran kalian untuk kakak cantik di sana sesuai yang Kak Veen suruh. Gambaran yang di ambil kakak cantik dapet semua permen ini." Dua tangannya memamerkan lima bungkus permen, memicu semangat anak panti makin ricuh.

Sally tertawa kecil, anak-anak berpindah mengepung dirinya. Mereka berlomba memberikan gambaran mereka sendiri, coretan dalam gambar sangat khas hasil anak-anak.

"Kakak cantik pilih punya Mita aja!" Desak anak perempuan bermata satu, gadis itu sama dengan Sally. Saraf di salah satu mata mengalami masalah dan kehilangan fungsi untuk melihat.

Dion, anak kecil membawa satu tongkat juga berseru semangat, "Kakak cantik pilih gambar Dion aja! Bagusan ini!"

Fajar berdiri di samping Dion, ikut menyodorkan gambar memakai tangan kiri. Terlihat kurang sopan, tapi di balik itu ada kebenaran bahwa, saraf otot tangan kanan Fajar lumpuh selepas mengalami kecelakaan. Yang kemudian bertemu Bunda Fisa. Di bawa pulang ke Panti Asuhan, mengurusnya dengan anak-anak lain.

Veen yang menceritakan tentang ini tadi.

Sally tidak tega untuk memilih salah satu, hasil dari keputusannya pasti akan menimbulkan kekecewaan di hati anak-anak tidak terpilih. Memikirkan solusi yang lebih tepat, aman, dan adil. Sally mengambil semua gambaran anak-anak, "Karena gambaran kalian semua bagus, Kak Sally ambil semuanya ya." Bibirnya memamerkan senyum ceria.

Anak-anak saling tatap, bersamaan menoleh ke tempat dimana Veen masih berdiri menggendong banyak bungkus permen.

Melihat mata kecil penuh harap menatap dirinya, Veen tidak bisa menahan senyum, "Sini, karena kakak cantik suka sama gambaran kalian semua. Jadi permen ini harus di bagi sama rata. Paham anak-anak?"

"Paham, Kak."

Mita mengambil lima bungkus permen, tangan kecilnya berusaha membawa harta karun berharga milik bersama sebaik mungkin. Duduk di atas rumput tak perduli bajunya kotor, membuka bungkus permen lalu membagi sama rata. Menikmati rasa permen di iringi kebersamaan. Pemandangan menyenangkan.

Melihat tawa riang mereka, Sally memeluk erat gambaran dalam pelukannya. Mereka mengalami keterbatasan dan tidak menunjukan raut sedih, tetap tersenyum bersama teman-teman lainnya. Saling tertawa menularkan rasa bahagia.

Veen duduk di samping Sally, berkata, "Aku ngasih kejutan ini untuk kamu. Dari malam ini, kamu tahu masih banyak orang yang lebih menderita dan mengalami keterbatasan. Tapi mereka tetap tersenyum, menjalani semuanya di dampingi hati bahagia. Menerima segala keadaan meski memiliki banyak kekurangan."

"Iya, Sally tahu. Makasih ya, Veen. Sekarang Sally belajar sesuatu, seburuk apapun musibah di mata kita. Sang Pencipta tidak akan pernah memberikan luka tanpa adanya tawa."

Veen menepuk puncak kepala Sally tiga kali, "Mulai sekarang,kamu harus percaya dan cintai diri kamu sendiri. Sedih boleh, tapi jangan terlalu terkunci dalam kesedihan terlalu lama."

Malam membawa kesejukan, menyembuhkan hati yang terluka menggunakan sapuan lembutnya.

Suara Aska terdengar mendekat, "Dasar babi!" Kutuknya.

Jion tidak terima di katai babi, berkacak pinggang siap adu mulut, "Apa lo bilang? Kita baru aja temenan, kalo gue babi berarti lo juga babi. Kita satu ras!"

"I don't care. Gini ya kalo kasta Raja berteman dengan kasta babi kandang kerajaan, membawa setres sampai ke tulang-tulang."

"Anjing."

Veen menegur keduanya, "Jangan ngomong kasar, seengaknya bukan di depan anak-anak."

Aska menjulurkan lidah, bahagia melihat Jion kena marah, "Dasar babi!" Lalu berlari sebelum Jion menyeret dirinya untuk berkelahi.

Juan duduk bersama Nanay dan Jian, menikmati berbincang ringan bertiga. Tidak menghiraukan Aska maupun Jion si anak setan berulah, biarkan Vira, Vina, dan Kian yang mengalami depresi mengatur dua anak setan itu.

Kembali ke halaman samping, Veen masih duduk menemani Sally. Sama-sama menatap makhluk kecil tertawa bahagia begitu lepas. Membuat lingkungan di sekitarnya ikut merasakan hawa ceria, penuh semangat dan keluguan murni.

"Sally, aku mau bicara sesuatu tentang keadaan Veer."

Sally menolehkan kepala, mengerutkan alis pada Veen, "Veer? Dia sakit, yah? Tadi mimisan banyak banget di kamar atas."

"Itu bukan mimisan biasa, tapi gejala dari penyakit yang dia idap."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top