#15. Pulang
Sally berada di ruang HCU selama dua hari saja. Setelah kondisinya semakin membaik dan tidak ada masalah apapun pada mata kirinya, dia di pindah ke ruang rawat pasien biasa. Sally berada di sana lima hari, karena hari ini dia sudah bisa pulang.
Juan bersama adik kembarnya menjemput Sally, Nanay absen karena harus bekerja dulu dan akan menyusul nanti.
Juan berhembus sesak, mencintai Sally sepertinya banyak sekali pesaing yang harus di lewati. Jion duduk di depan, mengomel tidak jelas untuk membuat Sally tertawa dan melupakan kesedihan.
Karena kehadiran kembali mentarinya, Sally menjadi lebih pendiam dan berbalik ke sifatnya dahulu. Sangat penurut tidak membantah.
Mobil melintas di jalan raya, Jian masih menatap lekat pada wajah Veer, "Bang, itu muka mirip bener sama abang yang kemarin. Gak ada bedanya anjir, kalau salah manggil gimana dong?"
Jion berlutut dari jok depan, menghadap kebelakang karena harus menghibur Sally. Tangan Juan gatal ingin menampar pantat dari adik bontotnya yang dombleh ini.
"Bener tuh bang, muka kalian nggak ada celah buat bedain." Timpalnya.
Sally membuka suara, "Bisa di bedain, Veen cenderung masang muka serius, wajahnya juga tegas. Veer lebih ke hangat, nanti kalian juga bisa bedain lewat sifat dan ekspresi mereka kalau ketemu dan bingung Veen mana Veer mana."
Veer tersenyum, menarik lebih erat kedua bahu Sally sampai tenggelam di dekapannya.
"Dahla, aku macam kacang panjang duduk di belakang." Keluh Jian, membuka kaca, menatap keluar menikmati angin jalanan.
Jion juga kembali duduk dengan benar, sekilas melirik kondisi Juan yang tidak terlalu bagus. Kakaknya menyukai Sally sejak lama, tapi tidak berani untuk mengungkapkan perasaan, biasalah, pesimis takut di tolak dan akan mempengaruhi pertemanan antara mereka.
***
Kian, Vira, di bantu dua ibu-ibu tetangga, Lestari dan Rani memasak banyak makanan untuk acara nanti malam.
Oh ya, Kian telah keluar dari pekerjaannya. Memilih hidup bersama Sally sampai nanti, menjadi ibu bagi gadis itu dan merawatnya sepenuh hati. Berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu membuat Sally bahagia.
Selama bekerja 19 tahun kepada Arjuna, dia tidak pernah membeli apapun kecuali handphone dan pulsa. Tabungannya sudah terkumpul banyak, mencapai Milyaran. Dia tidak punya keluarga di kampung untuk di sokong, dan dia juga orang sederhana yang tidak terlalu menyukai berbelanja.
Uang itu akan dia gunakan demi menghidupi Sally dan juga dirinya untuk beberapa tahun ke depan.
"Aku aja juga kaget waktu anak aku tukeran posisi tanpa sepengetahuan siapapun, dulu Veen berubah jadi anak lebih ceria dan suka banget ngomong waktu kelas 1 SD. Jadi aku ngiranya karena dapet temen baru dan kebawa pengaruh lingkungan, sifat dia perlahan berubah. Anak-anak umur segitu maklum kalau sifatnya berubah dan beda dari masih tadika," papar Vira, tangannya sibuk menguleni tepung.
Saat ini para wanita tengah membahas bagaimana bisa anak kembar Vira bertukar posisi, bahkan hampir 10 tahun dan tidak di sadari. Ternyata perubahan sifat putranya bukan karena pengaruh lingkungan, tapi karena Veen bertukar posisi dengan Veer.
David tidak terlalu memperhatikan sikap dari anaknya, dia hanya perlu memberikan materi mengenai bisnis kepada penerusnya. Memberikan banyak uang setiap bulan, saat semua sudah dia lakukan. Maka untuk selebihnya dia memberikan tanggung jawab kepada kepala pelayan.
Lestari tertawa kecil, "Kelakukan anak kamu lucu-lucu."
"Bener tuh," imbuh Rani.
Kian memecahkan telur ke dalam baskom, ikut masuk dalam pembicaraan, "Anaknya Bu Vira juga ganteng-ganteng semua, cocok di jadiin calon mantu."
Vira tersenyum maklum, masalah pernikahan dia belum berfikir sampai sejauh itu. Lagipula masa depan Veen masih panjang, dan Veer juga harus fokus pada kemoterapinya.
Suara klakson mobil membuat empat wanita terkejut. Apa itu mobil anak-anak ? Bukannya Sally baru pulang malam nanti?
Veen juga tidak kalah terkejut, dia menyiapkan kejutannya nanti malam, ia sudah meminta bantuan anak-anak panti dan bekerja sama membuat kejutan menyambut Sally.
Jion masuk, dia sempat bertemu Vira dan wanita itu menyuruh Jion untuk main ke rumah. Anggap saja rumah sendiri. Maka jangan salahkan dia karena tidak tahu malu.
"MAMA VIRA ANAK GANTENGMU DATENG!!!"
Veen dan Veer sontak menoleh bersamaan, menatap Jion horor. Mata mereka berkata seperti ini, "Aku tidak ingin memiliki Saudara seperti dirimu."
Jian ingin menggali lubang saat ini juga, membuang saudara kembarnya di sana kemudian menguburnya hidup-hidup. Juan juga berfikir sama seperti adik perempuannya.
Vira tertawa, membiarkan Jion mencium tangannya yang telah bersih di cuci, "Di dapur ada gorengan tuh, ambil aja. Mama kamu pernah cerita anak bungsunya suka gorengan, jadi Mama masakin, tapi baru tempe yang di goreng. Soalnya nggak tahu kalau kalian dateng siang ini sama Sally."
Kian sudah membopoh Sally, membawanya duduk di sofa ruang tamu, "Sally mau makan?" Tawarnya, gaya bicaranya lembut.
Madam Kian itu cantik, kulitnya kuning langsat dengan wajah oval kecil awet muda. Di wajahnya tidak ada lagi kekakuan dan ketegasan seperti biasanya.
Sally menggeleng, mencium punggung tangan Kian hormat, "Terima Kasih, Madam Kian."
"Sekarang, aku bukan lagi Madam kamu. Karena kita akan hidup bersama setelah ini, Ibu akan mastiin kamu selalu bahagia kedepannya."
Bibirnya tersenyum haru, memeluk wanita yang sudah membesarkan dirinya dari bayi sampai sebesar ini.
Veer menarik Veen menuju kamar atas. Menjauh dari keramaian di bawah, ada sesuatu penting untuk di bicarakan berdua saja.
"Ada apa?" Veen bertanya dahulu, mereka sudah sampai di kamar.
"Gue nitip Sally sama lo, tapi tempo hari temen Sally yang namanya Nanay datang ke rumah sakit. Awalnya kaget dia bisa temenan dengan gadis seperti itu, waktu gue tanya bagaimana kehidupan Sally di dua tahun terakhir ini. Dia bilang Sally suka berantem, balapan liar, bahkan dia mengkonsumsi obat penenang tanpa anjuran dokter. Lo kemana aja?"
Tudingan Veer membuat tenggorokan Veen tersumbat sesuatu, tidak bisa berkata jujur jika dia menjauhi Sally demi rasa cintanya agar tidak tumbuh lebih dalam. Berada di sekitar Sally membawa pengaruh besar untuk hatinya.
"Gue sibuk belajar, ngurus Aruna juga dulunya."
"Tapi Sally lebih penting."
"Itu karena lo cinta sama dia, jadi dia penting buat lo. Aruna cewek gue, udah pasti gue lebih merhatiin dia." Kedua tangan Veen meraup wajahnya gusar, satu hal melintas di kepalanya, "Tadi apa lo bilang? Obat penenang?" Ia memastikan.
Veer mengangguk lemah.
Punggung Veen tegang, "Obat penenang tanpa resep dokter biasanya di jual di pasaran, mereka mengandung benzodiazepin untuk memberikan perasaan rileks pada tubuh." Jadi obat yang dia lihat di rumah baru Sally kemarin adalah, itu?
Veer bingung, "Benzodiazepin?" Beonya.
"Bener. Lo tahu Sally punya keanehan di tangan kirinya?"
"Belum."
"Tangan kiri dia gemetar tanpa henti waktu gue dateng ke sana, belum lama ini gue ke dokter saraf untuk konsultasi kejanggalan dari tangan Sally. Penyakit Sally bisa masuk tremor ataupun Prolonged Grief disorder. Untuk gangguan gemetar lebih masuk di tremor, tapi pendorong gemetar ini pasti kesedihan mental. Dokter juga bilang jauhkan obat penenang dari Sally untuk saat ini, tremor bisa di picu kelelahan otot ekstrim dan efek samping obat. Mungkin karena obat penenang tanpa resep ini tangan kiri Sally mengalami gangguan dalam sarafnya."
Tunggu sebentar.
Otak Veer masih dalam fase mencerna. Dia benci belajar dan memahami hal-hal berbau IPA maupun Matematika. Wajahnya polos saat meminta pada sang kakak, "Bisa di ringkas jadi intinya apa? Otak nggak sampe."
Veen memiliki semangat kuat untuk membenturkan kepala adiknya, membuat otak kecil dalam kepala itu sedikit bekerja.
"Intinya, Sally mengidap tremor pasti karena efek samping dari benzodiazepin, bisa jadi dia terlalu banyak mengonsumsi obat ini di saat bersamaan. Tapi untuk mental, dia masuk ke Prolonged Grief disorder."
"Apa itu prolong?" Veer tidak bisa mengucap lengkap. Namanya susah di hafal, dia malas berfikir untuk mengingatnya.
"Gangguan kesedihan yang mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala berbeda. Kebanyakan di picu karena kematian orang tercinta. Dokter bilang ini masih kecil kemungkinan, karena gue jawab nggak ada yang meninggal dalam keluarga Sally. Tapi gue tahu, dia kehilangan sosok lo. Dia kehilangan arah dan sedih kehilangan kehangatan lo setelah kita kembali ke posisi masing-masing."
Veer duduk di tepi kasur, masih terlalu terkejut. Sebesar itukah dampak dari dirinya meninggalkan Sally?
Lanjutan kalimat Veen membuat dia mati kaku.
"Besok lo harus terapi sesuai jadwal, kalau kali ini hasil masih sama. Pihak medis udah nggak bisa bantu lebih tentang kesehatan lo, mereka cuma bisa bantu mengulur waktu memakai obat. Jadi gue mohon cepet kembali ke rumah sakit pusat."
"Enggak, Sally butuh gue saat ini."
"Veer."
"Sally lebih penting dari apapun, kematian adalah rahasia Tuhan. Tidak ada yang mustahil jika Dia sudah berkehendak, saat ini bukan obat yang gue butuhin. Tapi do'a dari lo, Mama, dan Papa. Gue nggak perduli apapun hasilnya, asal gue bisa selalu lihat senyum di wajah Sally. Itu sudah melebihi dari kata cukup untuk ngebuat gue tenang."
"Terserah lo, gue udah ingetin tentang ini bekali-kali. Sekarang gimana masalah pembully Sally? Dia mau buka mulut?"
"Sally nggak mau jawab siapa yang udah nyakitin dia, tubuhnya selalu gemetar waktu gue ungkit pertanyaan siapa yang udah bully dan ngelukain dia separah ini." Jawab Veen, kulitnya tambah pucat sebab banyak fikiran, ciri khas dari pasien yang pengidap Leukemia Mieloid Akut.
"Kalo gitu, kita harus lapor ini sama Papa. Biar bawahan dia yang maju untuk mengurus dan menemukan pembully Sally."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top