#14. Karena Sally-ku Cantik

"Syukuri apa yang kamu jalani saat ini untuk menenangkan kegelisahan dan kekecewaan hati." | Veer Darendra Mahardika.

Veen kembali ke dalam ruang rawat Sally, tangannya mendorong pintu terbuka. Memperlihatkan pemandangan di didalam, disana, Veer tengah memeluk Sally yang menangis tanpa henti. Berteriak dan mengeluh sangat pilu, hatinya merasakan sakit untuk cintanya.

Sibuk menangis, Sally tidak perduli siapa tamunya. Dia hanya ingin menangis, matanya sekarang tersisa satu. Siapa yang tidak akan terkejut dan menangis, mengetahui dirinya hanya bisa melihat dengan satu mata?

Veen mendekat, berdiri di sisi Veer. Gadis itu menyembunyikan wajah di dada bidang adiknya, suara tangisnya sedikit teredam. Ruangan terisi penuh oleh suara tangis.

Veer tidak masalah membiarkan bajunya basah, mengulurkan tangan mengusap punggung Sally pelan dan teratur. Membisikan kata-kata baik berharap Sally tenang.

"Sally," Veen memanggil.

Merasa di panggil, Sally mendongak dan menemukan dua mentari? Sejenak, ia lupa untuk menangis. Menyisakan sesenggukan, hidungnya memerah, mata bulatnya sembab.

"Berhenti menangis," ujar Veen.

Veer menyikut perut kakaknya, "Ngomong kayak gitu wajahnya di lembutin, keliatan serem ngomong lembut tapi wajahnya sadatar tembok."

Dua kembar menceritakan kisah sebenarnya kepada Sally, gadis tersebut tentu saja terkejut. Merasa sangat rumit. Jika sudah seperti ini, hatinya akan tertambat kepada siapa?

Tentang Veer, dia sama sekali tidak mengetahui ternyata Veen punya kembaran. Saat pindah di dekat rumahnya, Veen hanya berdua di temani Mama Vira.

Ia masih ingat rasa senang di hati melihat anak laki-laki tampan menjadi tetangganya, membawa makanan buatan Madam Kian untuk diberikan ke Mama Vira. Sekalian berkunjung.

Veen kala itu mudah untuk di dekati, raut mukanya selalu hangat dan murah senyum. Ia bahagia melihat Sally, pipi yang berisi lemak seperti bakpao memberikan keimutan tersendiri. Dia ingin adik perempuan, namun David sering keluar negeri sehingga jarang ada waktu bersama Vira.

Penyebab perceraian orang tuanya juga hal sepele, Vira sudah tidak kuat lagi di tinggal terus menerus. Dia bukan tipe wanita penggila harta, keinginan terbesarnya adalah bisa berada di dekat suaminya setiap saat.

Sally kecil suka bermain di kaki Veen, menganggu Veen dalam berjalan, membuat anak tampan ini harus membawa beban berat dengan anak beruang di kakinya.

Mereka berdua sangat dekat. Satu tahun bersama menghabiskan siang dan malam, menciptakan memori indah di dalam kenangan masing-masing.

"Jadi, kamu Veer?" Tanya Sally. Mendongak untuk menatap wajah tampan mirip Veen. Cengkraman tangannya sedikit mengendur, sahabatnya adalah Veen.

"Iya, aku Veer. Dan yang mengungkapkan perasaan cinta untuk kamu waktu itu adalah aku, tapi saat kamu memberikan jawaban, aku dan Veer sudah kembali ke posisi masing-masing."

Atensi Sally berpindah untuk Veen, wajah cowok itu sedikit melembut melihat Sally menatap dirinya.

Veer menangkup wajah gadis pujaan hatinya, membuat Sally kembali menghadapnya, dia bertanya ragu, "Kamu nggak marah sama aku, kan?"

"Enggak."

Veer sangat lega. Lain hal dengan Veen, memeras hatinya sekuat mungkin untuk tidak berdebar akan rasa cemburu melihat dua manusia di depan.

"Aku pulang dulu, mau istirahat. Kamu disini sama Veer, dia gantian jaga kamu." Kata Veen memberitahu, mengelak dari suasana mencekam dada. Alasan sebenarnya adalah dia tidak mampu menahan hati lebih lama lagi.

Sally ingin mengucapkan sesuatu, melihat Veen pergi, kata-kata miliknya kembali tertelan ke dalam kerongkongan. Sentuhan hangat di atas kepala mengembalikan kewarasannya.

Mata Veer hangat, seperti 2 tahun yang lalu. Ternyata ini alasan kuat di balik hilangnya mentarinya, kini mentarinya sudah ada tepat di sisinya. Selalu memeluk dirinya, menjaganya, dan memberikan kalimat penenang sebanyak-banyaknya.

"Veer, mata Sally sekarang cacat." Kepalanya tenggelam dalam dekapan hangat.

Veer menumpukan dagu di puncak kepala Sally, menasehati lembut, "Setiap manusia tidaklah sempurna, pasti memiliki kekurangan berbeda-beda. Bagi mereka yang berfikir kekurangannya adalah sebuah kemalangan, maka akan terjadi seperti itu. Dan bagi orang yang berfikir bahwa kekurangannya bisa menjadi dorongan untuk bangkit dan menjadikannya semangat hidup. Maka Veer yakin, tidak akan keluhan sama sekali."

"Jadi, Sally harus membuat kekurangan ini menjadi kekuatan untuk Sally?"

"Sally-ku memang pintar, poin penting di sini masih sama seperti yang aku katakan untuk menyemangatimu dulu. Mengikhlaskan segalanya dan menerima secara lapang dada."

Jemari Sally memeluk Veer semakin erat, "Susah Veer, Sally nggak akan cantik lagi. Apa Veer masih mau bersama Sally?"

Oke, perkataan Sally membuatnya kesal. Apa gadis itu berfikir dia mencintainya hanya karena kecantikannya?

Telapak tangannya membingkai wajah merah seperti tomat, matanya menatap ke iris gelap Sally, berucap serius, "Aku tahu mengikhlaskan sangat susah, karena itu Allah menjadikan ikhlas adalah ibadah tersulit. Dan untuk kekurangan kamu, ini bukan masalah untuk aku. Sally-ku selalu cantik dan selamanya akan tetap begitu, Veer siap hadir dan terus di sisi kamu. Melengkapi Sally-ku untuk terus melangkah ke depan tanpa rasa takut, Veer dan Veen akan melindungi Sally."

Sebutir cairan bening kembali lolos, hatinya tersentuh oleh perkataan lembut seorang Veer. Tidak berubah, sangat berfikiran dewasa dan tenang. "Kalau gitu, Veer jangan pergi lagi."

"Pasti," dua ibu jarinya mengusap air mata milik Sally. Menghapusnya di sertai do'a di dalam hati, Sally-ku harus tetap sehat dan berjalan ke depan dalam hidup. Jika dia tidak bisa menemani Sally selama hidupnya, maka ia akan menitipkan Sally pada kakaknya. "Masih aja cengeng udah segede ini?" Ejeknya di sertai kekehan.

Sally cemberut, "Sally udah besar, tapi Sally tetap butuh tangan lembut kamu untuk menghapus air mataku."

Keduanya tersenyum.

***

"Assalamu'alaikum, Veen pulang."

"Wa'alaikumussalam." Jawab Vira bersama Kian dari dapur.

Veen masuk ke dalam dapur, mengambil aqua dari dalam kulkas. Menegak secukupnya untuk membasahi tenggorokan. Dua wanita tengah memasak banyak makanan.

Veen duduk di lantai, "Ma, emangnya kapan mulai syukurannya?"

Kian menjawab menggantikan Vira, "Kita sekarang mau bagi makanan dulu ke tetangga, hitung-hitung berbagi. Untuk syukuran bersama anak-anak, kita tunggu Sally keluar dari rumah sakit."

"Iya bener, kamu pasti capek, kan, sayang? Mandi dulu gih terus makan, nanti balik lagi ke rumah sakit bawain makanan untuk Sally sama adik kamu." Vira menyambung, berlalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.

"Oke, Ma."

Veen naik ke atas, tidak berminat berbicara lebih lanjut bersama siapapun. Aruna sudah dia abaikan cukup lama. Pikirannya di dominasi oleh Sally.

Menerima penolakan cinta lebih baik daripada merelakannya demi orang lain, melihatnya menjadi milik lelaki lain begitu berat bagi Veen. Di tambah lelaki itu adalah adiknya sendiri.

Sebelum mandi, Veen duduk di kursi, memikirkan kejutan untuk membuat Sally bahagia ketika pulang dari rumah sakit. Dia juga harus menanyakan ke dokter mengenai tangan kiri Sally, pasti ada sejenis syndrome.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top