#11. Accident

"I hate my Self. Forever!" | Sally Abaigeal Amaranggana.

Empat orang keluar dari mobil hitam yang baru saja datang. Jion bertanya paling awal melihat mobil asing di pekarangan Sally, "Widih, kira-kira siapa nih tamu di dalem?" Tanyanya kemudian menggigit tempe mendoan dari angkringan tepi jalan.

Mendoan adalah cinta pertama Jion, tangan kirinya menenteng satu plastik besar, dan semua isinya tempe mendoan. Bagi Jion, steak daging sapi termahal semua kalah dengan tempe mendoan.

Nanay ikut mengamati mobil lain, "Sally nggak ada informasi beli mobil baru."

"Mending masuk daripada bingung nebak-nebak," usul Jian.

Juan sudah berjalan lebih dulu, mengernyit melihat pintu rumah tidak terkunci. Sally tidak ceroboh seperti ini, perasaannya menjadi khawatir memikirkan hal-hal yang bisa saja terjadi.

Berlari menuju kamar Sally, dia justru melihat pemuda tengah mengepang rambut Sally. Gadis itu juga mendongak, matanya sembab. Bibir ranumnya mengukir senyum, "Bang Juan kesini sama Nanay, ya?"

Juan sudah berada di depan Sally, menjawab, "Iya, sama si bontot kembar juga." Matanya melirik Veen, "Anak itu?"

"Veen." Memperkenalkan diri sendiri sebelum Sally menyebutkan namanya. Ia bangkit, selesai mengepang rambut dengan hasil tidak terlalu buruk. "Perabot dari Mama udah aku taruh di dapur kamu, kalau gitu aku pulang dulu."

"Em." Kakinya turun dari kasur, di bantu Juan untuk berdiri. Tubuhnya masih terlalu lemah akibat serangan rasa takut tadi. "Makasih."

"Sama-sama." Veen tersenyum pada Juan yang lebih tua beberapa tahun dari dirinya, "Nitip dia bang."

"Lo tenang, Sally aman sama gue."

"Thanks."

Terkadang, Sally tidak mampu memahami emosi dan perasaan Veen untuk dirinya. Pemuda itu tiba-tiba begitu baik, menjadi sok akrab, bahkan merubah bahasa panggilan menjadi lebih intim.

Juan menepuk kening Sally, "Nangis?"

Jawaban gadis tersebut kembali ke tenggorokan karena teriakan keras.

"KAK SALLY!" Jion berteriak, bersiap ingin memeluk kakak cantik seerat-eratnya. Seketika Jion urung. Tatapan mata Juan sangat membunuh.

Jadi, Jion hanya mampu melemparkan plastik berisi gorengan ke pelukan Sally. Duduk di lantai cemberut.

Nanay duduk di samping Sally, "Kenapa lagi lo?"

Percuma untuk menutupi karena mereka sudah tahu masalah penyakit Sally, gadis itu juga tidak mau berbohong apa-apa lagi. "Tangan gue kambuh, Veen dateng dan jaga gue sebentar sampai pulih dari rasa takut."

Hubungannya dengan Veen hanya diketahui oleh Nanay, menepuk bahu kawannya, Nanay bertanya khawatir, "Dia ada ngelakuin sesuatu buruk?"

Wajah Sally mendongak menoleh pada perempuan yang sudah dia anggap kakak sendiri, "Enggak. Tapi anaknya Aneh. Dia jadi baik dan lembut. Kayak dulu waktu kita masih akur jadi sahabat baik."

Mendengar pembahasan dua gadis, Juan tidak memahami apapun, hatinya hanya terasa gatal melihat Sally di kepang begitu intim oleh lelaki lain. "Terpenting saat ini kamu baik-baik aja." Katanya.

Jian menyodorkan ponsel kepada Sally, "Ini Kak ponselnya bunyi, mending di kasih suara jangan getaran doang, jadi tahu kalau ada telefon sama pesan masuk."

Sally menerimanya, "Iya, Jian. Makasih ya." Jemarinya membuka lockscreen, banyak sekali pesan, chat, line, dan e-mail masuk. Dia membuka e-mail lebih dulu.

Wajahnya berubah pucat.

Juan bereaksi lebih dulu, khawatir jika terjadi masalah besar, "Sally, ada apa?"

Memindahkan ponselnya ke genggaman Juan. Sally berkata, "Banyak manager yang putus kontrak secara paksa sama gue. Entertainment juga memutuskan hubungan. Ini pasti ulah dari Papa."

"Papa Kak Sally jahat banget." Celetuk Jion. Sudah berguling-guling di lantai, mulutnya mengapit tempe mendoan sedangkan tangannya bermain game online di ponsel.

Jian mengangguk, "Bagaimanapun juga Kak Sally masih putrinya."

"Jangan di bahas," lerai Nanay. Dia sangat tahu rasanya menjadi Sally. Hanya saja, orang tuanya tidak sekejam Tuan Besar Amaranggana.

Keluarga Radipta tetap menyokong kehidupan Nanay sebagai putri bungsu dalam keluarga, kakak laki-lakinya juga masih mengunjungi dirinya untuk memastikan keadaan.

Ibu jari Juan masih sibuk menggilir layar ke atas, membaca semua pesan dari Manager yang mengontrak Sally sebagai model. Perjanjian di putus sepihak, harusnya mereka membayar kompensasi karena telah melakukan pemutusan tanpa alasan kuat!

Mereka memutuskan hubungan kerja dengan Sally pasti di sebabkan Sally tidak lagi menjadi putri dari Amaranggana. Juan meremas ponsel di genggamannya, berkata sungguh-sungguh pada gadis di sampingnya, "Lo tenang aja, keluarga gue selalu siap untuk membantu."

"Gue juga Sally," sahut Nanay.

Jian maupun Jion ikut-ikutan.

***

Kehidupan setelah lepas dari keluarga sangat tidak bagus. Saat ini Sally sedang berada di dalam toilet perempuan, selama di toilet ia tidak pernah menengok sekalipun kepada cermin. Terlalu takut mengundang petaka untuk diri sendiri.

Aruna datang dari salah satu bilik, sedikit berlari dan menabrak bahu Sally sengaja, membuat tubuh ramping indah sedikit miring. Hampir jatuh ke depan.

Memasang wajah polosnya, Aruna kembali dan menolong Sally, "Maaf, Sally. Aruna nggak sengaja."

"Hm." Sally menggumam. Sangat malas berhubungan ataupun berbicara dengan Aruna.

Satu minggu ini Veen menaruh perhatian kepada Sally, tentu saja memicu api cemburu berkobar dalam hati Aruna. Ketika kakinya sampai di luar pintu, bibirnya menyunggingkan senyum miring. Memberi tanda pada gadis bersurai coklat muda.

Beberapa anak dari keluarga besar masuk, bergerombol menghadang jalan Sally. Pemimpin mereka adalah Vella Bagaskoro.

"Halo anak sampah, ups, lebih cocok anak sampah atau anak buangan?" Ejeknya. Para gadis di belakang semua ikut tertawa.

Ekspresi Sally acuh, menggeser tubuh ingin lewat. Salah satu teman Vella datang, menghadang jalan.

"Minggir," desisnya tajam.

Tangannya sudah gatal ingin memukul seseorang.

"Urusan gue sama lo belum tuntas." Vella menarik kerah seragam Sally, membuat mata bulat mirip mata kucing mendelik tajam. Jangan salahkan Sally jika berbuat kasar.

Tangan Vella terpelintir oleh gerakan cepat, "Jangan sentuh gue memakai tangan busuk lo ini." Tekan Sally. Dia semakin memelintir tangan Vella.

"Aaaa, sakit! Kalian semua! Bodoh! Cepat pegangi Sally!" Teriakan marah Vella menggerakan gadis di gerombolannya.

Sally tentu saja kewalahan, tempat ini terlalu sempit untuk berkelahi, dan gadis-gadis sudah lebih dulu mendekati dirinya. Memegang keduanya tangannya.

Satu tangan Sally di tahan oleh 3 orang, kekuatannya terlalu besar untuk di tahan satu tenaga perempuan biasa.

Plak!

Tamparan mendarat di pipi Sally, matanya menatap Vella dingin, tidak meringis mendapatkan tamparan keras di kulit halusnya.

"Dulu, lo selalu pamer wajah sok ini. Bersikap sombong dan nolak kita-kita semua untuk bergaul. Lo juga nyuri semua tatapan mata cowok biar terpusat sama lo, sekarang, lo cuma sampah Sal!" Telunjuknya menekan-nekan dahi Sally, memberikan ejekan telak. Vella tertawa bahagia, "Sekarang lo cuman buangan, nggak ada yang bisa bantuin lo. Enak ya hidup jadi gelandangan? Ulululu, kasian banget. Guy's, liatin Sally ke depan cermin!"

Mata Sally membola. Dari mana Vella tahu dia memiliki ketakutan pada cermin?

"Vella! Lo brengsek! Beraninya cuman lawan keroyokan!" Sally mencoba meronta, para gadis semakin memegangi dirinya kuat-kuat.

Vella semakin tertawa sombong, "Sally, Sally, satu lawan satu atau satu lawan keroyokan sama aja. Yang terpenting siapa pemenang di sini. Dan pemenangnya adalah gue, see."

Terlambat untuk berteriak marah, Sally sudah di hadapkan pada cermin. Matanya terpejam erat, dia sekilas melihat bayangan dirinya.

Hal yang selalu dia lakukan juga ketika menjadi model, yaitu memejamkan mata tidak melihat cermin di ruang ganti dan make up.

Vella memberikan aba-aba, satu gadis maju. Membawa korek api, dia menyalakannya, mengulurkan tangan tepat di depan wajah Sally. "Buka mata lo atau api ini akan bakar baju dan wajah lo," perintah gadis tersebut.

Terpaksa, Sally membuka mata. Hawa panas menyentuh sisi wajah, dagunya di cengkraman untuk menatap ke depan.

Di sana, dia melihat bayangan dirinya terpantul. Reaksi pertama adalah matanya berkunang-kunang, tubuhnya bergetar, tangan kirinya juga bergetar keras di dalam genggaman para gadis.

Tidak Sally, tahan dirimu. Tahan rasa takutmu. Kali ini saja, aku mohon.

Tidak mampu.

Sally tidak mampu menahan rasa takut dari dalam dirinya.

"Amel, mana gunting?" Tanya Vela, meminta gunting pada temannya.

"Nih."

"Akh!"

Para gadis terhempas ke belakang terhempas sentakan kuat Sally, tubuh cewek itu tidak bisa berdiri tegak.

"Cepet tangkep lagi!" Kesal Vella.

Baru bisa menyentuh lengan seragam Sally, satu gadis terpukul oleh kepalan kerasnya. Dia tidak bisa lagi mengendalikan diri.

Vella menendang betis Sally, tubuh rapuh jatuh ke lantai. Amel menekan bahu Sally, membuat lawannya tidak bisa berdiri. Saat ini emosi Sally tidak stabil, dia seperti orang linglung di tengah kobaran api.

Yang dia butuhkan saat ini ketenangan. Dia butuh tenang. Obat! Sally tidak membawa obat!

Rambut Sally di jambak menyebabkan pekikan kesakitan menggelar di kamar mandi kedap suara itu. Vella menyentuh dagu Sally menggunakan ujung gunting yang tajam, "Sorry ya, gue ijin gunting-gunting."

"Jangan, jangan, jangan." Sally terus bergumam jangan. Matanya memerah tapi tidak mengeluarkan satupun air mata.

"Pegangi lebih erat lagi," titahnya, Vella tidak ingin sampai Sally lepas lagi. Dia menggunting surai hitam Sally sangat brutal, hasilnya potongan begitu buruk.

"Vella, jangan!" Teriakan frustasi Sally membuat para gadis semakin senang. Dia memberontak lagi di sisa-sisa akal sehat yang masih tersisa.

Vella mengulurkan gunting tergesa-gesa ingin memotong rambut bagian depan pula, sayang Sally meronta tepat saat tangannya terulur.

Slerp!

"AAAAAAA!!!!"

Ting!

Gunting jatuh ke lantai. Vella gemetar, takut melihat darah mengalir dari mata kiri Sally. Gadis-gadis juga takut, segera melepaskan Sally. Berlari ke belakang Vella.

"Cabut! Cepet cabut!" Takut seseorang akan datang memergoki mereka. Vella berlari bersama temannya, tidak lupa memungut kembali gunting yang ujungnya bermandikan darah dari mata kiri Sally. Ia mencucinya di air sebentar baru pergi. Bukti jangan sampai tertinggal di tempat.

Ia tidak lupa mengunci pintu dari luar. Kamar mandi kedap suara, segala bunyi dari dalam tidak akan pernah terdengar dari luar.

"Mati lo di sana," kutuknya. Berlari pergi dari depan pintu kamar mandi. Lorong lumayan sepi mengingat hari ini adalah hari pembagian rapot. Anak-anak lain sibuk di dalam atau luar kelas mereka, menanti nilai.

Di dalam kamar mandi, Sally menangis. Kedua tangannya menutupi mata kirinya, "S-sakit, s-sakit.... hiks sakit!"

Apa kesalahannya? Apa dosanya sampai menanggung semua ini?

Darah merah tetap mengalir melalui celah jari-jarinya. Setengah wajahnya bermandikan darah, dan satunya bermandikan oleh air mata.

"S-sakit, sangat sakit...." rintihnya di sertai tangisan pilu. Sally semakin membenci dirinya sendiri yang lahir dari keluarga Amaranggana. Dia benci tubuh ini, dia benci darah yang mengalir di dalam tubuh ini. Dia membenci dirinya sendiri karena menerima semua kemalangan secara beruntun!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top