#10. Obat
Hari sabtu Sally gunakan untuk membereskan barang-barang. Dia membeli rumah berukuran sedang. Tidak besar maupun kecil, cukup untuk dia tinggali sendirian.
Kekosongan menempati ruangan rumah baru Sally. Dia sibuk mengepak baju, memasukkannya ke dalam lemari bercat putih. Ia juga mengambil botol berisi obat, ini adalah obat yang sama dengan obat beberapa tahun lalu. Obat penenang illegal bila mengkonsumsinya tanpa anjuran dari dokter.
Dia menaruhnya di meja rias tanpa cermin, sampai saat ini Sally masih tidak suka cermin. Ketika dia melihat bayangan dirinya di dalam cermin, perasaan sesak dan hati tertekan tidak bisa terelakkan.
Dia merasa buruk. Seperti menjadi orang tidak berguna. Membenci dirinya yang telah lahir di dunia.
Sally berhenti membereskan bajunya, menarik kursi kayu dan duduk di depan jendela. Angin siang masuk melalui celah-celah, manyapu tubuhnya dengan sapuan ringan remang-remang di atas kulit.
Di luar turun hujan tidak terlalu deras, akhir-akhir ini cuaca mendung serta sering hujan di pagi sampai siang hari. Suara berisik hujan menarik kesadaran Sally untuk keluar dari otaknya. Tergagu pada lamunan dan kekosongan, menatap ke depan mengawasi pemandangan turunnya hujan.
Pernahkah kalian merasa seperti hidup dalam kehampaan? Kalian selalu merasa sepi meski bersama dengan teman-temanmu, merasa sendiri meski berkumpul dengan keluargamu. Rasanya seperti, kamu ada tapi tidak di anggap. Kekurangan ini membuatmu terkadang lelah dalam hidup, merubah sikap menjadi lebih pendiam.
Bahagia dalam kesendirian daripada bersama banyak orang tapi tetap merasa kehampaan.
Emosinya meluap, tidak terkontrol mengingat kemalangan dalam hidupnya. Tersampir dalam jalan pikir, dia bahkan tidak pernah bermimpi untuk benar-benar pergi meninggalkan orang tuanya.
Tangan kirinya kembali bergetar tanpa mampu dia kendalikan, Sally mengambil botol kecil berisi pil putih. Menelan dua butir sekaligus.
Tangannya masih bergetar, kemerahan muncul di sudut mata kucingnya. Nafasnya terasa berat, tidak teratur dalam menarik dan menghembuskan udara. Dadanya terasa sesak.
Sally memejamkan mata, meminta dirinya sendiri untuk tenang dan santai. Dia tidak boleh terlalu kalut akan rasa takut dan sedih, keanehan di tangan kirinya selalu muncul di picu oleh dua hal tersebut.
Bel rumah berbunyi, Sally berjalan gontai menuju ruang depan. Mungkin itu Nanay, datang ke sini karena telah berjanji untuk menolong Sally membersihkan gudang dan halaman belakang.
Saat pintu terbuka, bukan sosok Nanay yang berada di depannya. Melainkan Veen, pemuda itu membawa payung ke dalam teras rumah. Mobilnya terparkir di pekarangan.
"Sal-"
"-Sally!"
Veen menangkap Sally sebelum jatuh tersungkur di lantai, payung di tangannya sudah dia buang ke belakang. Ia berjongkok dengan Sally di pangkuannya, "Sal," panggilnya cemas. Kedua lengannya memeluk bahu Sally erat.
"Sal, bangun," Veen menyentuh sisi wajah Sally, sangat dingin.
Dia mengangkat tubuh kurus di pelukannya, menggendong dan memeluk kencang tanpa ingin melepaskan. Matanya menatap khawatir Sally.
Kakinya mengambil langkah panjang tergesa-gesa, berjalan begitu saja memasuki ruangan dengan pintu terbuka lebar. Sepertinya ini kamar Sally di rumah barunya. Veen meletakan Sally pelan-pelan.
Vira memberikan alamat rumah Sally pada Veen setelah sarapan, menyuruhnya untuk mengunjungi dan membawakan beberapa perabot dapur milik Vira. Sally pasti sangat membutuhkan perbot dapur di rumah baru.
Veen masih ingat raut muka Sally tadi, matanya memerah seperti ingin menangis, tubuh gadis ini juga tidak stabil saat berdiri. Cukup gontai siap runtuh kapan saja.
Ia meremas jemari ramping di dalam telapak tangannya, berucap doa dengan nada pelan berharap Sally akan baik-baik saja. Sally mungkin hanya lelah. Veen tahu Sally bukan gadis lemah.
Tidak melihat tanda bahwa Sally akan bangun, Veen menggeser duduk, memindahkan kedua kakinya dan duduk bersila di tepi ranjang. Kedua telapak tangannya masih setia membungkus jemari Sally.
"Sally, bangun," pinta Veen, suaranya lirih.
Hujan semakin deras, merambatkan bunyi kasar melalui dinding, masuk ke dalam ruangan membuat suasana di dalam semakin tegang. Apa Veen perlu membawa Sally ke rumah sakit?
Tapi dia takut gadis itu akan marah karena dia tidak meminta ijin dan bertingkah sembarangan, saat ini dia harus menjaga Sally yang berarti dia harus mulai dekat dengannya. Veen perlu membuat Sally nyaman untuk kembali menerima dia di sisinya.
Tangan kanannya mengusap kening Sally, dia akan mengecek apakah ada sesuatu di dapur. Dia harus membuatkan bubur supaya bisa di konsumsi Sally setelah bangun nanti.
Veen mengecek ruangan berpintu satu-satu sampai menemukan letak dapur, dia mencari di meja bawah apakah beras.
"Untung ada," ucapnya lega. Tidak mau mengulur waktu, bubur di buat tanpa santan. Veen sudah mencari santan bubuk di setiap tempat namun tidak ada. Jadi hanya menggunakan bahan seadanya.
Ponselnya berbunyi, saat dia melihat nama yang tertera, bibirnya menghela, "Iya, apa?"
"Bisa cekin keadaan Sally? Perasaan gue nggak enak."
"Gue udah di rumah dia, pas dateng tadi Sally sempet pingsan dan sekarang belum bangun. Baru masakin dia bubur biar tubuhnya hangat. Disini turun hujan lumayan deras."
Pemuda di seberang berbicara banyak dalam satu tarikan nafas, "Pastiin dia nggak kedinginan, Sally punya alergi sama hawa dingin. Dan jangan sediain bubur yang masih panas, Sally lebih suka bubur dingin. Kepang rambutnya setelah dia bangun, perasaan Sally bisa sedikit tenang kalo di kepang waktu sakit."
Kepang?
Veen akui ini seperti tidak normal? Dia tetap menjawab setuju menuruti semua wejangan dari lawan bicara, menjepit ponsel di antara pundak dan telinga. Kedua tangannya sibuk mengaduk bubur dan memegang telinga panci menggunakan kain.
Bubur sudah mendidih, Veen menuangkan di mangkok, mengipasi dengan tutup panci. Pemuda di seberang masih berbicara dengan dirinya, merencakan untuk bertemu, sudah lama mereka tidak bertemu dan menghabiskan waktu bersama seperti kawan lama.
Berjalan kembali menuju kamar, ternyata Sally sudah bangun dan duduk di tepi ranjang. Tatapan matanya kosong menatap keluar jendela, Veen menaruh mangkok berisi bubur di atas meja rias Sally.
Botol kecil mengundang perhatian. Ia mengamati botol tersebut, menyentuh dan menelitinya. Di botol tertera tulisan vitamin C, tapi warna obat vitamin C berwarna kuning terang bukan putih.
Veen juga sering menggunakan vitamin jadi dia tahu. Kembali menatap Sally yang seperti benar-benar tidak menyadari kehadirannya, tatapan Veen menurun. Melihat tangan kiri gadis itu di pangkuan, bergetar?
"Sally."
Derasnya hujan membuat telinga Sally tidak bisa mendengar suara Veen, matanya masih tetap menatap keluar. Tangan kirinya tidak mau berhenti bergetar ketika dia bangun, saat ini pikirannya sedang tidak berada dalam kondisi baik.
Sentuhan hangat membuat Sally terbangun dari lamunan, menemukan Veen berjongkok meraih tangan kirinya, "Tangan lo kenapa, Sal?" Tanya dia.
"Bukan urusan lo, pergi dari sini. Gue nggak ngijinin lo masuk."
"Sally, tangan kamu kenapa?" Nada Veen melembut. Iris hitam pekat sedalam lautan hitam mengandung cahaya kehangatan diam-diam.
"Bukan apa-apa." Lidahnya kelu untuk mengusir Veen, kelembutan cowok itu membawa jiwa Sally kembali di masa saat mereka berdua masih berteman baik. Matanya menatap tepat ke wajah Veen, mencoba mencari kembali kehangatan dari orang yang sempat menjadi mentarinya.
Itu ada.
Namun berbeda, Sally tidak tahu bagaimana harus menjelaskan sensasi ini. Rasanya cowok di depannya bukan sosok mentari dari masa lalunya, sosok di depan seperti mentari baru.
"Obat apa yang kamu taruh di botol vitamin?" Veen kembali menarik tangan kiri Sally lembut, merasa cukup senang tidak mendapatkan gerakan menghindar.
Tangan ini bergetar tanpa henti, rasanya sangat dingin. Ia menggunakan telapak tangan hangat lebarnya untuk membungkus tangan kecil Sally, menggenggamnya erat menyalurkan kehangatan dari suhu tubuhnya. "Sally."
"Obat penenang."
Veen membulatkan mata, garis-garis tegang muncul di kening dan sudut mata. Menatap Sally tajam, dia berkata marah, "Sal, obat penenang itu berbahaya bagi tubuh. Termasuk barang illegal tanpa anjuran dokter, melihat cara kamu menyimpan obat tadi. Pasti kamu beli tanpa resep kan?"
Lutut kurusnya menekuk ke atas, Sally mengangguk lemah. Hatinya luluh oleh kelembutan Veen dan kehangatannya untuk saat ini. Maka biarkan Sally menikmati kembali rasa hangat yang pernah hilang, menyerap sebanyak-banyaknya lalu menyimpan ke dalam jiwa. Menandai rasa hangat yang selalu dia rindu ini.
"Kamu tahu agama kita melarang mengkonsumsi obat seperti ini. Atas dasar apa kamu menggunakan obat itu?" Ketajaman dan intonasi bicara Veen tidak dapat terkendali. Dia marah, kecewa, dan kesal pada jalan pikir Sally.
semakin gaje engga? :) aku pesimis bgt. ngerasa penulisan aku semakin menurun 😭 nga tau kenapa sekarang susah gitu kalau mau nulis harus mikir keras, nggk kya dulu semua bisa ngalir lancar. ngetiknya kerasa enak jdi ga kerasa ternyata udh dpt banyak.
sekarang bru 500 kata sudah skak, buntu 🤧
semoga betah sama cerita ini:(💓💓💓💓
terima kasih banyak yang udah setia sama Wanna Be Me 💓
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top