#1. Apa Itu Sempurna?

"Sebab sempurna tidak harus selalu berhasil dalam semua hal." | Veen Darendra Mahardika.

Di dalam Mansion megah bernuansa putih berisi suasana mencekam. Di ruang tamu, Sella, ibu dari Sally tengah memarahi putrinya karena menjadi juara tiga di kelas.

"Mama, Sally akan belajar lebih keras lagi besok," kepala kecilnya merunduk. Tidak berani menatap langsung pada wajah marah Sella.

"Itu yang selalu kamu ucapkan sama Mama! Lihat Aruna, dia tidak pernah ikut les apapun tapi bisa menjadi juara satu! Semua nilainya sempurna dan bagus. Tapi kamu, Mama udah buang banyak uang untuk les kamu. Dan hanya ini yang Mama dapat?! Juara 3?!" Matanya memerah karena marah. Arjuna, ayah dari Sally hanya duduk di sofa. Melihat istrinya memarahi putri semata wayang. Sekalipun tidak ada niatan untuk melerai.

"Kalau kamu nggak dapet juara 1 tahun depan, jangan harap kamu bisa keluar dari kamar selama sebulan. Madam Kian!"

"Ya, Nyonya."

"Pukul dia menggunakan rotan dua puluh kali, jangan beri dia makan sampai besok pagi. Biar Sally tau apa kesalahan dia karena tidak mendapat nilai yang paling sempurna, sebagai putri Amaranggana. Kamu hanya bisa mempermalukan Mama dan Papa!"

"Mama...." mata bulatnya berair. Siap menangis di bawah kaki kedua orang tuanya jika saja Madam Kian tidak membawa tubuh kecilnya ke gudang dekat halaman belakang.

Dibawa secara paksa, Sally hanya bisa diam. Pasrah dan membenci dirinya sendiri karena lahir di keluarga penuh aturan ini. Sesampainya di gudang, punggungnya di sentak ke bawah hingga tubuhnya berjongkok.

Slash!

"Nona Muda, harap menghitung. Jika tidak, maka saya tidak akan berhenti sebelum anda mau menghitung," kata Madam Kian. Wajahnya tanpa ekspresi. Memecut punggung kecil di bawahnya menggunakan rotan.

Tangan Sally terkepal, tidak perduli jika bajunya lusuh atau robek dan berdarah. Madam Kian tetap akan memecut sesuai perintah Sella. Bibir kecilnya bergetar keras bersamaan mengucapkan hitungan pada setiap pecutan.

Akhirnya 20 pecutan sudah lunas. Sally ambruk di lantai, seragam putihnya kusut pada bagian depan, dan bagian belakang mengalami robek. Warna putih bersih terkontaminasi warna coklat lusuh dan merah darah.

Matanya terpejam mendengar suara pintu tertutup. Menyisakan dirinya sendirian di tempat gelap tanpa cahaya. Mengeluarkan air mata tanpa suara. Kerongkongan miliknya terasa kering karena berteriak terlalu keras.

Tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Pagi tadi dia tidak sempat sarapan, di sekolah juga dia tidak sempat membeli makanan ringan di kantin. Tubuhnya melengkung seperti lintah yang terkena taburan garam.

"Veen...." Tidak ada sahutan. Hanya kesunyian disana sebagai teman. Melengkapi rasa sakit dan penderitaan.

Kenapa orang tuanya tidak pernah memuji dirinya? Teman-temannya yang mendapat rangking lima di kelas sudah membuat orang tua mereka bahagia, hingga mendapatkan hadiah.

Sally mendapatkan juara tiga. Namun kenapa Sella justru menyuruh Madam Kian untuk memecut punggungnya menggunakan rotan. Dimana kesalahannya?

Meski hal seperti ini sudah banyak dia dapatkan, tetap saja, mentalnya sama dengan gadis kecil berumur 13 tahun. Masih memerlukan kasih sayang dan dukungan penuh dari orang tua. Bukan hanya harta.

Pintu gudang berderit, membuat Sally menoleh ke arah pintu. Mata redupnya kembali bercahaya melihat sosok yang muncul dari balik pintu.

"Hai, ssstt diam. Jangan berisik."

Sally mengangguk menurut.

Veen mengunci lagi pintu gudang dari dalam, menenteng bekal makanan yang di masak Vira, ibunya.

"Seragam kamu!" Veen panik. Darah mengotori hampir keseluruhan seragam bagian belakang Sally. Beberapa menetes di lantai.

"Nggak papa, Sally kuat kok." Senyuman manisnya mengembang seolah tidak pernah terjadi aksi kekerasan pada dirinya. "Veen bawa apa? Sally laper, hehe."

"Mama masakin nasi goreng kesukaan kamu, tadi aku mau lewat pintu depan tapi takut masuk karena Tante Sella lagi marah-marah sama kamu. Jadi aku lewat pintu belakang yang sepi, minta kunci gudang cadangan ke tukang sapu kebun. Madam Kian nyambuknya keras nggak? Sakit banget, ya?"

"Enggak kok, Sally baik-baik aja. Besok juga sembuh, Sally di hukum karena nggak bisa bahagiain Mama, Papa. Sally buat mereka kecewa dan menyia-nyiakan uang mereka." Kedua tangannya merapikan seragam bagian depan, "Maaf ya, Sally kotor. Mana nasi gorengnya? Mau Sally makan. Nanti sampein makasih ya, buat Mama Vira."

"Ini, mau aku bawain obat dari rumah?" Veen menyodorkan kotak bekal berisi nasi goreng dengan sendoknya sekalian. "Biar lukanya nggak parah, anak gadis nggak baik punya luka parut."

Tidak menanggapi ucapan Veen serius, dia lebih memilih fokus pada nasi goreng. Memakannya dengan lahap. Setelah makan mereka berbicara sebentar.

"Nilai kamu gimana, Veen?"

Veen menggaruk kepalanya, "Alhamdulillah, rata-rata, hehe. Jadi bisa naik kelas. Kalau Sally?"

"Sally dapat juara 3."

"Wah! Bagus!"

Sejak kecil, Sally adalah sosok gadis pintar bagi Veen. Kelas mereka juga berbeda karena kepandaian di antara keduanya memiliki kesenjangan cukup jauh. Sally di kelas 7-A sedangkan dia di kelas 7-F.

"Cuma Veen yang bilang nilai Sally bagus, Mama bilang nilai aku belum sempurna. Jadi di hukum biar nantinya Sally lebih tekun belajar dan dapat juara satu ngalahin Aruna."

"Sal, kamu tau apa arti sempurna?"

"Tau dong," kuncir kuda miliknya bergoyang, "Sempurna harus bisa mendapatkan hasil tertinggi dalam semua aspek. Iya, kan?"

"Salah."

"Kok salah?" Wajah cantiknya tertekuk. "Kalau salah, jadi yang bener apa dong?"

Veen menutup bekal makanan kosong, nasi goreng sudah habis di lahap Sally dalam waktu singkat. Dia menepuk pundak sahabatnya, "Sempurna bisa di dapat bukan hanya dengan meraih hasil tertinggi dalam semua aspek dan berhasil dalam segala hal. Sempurna bisa di dapat dari diri kita sendiri, hargai dan syukuri semua yang telah di beri kepada kita. Disaat itu, kamu akan merasakan sebuah kesempurnaan di dalam diri kamu."

Sally masih diam. Mencerna semua kalimat yang di lontarkan Veen. Arti sempurna ini berbeda dari ajaran Madam Kian. Hal pertama yang wajib tertanam dalam diri Sally kecil, harus sempurna, menjadi unggul dalam segala hal.

"Kalau gitu, Sally harus bersyukur, ya?"

"Iya, nilai itu hasil kerja kamu. Hasil belajar kamu sendiri. Berapapun dan apapun hasilnya. Nilai itu milik kamu. Kalau kamu bersyukur, hati kamu akan puas dengan nilai kamu saat ini. Jangan terlalu memaksa diri mengejar kesempurnaan di mata orang lain, cukup menjadi sempurna untuk diri kamu sendiri dan di mata Allah. Mama selalu bilang begitu, jadi kamu nggak boleh terlalu memaksa diri. Sally juga perlu istirahat."

Keduanya saling bercerita, bertukar lelucon mengalihkan rasa sakit akibat luka berdarah milik Sally menjadi tidak berarti. Hari ini, dia mendapatkan ilmu baru lagi. Kesempurnaanmu lahir dari bagaimana caramu menghargai dan mencintai diri sendiri. Tidak perlu iri dengan orang lain, karena kamu istimewa. Tentu saja dengan caramu sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top