BAB XXXVIII: TACENDA
Matahari muncul dan tenggelam, mengakibatkan garis waktu terus berjalan tanpa mempedulikan apakah si Manjirou sudah ditemukan atau tidak. Sudah lima hari berlalu sejak pagi itu. Mansaku kembali ke Inggris karena koleganya tak bisa menunggu lebih lama lagi. Hingga segala urusan tentang Jepang dan seisinya ia anugerahkan kepada Shinichiro.
Lelaki bersurai hitam gelap itu kini tengah berjalan ke dapur seusai kembali dari menelepon seseorang. Lantas netranya yang segelap malam menangkap sosok saudarinya tengah mengobrak-abrik isi kotak perkakas.
"Eve, kamu lagi cari apa?"
Eve menoleh lalu dapati Shinichiro dengan balutan kemeja dan blazer hitam. "Lagi cari lilin, Kak. Liat gak?"
Alis Shinichiro terangkat sebelah. "Buat apa cari lilin?"
Satu embusan napas seketika hiasi ruangan itu. Lalu si gadis bersurai ungu gelap berkata lagi, "Aku ... nemu kertas aneh di dalam laci kamar. Terus, karena ada gambar Doraemon-nya ... aku jadi berpikir kalau itu punya Emma."
Shinichiro melebarkan netranya sesaat. Kaget, mungkin. Lantas ia kembali pasang raut wajah normal. "Oh, ada tulisannya?"
Eve menggeleng sebagai jawaban sembari matanya tetap fokus mencari lilin. Kemudian Shinichiro ikut mencari ke dalam rak-rak tinggi yang adiknya itu sulit gapai. Dan, usaha si lelaki membuahkan hasil. Kini di tangannya terdapat sebuah lilin berwarna putih yang undang perhatian adiknya.
"Nih, ketemu."
"Wah, terima kas-"
Shinichiro mendadak menjauhkan lilin di tangan dari jangkauan Ayaka. "Ajak aku melihat isi suratnya. Yah itu juga kalau memang ada tulisannya sih."
"Iya deh, lagipula ini pun cuma asumsiku aja sih. Soalnya Emma gak mungkin menaruh kertas kosong di dalam laci meja belajarku gitu aja. Iya kan, Kak?"
Pernyataan itu pada akhirnya mendapat anggukan dari si sulung Sano. "Ya udah, ayo kita baca suratnya."
Bagaimana si Ayaka memiliki pikiran seperti ini? Tentu saja karena sewaktu ia kecil, Emma biasa mengajaknya melakukan sulap tulisan lilin. Entah bagaimana trik sulap itu bisa membuat Mikey dan Chifuyu kecil terkagum-kagum.
Sesaat kemudian kedua Sano itu bergerak menuju lantai dua, menelusuri lorong-lorong berlapis kayu jati yang dipernis hingga mengkilat. Entah mengapa di siang itu, suasana mansion sangat sepi. Hanya ada satu atau dua pelayan yang terlihat. Tidak tahu ke mana sebagian besar orang-orang itu perginya.
Atau mungkin ... ini cuma perasaan Eve saja karena tidak biasa ditinggal Mikey? Atau ... bisa jadi karena hati gadis itu masih berselimut duka selepas kepergian Emma.
Eve menutup pintu kamarnya lalu langsung membuka laci meja. Dari sana, jemarinya membawa secarik kertas kosong. Sementara itu Shinichiro hanya diam memperhatikan. Cukup dibuat penasaran juga dengan apa yang ditulis mendiang Emma di sana.
Lantas, tak butuh waktu lama untuk huruf-huruf di atas kertas memunculkan diri. Eve, dengan tangan bergetar pun mulai membaca isinya.
Eve, bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu baik-baik saja?
Jika surat ini pada akhirnya sampai padamu, itu artinya kemungkinan besar aku sudah mati.
DEG!! DEG!!
Pupil emas Eve seketika bergetar. Rasa sakit nan berdenyut mendadak serang kepalanya. Syok, mungkin adalah kata yang paling cocok menggambarkan gadis itu saat ini. Begitu juga dengan si sulung Sano yang tampak melebarkan kelopak mata di sebelahnya.
Bagaimana bisa Emma tahu kalau dia akan mati?
"Baca lagi," titah sang kakak.
Di sini aku akan membuat pengakuan. Aku tidak berharap kalau kau akan memaafkanku atas segala dosaku selama hidup bersamamu. Sebenarnya, Eve ... aku selalu iri padamu. Semesta seolah menjadikanmu pusat rotasi orang-orang, sedangkan aku di sini ... hanya jadi pemeran figuran yang akan dengan cepat dunia lupakan.
Aku akui, itu sangat menyebalkan sekaligus menyakitkan. Aku tak akan pernah lupa saat Kakek memberikan posisi CEO yang seharusnya itu jadi milikku.
Hah, tapi nyatanya apa? Dia malah memberikannya padamu. Orang yang sepuluh langkah jauh ada di depanku.
Aku juga lah yang sebenarnya telah menghapus skripsimu dari laptop. Aku muak melihatmu terus bersinar. Jadi kupikir ... tak ada salahnya kalau sekali-sekali kubuat kau jatuh ke dasar kubangan lumpur.
Di sini ... di tempat aku bisa melihatmu yang kotor berdiri sejajar denganku. Berengsek ya?
Eve mengambil napas sejenak. Lantas ia gigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kenapa ia baru tahu kalau selama ini Emma menyimpan perasaan macam itu? Jika saja ia tahu lebih cepat, tak akan Eve biarkan Emma kesepian.
Tak akan Eve biarkan Emma merasa tidak berguna.
Satu bulir bening, pada akhirnya jatuh menetes menghantam permukaan meja. Alih-alih marah, si gadis berambut ungu itu malah menangis. Semua perasaan kehilangan yang dirasakannya seolah menenggelamkan seluruh amarah.
Lalu ia lanjut membaca setelah kakaknya mengelus rambut gadis itu pelan.
Untuk menebus dosa-dosaku, hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum mati.
Memberitahumu tentang kebenaran. Kebenaran yang selama ini aku dan Mikey tutupi. Kupikir, karena nantinya tidak ada aku, kamulah yang harus ada di sisi Mikey. Aku tahu ini terdengar tidak tahu malu, tapi aku minta tolong, selamatkan Mikey.
Eve, kematian Kak Izana juga kematianku bukanlah hal yang semata-mata Tuhan rencanakan.
Si gadis berambut ungu gelap berhenti membaca lagi. Keningnya berkerut tanda bingung. Apa yang Emma bicarakan?
Kami berdua-aku dan Kak Izana-juga orang-orang luar yang dianggap sebagai penghalang Keluarga Sano pada hakikatnya akan dibinasakan. Kami tak lebih berharga dari seonggok batu arang di mata orang itu.
Sempurna adalah kata yang menggambarkan keluarga kita di mata publik. Dan, tentu saja hal itu berkat usaha membinasakan orang-orang yang mau mengganggu keluarga ini.
Aku mungkin saja dibunuh karena sudah terlalu banyak tahu. Apalagi aku sudah terlanjur mengaku secara terang-terangan bahwa aku lah yang melaporkan kasus kematian Kak Izana ke polisi. Jelas ... orang itu akan curiga.
Untuk kesekian kalinya, Eve menenggak saliva susah payah. Tenggorokannya terasa kering. Walau bagaimanapun apa yang ia kini baca sungguh berada di luar nalar. Ia sulit percaya meski raut mukanya menunjukkan ekspresi horor.
Ada pembunuh di rumah ini, begitu isi pikirannya berulang-ulang.
Eve, selagi kau sayang nyawa ... aku ingin kau lari sekarang juga.
Lari yang jauh dari mansion dan jangan pernah kembali lagi. Ini demi kebaikanmu.
"Pft!"
Si gadis bersurai ungu pun perlahan menolehkan kepalanya ke samping. Tepat ke arah Shinichiro yang tampak habis menahan tawa susah payah.
Sadar dirinya diperhatikan, ia pun langsung memasang wajah normal kembali. Lantas ia rebut kertas di tangan Eve, meremasnya lalu melempar itu ke tong sampah.
"Kak...?"
"Cukup," kata lelaki itu, "bajingan berengsek, bisa-bisanya dia terlalu banyak omong seperti itu."
Shinichiro lantas tersenyum lembut lalu memegangi kedua bahu Eve erat. Lelaki itu pun bicara lagi, "Eve, di dunia ini ada hal-hal yang sebaiknya tidak diungkap. Bukan bermaksud menutu-nutupi, tapi di dunia yang busuk ini tentunya ada harga besar yang harus dibayar demi sebutir kebahagiaan dan kesempurnaan."
"Keluarga kita, Sano, adalah keluarga yang harus sempurna. Oleh karena itu, sampah-sampah yang menurunkan derajat Sano harus dihilangkan bersama aib-aib yang mereka bawa."
Eve kehilangan kata-kata. Netranya seolah terhipnotis hingga terus menatap ke arah wajah si sulung. Namun, satu yang pasti, lelaki di depannya itu ... perlahan mulai terlihat bagai seekor serigala dengan taring berdarah-darah di mata si gadis manis.
Serigala, ... yang diam-diam menyantap domba-domba di padang rumput dengan brutal.
"Aku tahu kau pintar. Kau beda dari yang lain, untuk itulah kau pasti mengerti kalau aku tidak bisa melepaskanmu dari keluarga ini," ujar Shinichiro lagi sembari meremas bahu adiknya, "dan ... sekarang pilihannya ada dua. Lari atau bertahan? Jawab, Eve."
Dada Eve kini mulai naik turun, seiring dengan napasnya yang berembus tak tenang. Kepingan-kepingan puzzle yang seolah berjatuhan dari dalam kotak perlahan tersusun di benak. Dan, efek dari itu, menghasilan gumaman serak dari bibir si gadis.
"D-d-di mana Mikey...?"
Shinichiro mengangkat satu alisnya.
"A-aku bilang...." Eve menjeda sebentar sebelum akhirnya, seluruh suaranya kembali bersamaan dengan amarah yang bergejolak.
"DI MANA MIKEY?!"
"APA YANG SEBENARNYA TERJADI PADA EMMA?! LALU KAK IZANA?! APA MAKSUD SEMUA INI, KAK SHIN?!
PLAK!!
Kepala Eve tertoleh ke samping setelah sebuah tamparan mendarat di pipinya yang tirus. Lalu, dengan tangan gemetar, telunjuk gadis itu menyentuh hidung yang dari sana sudah keluar cairan sungai merah. Sial, keras sekali tamparan yang diterima Eve.
"Bocah udik berengsek!" decak Shinichiro lalu menarik kuat rambut Ayaka hingga si empunya menjerit kesakitan.
"AAAAAA, KAK SHIN?! KAK, AMPUNI AKU!!"
"Izana adalah sosok yang mempermalukan keluarga kita lewat perilakunya yang serampangan!!" bentak si sulung emosi, sambil menarik rambut Eve hingga wajah mereka berhadapan.
"Emma!" bentaknya, "gadis gak berguna yang sudah banyak tahu!"
"Lalu Mikey ... karismanya berguna untuk keluarga kita, makanya aku gak membunuhnya."
"DI MANA MIKEY, ANJING?!"
PLAK! Satu tamparan lagi-lagi mendarat di wajah Ayaka hingga sudut bibir gadis itu robek.
"JAGA MULUT KAMU, AYAKA!!" bentak lelaki itu murka. "Dengar ya, gak peduli mau sekeras apapun usaha kamu untuk melawan atau kabur, aku gak akan biarkan itu terjadi! Jiwamu, ragamu, otak dan segala yang kamu punya adalah hak milik Sano."
"Cuih!" Eve meludah ke samping. Ada darah yang turut keluar. "Bajingan seperti kamu, gak pantas memerintahku."
"Oh, kata siapa?" tanyanya dingin.
Sedetik kemudian, Ayaka menjerit kesakitan begitu kakaknya menarik presensi gadis itu ke dalam kamar si lelaki dan melemparnya kasar ke atas karpet.
"AAAAA, SAKIT! LEPAS!!"
BRAK!!
Shinichiro yang kini berdiri di ambang pintu tersenyum miring sambil memandang rendah gadis di depannya. "Kamu lebih baik di sini saja, karena sebentar lagi aku akan membunuh si jalang Yua yang sebentar lagi akan tiba ke sini."
"H-HAH?! JANGAN! KAKAK!!" jerit Eve sembari buru-buru bangun. Niat meraih Shinichiro, tapi yang ditemuinya malah permukaan pintu yang menutup. Tak lama, bunyi klik pun terdengar, tanda pintu telah dikunci dari luar.
"HIMARI! HIMARI!!" jerit Eve kemudian sambil menggedor-gedor permukaan daun pintu secara membabi buta. Namun apa yang diusahakannya berbuah sia-sia karena ruangan Shinichiro kedap suara.
Tak mungkin ada yang mendengar jeritannya.
Dan, di bawah sana ... tepat di depan daun pintu kembar mansion, sosok jangkung Shinichiro tampak tengah menyambut kedatangan Himari Yua yang tadi diteleponnya.
"Selamat datang, Himari-chan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top