BAB XV: THE JERK

Pemakaman Sano Izana dilaksanakan secara tertutup. Hanya kerabat dan keluarganya saja yang bisa hadiri acara sakral tersebut. Puluhan wartawan yang hendak meliput diperintah untuk pulang kembali. Mereka diusir oleh sekelompok bodyguard yang berjaga di sekitar pintu makam.

Peti mati Izana telah diturunkan ke liang lahat, diiringi isak tangis orang-orang sekitar. Hari itu, yang tampak paling terpukul bukanlah Mikey, Emma, Eve atau Shinichiro, melainkan Kakucho. Pria itu berdiri paling depan, sejajar dengan Kakek Sano.

Kakucho menangis terisak, abaikan tatapan teman-temannya di Geng Bonten yang turut hadiri pemakaman. Bagaimana bisa takdir mengerikan ini terjadi pada satu-satunya sahabat yang ia miliki?

Izana dan Kakucho sebenarnya sudah berteman sejak kecil. Pada suatu hari, mereka bertemu di panti dan jalani hari-hari yang riang berdua. Izana yang kesepian menunggu datangnya sang Ibu tentu saja membuka hati begitu Kakucho si anak pemilik yayasan datang dan ajaknya bermain.

“Kenapa bisa kayak gini...?” desis pemuda itu sambil usap air matanya.

Kakek Sano embuskan napas lelah lalu tepuk punggung pemuda itu. “Semuanya sudah takdir, Nak. Tidak ada yang tahu hidup atau matinya seseorang.”

Kakucho lalu terkekeh miris. “Maaf, aku malu sekali, Kek. Bisa-bisanya aku menangis seperti bayi di saat Kakek malah berdiri tegar.”

“Sudahlah, Tuhan menciptakan air mata agar manusia bisa menangis. Sia-sia kalau tidak digunakan, kan?” Kakek Sano tersenyum lembut, tapi tetap saja ada raut sedih di wajahnya yang sudah renta itu.

Tak lama kemudian, dua orang polisi datang mendekat. Otomatis para pelayat pun menyingkir, memberi jalan.

Dua pria berbadan tegap itu bicara pada Shinichiro yang tampak rapuh. “Selamat siang, maaf mengganggu waktunya, Tuan Sano.”

“Ada yang bisa dibantu?” tanya pemuda itu.

“Berdasarkan rekaman video amatir yang terjadi baru-baru ini, kami dari pihak kepolisian ingin meminta kerjasamanya untuk penyelidikan kasus kematian Izana Sano,” ujar salah satu dari mereka yang miliki tatapan tajam.

Shinichiro lantas melebarkan kelopak netranya. Dia kaget. Meskipun kematian Izana terjadi secara mendadak, tapi lelaki itu tak pernah berpikir untuk menyelidikinya dengan bantuan polisi.

“Hah? Maksudnya gimana?” tanya Shinichiro.

“Aku yang melapor.” Emma berdiri tak jauh dari si sulung Sano. Ia pasang raut wajah serius. “Aku merasa kalau kematian mendiang Kak Izana itu aneh. Makanya aku melaporkan kejadian ini.”

Shinichiro dan sang kakek saling pandang. Mereka pun lantas mengangguk pasrah dan coba ikuti permainan yang diinginkan polisi.

“Ah iya, perkenalkan. Nama saya Naoto Tachibana dari divisi kriminal. Jika berdasarkan rekaman video yang diunggah beberapa hari lalu, saya berniat untuk meminta keterangan secara khusus kepada Saudara Sano Manjirou, Sano Ayaka, Himari Yua dan Matsuno Chifuyu,” jelas polisi itu, Naoto.

“Untuk nama-nama yang disebutkan, bisakah kalian ikut saya ke kantor setelah acara pemakaman ini?”


🌼


Himari duduk di ruang tunggu kantor polisi dengan jantung berdebar kencang. Pembunuhan? Ia tak sanggup menerima kenyataan kalau ada seorang pembunuh yang berkeliaran di ruang lingkup hidupnya.

Netranya pun berkali-kali menatap jam dinding, perhatikan tiap gerakan jarumnya yang seolah melambat. Kemudian, punggungnya menegang begitu Chifuyu keluar dari ruang interogasi dengan wajah kusut. Pria itu ciptakan suara pintu yang menutup nyaring.

BRAK!

Eve yang duduk di sebelah Himari pun langsung memandangi pacarnya tajam. Namun Chifuyu tak berkata apa pun, ia langsung menarik lengan Eve dan membawanya pergi dari bangunan dingin tersebut.

“Loh? Loh? Himari, aku pulang duluan ya,” kata gadis itu yang tak kuasa tahan tarikan di lengannya.

Himari hanya mengangguk. Mikey sudah pulang dari tadi karena kondisi mentalnya sedang tidak baik. Ia dibawa Shinichiro kembali ke mansion dengan mobil mewahnya. Sadar hanya dirinya yang tinggal seorang diri, gadis itu pun masuk ke ruang interogasi.

“Selamat datang, Yua Himari.” Naoto duduk di sebuah kursi besi lipat sambil bereskan tumpukan kertas berisi coretan pulpen.

Kemudian Himari mengangguk dan duduk di kursi sebrang meja, berhadapan dengan Naoto. “Jadi apa yang ingin Anda tahu dari saya?”

Naoto berdeham lalu menatap tajam gadis di depannya. “Himari Yua, Anda terlibat dalam insiden perkelahian Keluarga Sano di hari itu. Berdasarkan pengakuan saksi yang ada, Anda juga terlihat beberapa kali keluar masuk kamar rawat inap mendiang Sano Izana.”

Himari lantas menenggak salivanya. Diam-diam, kakinya gemetaran. Jadi dirinya dicurigai, huh?

“Mendiang Sano Izana juga tampaknya tidak memiliki hubungan yang begitu baik dengan Anda. Nah, sekarang saya ingin tanya.”

“Apa saja yang Anda lakukan di hari kematian korban?”

Bibir Himari sebenarnya terasa berat, tapi ia paksakan untuk bicara. “Saya memang punya hubungan yang buruk dengan Kak Izana, t-tapi ... saya tidak pernah sekalipun berpikir untuk mencelakainya,” ungkap Himari.

“Pada hari itu saya datang ke rumah sakit untuk mengganti bunga di vas. Selain ke kamar Kak Izana, saya juga pergi ke kamar Eve dan Mikey. Saya selalu datang setiap hari.”

Naoto mengangkat sebelah alisnya sambil mencatat apa yang Himari ceritakan. “Apakah Anda yakin tak ada racun di dalam bunganya?”

DEG! Himari mendadak terasa tersambar petir. Tidak, itu tidak mungkin terjadi!

“Saya yakin tidak ada racun apa pun,” balas Himari mulai jengah.

“Apakah Anda tahu kalau korban dirawat karena terserang panick attack berlebih yang menimbulkan sesak napas setelah peristiwa perkelahian?” Naoto bertanya lagi. “Apakah Anda juga tahu kalau penyebab kematian korban adalah kehabisan napas karena alat bantu pernapasannya lepas secara misterius?”

Lelaki itu masih tidak percaya Himari. Ia tidak akan menutup berbagai kemungkinan yang ada. Pada hari kematian, hanya gadis itu yang tampak keluar masuk ruangan Izana Sano. Itu pun menurut pengakuan saksi.

“P-panick attack b-berlebih...?” Himari tertegun. Izana pasti syok setelah mengetahui kebenaran kalau dia hanyalah anak angkat. Padahal selama ini, pria itu selalu berlaku seolah-olah dia yang paling berkuasa dan tahu segala hal.

Izana pasti sangat malu. Lalu rasa gengsinya yang bak seorang kaisar malah undang sebuah penyakit.

“Saya benar-benar tidak tahu,” ujar Himari, “saya kira Kak Izana dirawat sampai tak sadarkan diri di sana karena pukulan dari Chifuyu dan Mikey....”

Naoto lagi-lagi menuliskan pengakuan Himari di selembar kertas kosong. Lelaki berambut hitam itu putuskan untuk bertanya lagi.

“Apa Anda tidak melihat orang lain lagi yang masuk ke kamar korban?

Himari diam. Pikirannya yang sedang semrawut itu dipaksanya mengingat-ingat kejadian di hari itu. Lantas sebuah memori samar muncul ke permukaan. Gadis itu pun langsung berkeringat dingin, wajahnya pucat pasi.

M-masa sih...? batin Himari terasa membeku. Kali ini hanya suara debaran jantungnya saja yang terdengar.

DEG DEG DEG DEG.

“Yua Himari? Anda masih dengar saya?” Naoto kali ini tangkap ekspresi yang menarik dari objek interogasinya. Mungkin saja ini titik terang.

“S-sebelum masuk ke koridor depan r-r-ruang Kak Izana ... saya sekilas melihat seorang pemuda jangkung yang berbelok ke arah lift,” jelas Himari dengan nada suara bergetar. Entah mengapa bayangan si pemuda seolah menjadi cambuk untuk gadis itu.

Kenapa Himari baru ingat sekarang?

“Lanjutkan,” titah Naoto.

“Saat itu suasana koridor sedang sepi. H-hanya ada saya dan pemuda itu....” Himari mulai peluk dirinya sendiri.

Naoto pun langsung bergerak cepat, ia catat semua pengakuan penting tersebut. “Bagaimana dengan ciri-cirinya?”

Himari menggeleng. “Saya tidak tahu pasti, tapi dia mengenakan hoodie hitam dan masker. Saya juga yakin ada luka di wajahnya....”

Gadis itu mungkin saja akan pingsan jika ia tak berusaha cubiti punggung tangannya. Jika benar orang yang dilihatnya adalah seorang pembunuh, maka Himari baru saja bertemu dengannya. Ia tak bisa terima fakta itu.

Hidup tenang yang selalu Himari dambakan tampaknya tak akan datang lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top