• TRI TRIDASA - Waktu dan Perhatian •
TRI TRIDASA - TIGA PULUH TIGA
« Waktu dan Perhatian »
~~~
Selamat Membaca!!!
🎭🎭🎭
"Wil, cepet ke sini. Aku ketemu Fernando!"
"Hah? Iya kah?"
"Iya, aku share lokasinya, ya."
"Tunggu, tunggu. Kenapa kamu nge-share lokasi ke aku? Tanya aja ke Fernando si Reynard ada di mana. Atau kalau nggak, minta tolong dia bantu cariin Reynard. Biar kita bisa cepet tangkep dia dan nyelesaiin semuanya."
"Itu, Wil ...." Wildan mengerutkan dahi ketika suara rekannya mulai bergetar. Bahkan, ia juga mendengar suara rintihan.
"Hei, ada apa ini? Semuanya baik-baik aja, kan?"
"Nggak usah banyak tanya, Wil! Cepetan ke sini! Bantu aku bawa Fernando, aku sendirian di sini."
"Hah? Ngapa-"
"CEPETAN, WIL! FERNANDO SUDAH SEKARAT!"
Netra Wildan sontak terbeliak lebar ketika mendengar bentakan rekannya. Tanpa sadar, labium Wildan pun ikut bergetar.
"Fernando sekarat? Dia ...?" tanya Wildan monolog dengan suara lirih.
"AYO CEPETAN! FERNANDO PENDARAHAN!"
"I-iya, iya. Aku ke sana! Cepat hubungi yang lain. Kita urus Fernando dulu dan bawa dia ke mobil. Yang lain nanti tetep nyari Reynard." Setelah menyelesaikan ucapannya, Wildan pun berlari dengan kencang menuju lokasi yang telah dikirimkan oleh rekannya. Degup jantung Wildan kian berpacu cepat selama berlari. Antara kelelahan dan rasa takut, serta keresahan yang semakin menjadi-jadi.
"Fernando, kenapa bisa gini, sih? "
Ketika telah sampai pada tempat yang dituju, Wildan terperangah melihat Aditya, rekannya tengah berusaha menahan pendarahan pada perut seorang pemuda yang tergeletak lemah.
Fernando, itulah pemuda tersebut. Bahkan Adit berkali-kali menepuk pipi Fernando demi terus menjaga kesadaran lelaki itu. Merasa ada seseorang yang berdiri tak jauh darinya, Aditya menoleh dan melihat eksistensi Wildan yang tampak terkejut dan syok.
"Hei, jangan bengong! Bantu aku." Lamunan Wildan pun buyar. Ia sontak berlari mendekati Fernando dan turut membantu pemuda itu berdiri. Tak lama setelah itu, beberapa rekannya yang lain mulai berdatangan dan membuat Wildan menghela napasnya sejenak.
"Kalian, tetap cari Reynard. Aku sama Adit bawa Fernando ke rumah sakit." Jeda beberapa detik. "Oh, ya. Jangan lupa amankan lokasi ini buat olah TKP nanti."
Mereka semua pun mengangguk ketika mendengar ucapan dari Wildan, selepas itu mereka bergerak sesuai tugas masing-masing. Ketika masuk ke mobil, Wildan menolak untuk menyetir karena pikirannya sangat kacau. Ia takut jika tidak konsentrasi saat menyetir nanti. Alhasil, ia pun duduk di jok belakang sembari merangkul Fernando sembari menahan cairan merah segar yang terus mengucur deras melalui perut.
Mendadak saja Wildan merasa miris ketika melihat banyak sekali lebam yang memenuhi raut tampan milik anak dari sahabatnya ini.
"Fernando ... kenapa bisa kayak gini?"
Namun, pemuda itu masih terdiam di ambang kesadarannya. Ia sejak tadi merasa sakit dan ingin sekali terus memejamkan mata sejak tadi.
"Jawab, Ndo! Jangan diem aja. Kamu harus tetep sadar!"
Air mata terus saja mengalir dari kedua netra. Ia hanya menangis dan menangis. Pikiran Fernando sangat kacau dan ia bingung harus melakukan apa.
"Fernando! Jawab!" bentak Wildan sembari menepuk pelan pipi pemuda tersebut.
"S-sakit." Setelah lama terdiam, akhirnya Fernando mau berbicara. Namun, jawaban tersebut justru membuat Wildan semakin merasa sedih sekaligus ingin marah. Marah karena ia tak bisa menghilangkan rasa sakit pada Fernando yang pastinya semakin menjadi-jadi.
"Sabar, Nando. Kamu harus kuat. Sebentar lagi kita bakal sampai rumah sakit. Kamu harus tetap sadar, ya? Nggak apa, kamu ajak Om ngomong aja."
"S-sakit. Argh!" Seolah tak menghiraukan ucapan Wildan, Nando justru berteriak sambil mendongakkan kepala yang membuat polisi muda tersebut semakin khawatir.
"Fernando ...." Selepas itu, ia menatap Aditya yang berada di kursi pengemudi. "Cepetan, Dit! Cepet!"
"Iya, iya, Wil. Ini udah cepet."
"Ma, sakit ...."
Wildan spontan menoleh ketika mendengar gumaman dari Fernando. Mendadak saja perasaan pria itu hancur ketika melihat wajah pemuda di sampingnya tampak mengenaskan sembari memanggil sang Mama. Wildan ingat, bahwa istri dari Bagas, yang tak lain dan tak bukan ialah Mama Fernando, telah meninggal beberapa bulan yang lalu karena sebuah kecelakaan.
"S-sakit. T-tolong aku, Ma."
"Ndo ...."
Secara perlahan, Fernando menolehkan kepala ke arah Wildan. Dengan penuh kekuatan, ia memberikan senyum tipis pada pria tersebut.
"O-om. T-tolong jangan ... jangan kasih t-tau Papa dulu."
"Hah?" tanya Wildan dengan bingung.
"J-jangan hubungi P-papa dulu sebelum ak-aku sembuh. Aku janji ... janji bakal sembuh. Tapi-argh!"
"Nando!"
🎭🎭🎭
Tak peduli dengan kaki yang masih belum bisa berjalan normal dan hanya mengandalkan kruk, Bagas sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu. Tangannya tak lepas dari gawai, mengharapkan sebuah informasi seputar sang anak. Saat ini telah lebih dari jam sembilan malam, tetapi Fernando masih saja belum pulang.
Sebelumnya, Bagas sempat ingin melaporkan Fernando yang hilang pada Wildan, sahabatnya. Namun, Wildan mengatakan jika Bagas masih belum bisa melaporkan kehilangan Fernando jika belum dua puluh empat jam. Akan tetapi, pria itu berjanji akan membantu sang sahabat untuk mencari Nando.
"Ndo, kamu di mana? Kenapa keluar rumah nggak bilang Papa dulu? Apa kamu nggak tau Papa khawatir sama kamu?"
Baru saja Bagas selesai bergumam, secara tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Dengan cepat, pria tersebut berjalan menghampiri pintu rumah. Bagas pun membuka benda kayu tersebut dengan tergesa.
"Gas ...."
"Wil? Mana Nando? Kamu ke sini bawa Nando, kan?" Wildan tersenyum tipis ketika mendengar kekhawatiran dari Bagas.
"Wil? Kok diem?"
"Nando di rumah sakit, ayo ikut aku."
"Hah? Apa?" Mendadak saja degup jantung Bagas seolah berhenti saat itu juga. Ia sangat syok saat mengetahui bahwa sang anak sedang tidak baik-baik saja.
"Kok bisa? Nggak mungkin. Jangan bercanda, Wil."
Wildan sontak menghela napas pelan. "Nanti aku ceritain di mobil, sekarang ayo ikut aku. Nando nungguin kamu."
Bagas pun dengan terpaksa mengangguk lalu mengikuti langkah Wildan. Mendadak saja perasaannya semakin resah.
🎭🎭🎭
Derap langkah yang cepat dan keras kian memenuhi lorong sebuah rumah sakit. Meski Bagas tidak bisa berjalan seperti biasa, tetapi ia tak memedulikannya. Di pikirannya hanya satu, Bagas hanya ingin bertemu dengan Fernando dan memastikan bahwa sang anak baik-baik saja.
Jujur saja, Bagas merasa menyesal karena selama ini tak pernah memercayai ucapan dari anaknya sendiri, sekaligus merasa syok ketika mengetahui bahwa Reynard, keponakannya sendiri, diduga membunuh Fernando. Wildan menjelaskan semuanya secara gamblang pada Bagas sepanjang perjalanan tadi hingga membuat pria tersebut merasa semakin gusar. Ia sungguh tak menyangka, Reynard yang selama ini telah dirinya banggakan dan bandingkan dengan Fernando, rupanya memiliki sifat jahat yang tersimpan rapi.
Bagas terus mengikuti langkah Wildan yang berada di depan sembari merapalkan doa, berharap yang terbaik untuk Fernando. Namun, mereka berhenti berjalan ketika Wildan secara tiba-tiba terdiam. Selepas itu, Wildan menoleh ke arah Bagas yang memberikan tatapan bertanya.
"Kok berhenti?"
Dengan perlahan, Wildan menghela napas lagi. "Kamu mau ketemu Nando, kan?"
Tentu saja Bagas mengerutkan dahi dengan bingung. "Kamu bercanda? Ya jelas aku mau ketemu anakku. Ayo cepet!"
"Ayo masuk. Nando ada di dalem sini."
"Hah?" Sekali lagi, Bagas merasa bingung. Terlebih ketika melihat ruang yang ditunjuk Wildan itu berplang 'ruang jenazah'. Sedangkan di depan ruangan itu terdapat seseorang yang tampak memakai seragam polisi pula. Sepertinya ia adalah rekan Wildan.
"Wil, nggak usah bercanda. Ayo ke ruang rawat Nan-"
"Nando sudah dipindah ke sini, Gas."
Bagas menggelengkan kepala tak percaya. Bahkan ia masih sempat terkekeh pelan, mentertawakan sang sahabat yang berada di hadapannya.
"Kamu buang-buang waktuku, Wil. Ayo kasih tau di mana ruang rawat Nando!"
"Maaf, Gas. Maaf karena aku terlambat menemukan Nando. Dia terlambat ditangani. Dia sudah ...."
"Wil ...."
"Ayo ikut aku. Setidaknya lihatlah Fernando untuk yang terakhir kali."
Tubuh Bagas rasanya lemas tak bertulang ketika mendengar ucapan dari Wildan. Namun, ia tak punya pilihan selain memilih untuk mengikuti Wildan. Dengan jantung yang berdebar kencang, Bagas terus berharap semoga yang dialaminya ini hanya mimpi.
Netra Bagas sontak menyendu ketika melihat Wildan berhenti tepat di samping sebuah kasur yang di mana ada seseorang di atas sana tertutup selimut. Sang sahabat pun melambaikan tangan, memberikan kode supaya Bagas mendekat. Dengan langkah berat akhirnya pria itu mulai berjalan menuju kasur di hadapan Wildan. Kini, posisi Wildan dan Bagas saling berhadapan. Wildan yang berada di sisi kiri dan Bagas di sisi kanan kasur.
Dengan tangan bergemetar, Wildan pun membuka selimut tersebut. Bagas menggelengkan kepala tak percaya. Tak dapat ditahan lagi, cairan bening kian membasahi kedua pipinya. Dada pria tersebut rasanya sangat sesak ketika melihat pemandangan yang berada di hadapannya.
"Nando ... nggak mungkin."
Bagas langsung saja menyandarkan kruk di dinding dengan gusar lalu menyentuh wajah sang anak yang tengah terlelap-untuk selamanya.
"Ndo, kenapa kamu tidur di sini? Bangun, Nak! Ndo!"
"Gas, sudah. Jangan begini-"
"Nando, bangun, Nak! Nggak, Papa nggak bakal marah karena kamu keluar diem-diem dan nggak izin Papa tadi."
"Bagas-"
"Papa tau, kamu keluar diem-diem itu mau buktikan ke semua orang, termasuk Papa, kalau kamu nggak salah. Ya, kamu memang nggak salah. Papa yang salah. Jadi, ayo bangun, Ndo."
"Bagas. Sudah, Gas. Sudah." Wildan pun mendekati Bagas lalu mengelus pundak sang sahabat yang bergetar hebat.
"Kamu tega tinggalin Papa? Setelah Mama, sekarang kamu, Ndo? Bangun, Nak. Papa janji nggak bakal nuduh kamu macam-macam lagi. Kamu rindu ke Surabaya, kan? Kita bakal ke sana kalau kamu mau bangun. Ayo, Ndo."
"Bagas, sudah ...."
"Kamu mau ke makam Mama, kan? Ayo bangun, Nak."
"Sudah, Gas. Cukup. Jangan begini, kasihan Nando." Bagas pun menutup wajah dengan kedua tangannya. Perasaan pria tersebut benar-benar hancur melihat keadaan Fernando yang mengenaskan. Sungguh, hatinya terasa teriris ketika melihat lebam keunguan memenuhi wajah anaknya.
"Pulang larut malem, wajah babak belur. Habis ngapain kamu tadi, hah?"
"Pa-"
"Bagus, ya. Kamu semakin nggak karuan sekarang. Kamu boleh marah karena Papa ngajak kamu ke sini, tapi nggak kayak gini caranya, Nando!"
"Pa, ini Mas Reynard yang mukul-" Ucapan Fernando langsung terhenti saat ia merasakan nyeri di pipinya. Itu semua terjadi akibat sebuah tamparan dari tangan Bagas.
Bagas sungguh menyesal ketika mengingat kejadian tersebut, yang di mana bisa jadi ucapan dari Fernando memang benar. Namun, ia terbutakan oleh image Reynard yang sangat baik, sehingga Bagas mengira Fernando yang bersalah. Sejak saat itu, waktu dan perhatian Bagas pada Fernando kian berkurang, karena pria tersebut merasa sangat kesal dengan sang anak yang ia anggap selalu memberontaknya.
Dengan penuh kilatan marah pada kedua netranya, Bagas pun menoleh ke arah Wildan. "Kamu harus cepat tangkap Reynard. Karena dia ... dia sudah buat anakku ...."
"Tenang aja, Gas. Dia sudah ditangkap sama rekanku."
"Beneran?" tanya Bagas tak percaya.
"Iya, dan kami akan segera memproses dia."
Dalam hati, Wildan sedikit bersyukur karena menurut pengakuan rekannya, ketika mereka sedang mencari Reynard, secara tiba-tiba ada seorang pemuda menghampiri mereka dengan tergesa dan mengatakan bahwa ia melihat Reynard. Bahkan pemuda tersebut mengaku menjadi saksi pembunuhan Fernando.
Awalnya mereka tak percaya. Namun, pemuda itu terus mendesak dan mengatakan bahwa ia tidak bohong. Dan ternyata benar, pemuda tersebut memang jujur. Dalam sekejap, Reynard pun ditahan.
Akan tetapi, mereka juga membawa pemuda itu ke kantor polisi selain karena ia adalah saksi, mereka pun merasa ada yang janggal. Jika pemuda tersebut mengaku menjadi saksi pembunuhan Fernando, lalu mengapa ia justru meninggalkan Fernando dan lebih memilih untuk mengikuti Reynard? Walaupun Wildan sempat memiliki sebuah spekulasi ketika dikabari hal itu, tetapi ia tetap menunggu pengakuan secara langsung dari sang saksi.
Yang tak lain dan tak bukan adalah Hendra.
🎭🎭🎭
To be continued ....
Yeay, finally 😭😭
Tunggu epilognya, ya, Yeorobun 👌🏻
Terima kasih teruntuk kalian yang sudah membaca kisah Fernando.
Jangan lupa tinggalkan jejak positif serta share jika kalian suka kisah ini, ya.
Borahae all 💜💋
©putriaac ~ Alma Alya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top