• SAPTA DWIDASA - Sebuah Keterpaksaan •
SAPTA DWIDASA - DUA PULUH TUJUH
« Sebuah Keterpaksaan »
~~~
Selamat Membaca!!!
🎭🎭🎭
"Ranita!" Langkah gadis berbulu mata lentik itu kian berpacu cepat saat sebuah suara memanggil. Ia sangat mengetahui siapa yang berada di belakangnya. Sungguh apes sekali nasib Ranita hari ini. Setelah ketahuan menguping saat di perpustakaan tadi, kini ia dikejar oleh kakak kelas yang sangat gadis itu benci.
Namun, sayang langkahnya terpaksa berhenti ketika sang kakak kelas bermata tajam tersebut meraih lengannya. Berusaha melepaskan diri, tetapi kini posisi Ranita mulai terpojok ketika Reynard mendorongnya tepat di bawah tangga.
"Ngapain pake lari, sih? Larimu itu lumayan cepet, loh, sampe aku capek."
Dengan sekuat tenaga, Ranita berusaha melepaskan genggaman tangan Reynard yang ada di pundaknya. Namun, semua terasa sia-sia karena tenaga gadis itu tak sebanding dengan sang kakak yang ada di hadapannya.
"Mas, lepas. Kita lagi di sekolah. Jangan macem-macem."
Dengan bibir yang tertarik salah satu sudutnya, Reynard pun melepaskan pegangan di pundak Ranita. Tentu saja gadis itu langsung melepaskan diri dan berusaha untuk kabur. Namun, suara berat kakak kelasnya membuat Ranita menghentikan langkah.
"Silakan, kamu kalau lupa sama yang pernah aku bilang waktu itu, silakan pergi. Tapi, tanggung resikonya, ya?"
Tanpa sadar, bulir keringat dingin mulai membanjiri pelipis Ranita. Tulang belulangnya seolah dilolosi satu persatu, terasa lemas hingga untuk menopang tubuh untuk berdiri rasanya tak sanggup. Melihat hal tersebut, alhasil Reynard menarik Ranita yang memunggunginya. Namun, berbeda dengan beberapa menit lalu, kini ia menarik lengan adik kelasnya itu secara lembut.
Hingga akhirnya, Ranita pun terpaksa menurut. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa berlari dengan cepat. Andai bisa secepat kilat dalam berlari, Ranita pasti akan lolos. Bahkan, Reynard sangat pintar memilih tempat sepi. Sekalipun ada orang yang lewat, sedikit kemungkinan bahwa mereka akan peduli. Apalagi mereka kini tengah berdiri di bawah tangga.
Jikalau Ranita berteriak meminta tolong, tentu saja ia dapat didengar oleh beberapa orang di sekitar. Namun, Ranita sadar diri bagaimana pengaruh Reynard di sekolah ini. Berani macam-macam dengan pemuda itu, sama saja dengan bunuh diri secara tak langsung. Image kakak kelasnya yang satu ini sangat baik. Jadi mana ada orang yang akan percaya dengannya? Gadis pendiam dan bagaikan remahan rengginang di sekolah ini.
"Mas, mau ngapain? Tolong, Mas. Ini lagi di sekolah." Ranita masih tak menyerah meski tubuhnya terasa kaku karena kekangan Reynard yang lembut.
Tidak, bukan karena pemuda itu memegang lengannya yang membuat Ranita terkekang. Sebab Ranita yakin, dengan sekali hentakan, pegangan tersebut akan bisa terlepas. Akan tetapi, yang mengekangnya adalah ... ancaman Reynard!
"Hei, ngapain sampe pucet kayak gini, sih? Aku cuma mau minta tolong. Bentar aja." Secara perlahan Reynard mendekatkan wajahnya ke arah Ranita yang membuat gadis itu spontan memundurkan kepala.
"Simpel aja, kok. Nanti kalo Fernando ke sini, berlagak aja kamu kayak ketakutan gitu. Eh, nggak usah, deh. Kamu sekarang aja keliatan takut. Iya, kan?"
Mendengar nama teman sebangkunya terlontar, sontak saja membuat Ranita tertegun. Ia mulai merasakan hal tak mengenakkan akan terjadi sebentar lagi.
"Aku yakin, pasti Nando bakal lewat sini. Dan aku yakin, beberapa menit lagi dia bakal langsung keluar dari perpus. Dia memang ke sana niatnya bukan baca buku, kok. Hebat, kan, aku bisa tau semuanya?" Ranita masih saja terdiam dan membiarkan pemuda di hadapannya terus berbicara.
"Orang lain kalau lihat posisi kita sekarang ini pasti bakal biasa aja dan nggak peduli, tapi beda kalau Nando yang lihat. Karena emosinya gampang banget kupancing tadi, jadi setelah ini aku yakin kalau dia bakal ngehajar aku."
Netra Ranita langsung terbelalak lebar. "A-apa maksudnya?"
"Nggak usah tanya maksudnya, nanti kalau dia ngehajar aku, kamu cukup teriak dan pura-pura pingsan. Oke? Aku yakin kamu bisa banget, kok, pura-pura pingsan. Karena kamu pernah akting kayak gitu dulu waktu kuajak main bareng, kan?"
Mendadak saja seluruh tubuh Ranita terasa bergetar. Ia sungguh tak habis pikir dengan kakak kelas di hadapannya ini.
"Gila!"
"Kalau nggak mau ikut skenarioku, ya, terserah. Tinggal tunggu aja tanggal mainnya, nasib Nando bakal sama kayak papanya. Bahkan lebih parah."
Baru saja gadis berbulu mata lentik itu mencerna ucapan Reynard barusan, secara tiba-tiba terdengar sebuah teriakan penuh umpatan yang diiringi suara gebukan keras. Netra Ranita terbeliak lebar dan tanpa sadar ia berteriak keras.
Namun, di detik itu pula, ancaman Reynard langsung terngiang-ngiang di pikirannya. Hingga ia pun dengan sangat terpaksa mengikuti skenario bejat yang dibuat oleh sepupu Nando itu.
Berpura-pura pingsan.
🎭🎭🎭
"M-maaf, Ndo. Aku ... aku terpaksa." Ranita tak dapat menahan lagi seluruh rasa gundahnya. Bahkan ia tak peduli telah membongkar alasan mengapa dirinya memberikan kesaksian palsu. Ranita hanya tak ingin Fernando nekat bunuh diri.
Di sisi lain, pemuda bernetra tajam itu tertegun mendengar seluruh penuturan gamblang dari gadis di hadapannya. Mendadak saja rasa amarah menyeruak hebat. Tak dapat dipungkiri, kini emosi Fernando telah mencapai puncak hingga ia tak dapat menahannya lagi.
Alhasil, Fernando pun jatuh terduduk sembari menjambak kuat surai lebatnya. Ranita yang melihat hal tersebut sontak terkejut dan ikut duduk di hadapan sang teman sebangku.
"N-Nando ...."
"Berengsek, cowok bejat! Nggak punya hati!"
Meski tertegun mendengar seluruh sumpah serapah yang keluar begitu saja dari labium Fernando, Ranita masih tetap diam dan memandang sendu pemuda di hadapannya yang kini sangat kacau.
"Aku minta maaf, Ndo. Maaf, aku sangat terpaksa. Maafin aku, Ndo. Kamu boleh marah sama aku, diemin aku. Aku nggak masalah, asal kamu jangan ngelakuin itu ...." Fernando pun menghentikan aktivitas menjambak rambutnya ketika mendengar ucapan Ranita. Secara perlahan, kepala pemuda itu terangkat dan dia dapat melihat dengan jelas netra Ranita yang semakin memerah. Sudah tak terhitung pula berapa tetes air mata yang keluar serta membasahi pipi gadis tersebut.
"Jangan bunuh diri, kumohon ...." Jeda beberapa detik. "Kalau kamu nggak mau Mas Reynard semakin seenaknya sendiri, tolong jangan lakukan itu. Karena dia pasti akan merasa menang dan ... siapa yang mau bantu aku buat ngungkapin kejahatannya?"
Fernando tertegun sesaat. Mendadak ia seperti ditampar ketika mendengar ucapan Ranita. Bahkan Fernando semakin skakmat ketika gadis tersebut melanjutkan ucapannya. "Bukannya kamu sendiri bilang bunuh diri itu nggak baik? Kamu bahkan ngelarang aku ngelakuin itu ...."
Mendadak saja perasaan pemuda itu berkecamuk. Ia ingat, dan sangat ingat ketika dirinya khawatir setengah mati saat mendengar Ranita akan bunuh diri. Bahkan dengan gaya sok bijak, Fernando pun menasehati Ranita bahwa hal tersebut tak baik. Namun, sekarang ... mengapa ia melakukan hal yang sama?
"Seandainya Mas Reynard nggak buat ancaman yang nyangkut pautin kamu, aku nggak bakal nurutin dia dan pastinya nggak bakal peduli. T-tapi ... pikiranku kacau waktu itu, Ndo." Ranita pun menjeda ucapannya, lalu memegang pundak Fernando dengan lembut yang membuat pemuda itu sedikit tersentak. "Dia ngancem mau bunuh kamu, gimana aku bisa pura-pura nggak tau apa-apa? Aku selama ini sudah kenyang sama semua ancamannya, dan aku tau semua ancaman itu selalu terbukti. Aku cuma nggak mau apa yang dia ancamin ke aku bakal terjadi."
Fernando menghela napas pelan, setelah itu ia sedikit melebarkan senyum. Sebuah senyum yang sangat tulus. "Kamu nggak perlu ngerasa takut sama ancaman itu, Ran. Percaya, deh, aku bisa jaga diri. Kamu mau, kan, janji bakal bantu aku?"
Ranita menggeleng kepalanya pelan yang membuat Fernando sontak mengernyitkan dahi. "Aku bukannya nggak percaya kamu bisa jaga diri, tapi aku takut-"
"Dan kamu pikir dengan nurutin dia, semua bakal selesai?" Gadis itu pun terdiam.
"Abaikan semua ancaman dia, aku nggak apa-apa. Justru kalau kamu nurutin dia, itu sama aja kamu secara nggak langsung mau bunuh aku." Degup jantung Ranita seolah berhenti saat itu juga. Tanpa basa-basi, ia pun langsung memeluk tubuh Fernando dengan kuat yang membuat pemuda itu terkejut.
"Aku minta maaf, Ndo."
Fernando pun tersenyum tipis, lalu melepaskan pelukan Ranita dengan pelan. "Ayo turun. Aku mau ke masjid."
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan ada sepasang netra tajam menatap dua insan beda gender itu dengan pandangan intens.
🎭🎭🎭
Hanya mengingat Tuhan di saat merasa sulit.
Entah mengapa, secara tiba-tiba kalimat tersebut terlintas begitu saja ketika Fernando berdiam diri sejenak di masjid. Ia tadi sengaja solat duha untuk menenangkan pikirannya yang sangat kacau. Sungguh, pemuda itu sangat berterimakasih pada Ranita. Jika tidak ada gadis tersebut, sudah pasti hidupnya akan berakhir mengenaskan dan sia-sia.
Meski tak mengeluarkan air mata, Fernando menangis dan meraung keras dalam hati. Ia benar-benar merasa sangat bersalah kepada sang Pencipta karena hanya mengingat-Nya di kala sulit belaka.
Sudah tak terhitung berapa kali Fernando menarik dan menghela napas dengan perlahan. Ia hanya ingin menenangkan diri. Meski dari dalam masjid ini Fernando masih mendengar suara ramai dari arah lapangan.
Setelah beberapa menit bergumul dengan kesepian, pemuda itu memutuskan untuk beranjak dari posisinya lalu melangkah ke luar masjid. Ia berniat untuk pergi ke taman belakang sekolah saja. Pihak sekolah pun tak peduli jika ada seseorang yang absen untum mengikuti acara Goes to HUT SMA tersebut. Oleh karena itu, Fernando merasa tidak masalah jika dia duduk-duduk santai di taman belakang sekolah.
Namun, ketika langkahnya melewati sebuah lorong menuju gudang belakang, indra rungu pemuda tersebut tak sengaja mendengar sebuah suara lirih. Alhasil Fernando pun mulai sedikit mendekat ke sumber suara sebab ia sangat tak asing dengan suara tersebut.
"Inget, jangan lupa nanti jam delapan malem!"
Mendadak saja pikiran Fernando yang tenang tadi berbalik menjadi sangat kesal. Pemuda itu paham, apa yang akan dilakukan kakak sepupunya malam nanti. Bukankah ia pernah memergoki Reynard pada malam itu?
"Memangnya kenapa, Mas?"
"Jangan banyak nanya, nurut aja!"
"Di mana, Mas? Aku lupa tempatnya."
"Hish, cepet catet tempatnya. Jangan lupa lagi."
Dan di saat itu pula, Fernando mendengarkan dengan baik-baik nama tempat yang disebut oleh Reynard. Mendadak saja ia memiliki sebuah ide brilian.
🎭🎭🎭
To be continued ....
Wah, Fernando ngerencanain apa, nih? Sedikit spoiler, di bab selanjutnya bakal ada adegan yang menegangkan, loh. Apa itu? Tunggu up selanjutnya! 👀
Terima kasih teruntuk kalian yang sudah membaca kisah Fernando.
Jangan lupa tinggalkan jejak positif serta share jika kalian suka kisah ini, ya.
Borahae all 💜💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top