• EKA - New School •

Ketika melakukan sesuatu secara terpaksa ternyata sangat tidak mengenakkan, ya?

🎭🎭🎭

Andika

Bro, sdh seminggu km pindah dr Surabaya. Gmn di Malang?

Fernando mengembuskan napas lelah saat membaca pesan dari sebuah aplikasi bernama Line. Benar, ini adalah hari kelima dia pindah dari Surabaya ke Malang atas permintaan sang Papa. Sebenarnya Nando enggan menuruti permintaan pria yang berjasa membesarkannya ini. Namun, melihat permohonan sungguh-sungguh dari beliau, alhasil Fernando terpaksa menurut untuk pindah ke Malang dan tentu saja pindah sekolah.

Serta terpaksa berpisah dengan sahabat setianya di Surabaya.

Fernando

Baik² aja. Km di Surabaya gmn?

Tanpa menunggu balasan pesan dari sang sahabat, Fernando langsung meletakkan ponsel ke dalam saku celana, lalu mencangklong tas ransel yang ada di kasur ke kedua bahunya. Selepas itu, tapak kakinya mulai melangkah keluar kamar dan akan berjalan menuju halaman depan rumah.

"Kamu sudah sarapan, Ndo?" Fernando terpaksa menghentikan langkah dan menoleh ketika seseorang memanggil namanya saat melewati ruang makan. Menyadari siapa yang baru saja menegurnya, lelaki itu spontan mendengus kecil.

"Belum, Pa." Bukannya mendatangi ruang makan untuk segera sarapan bersama sang papa, Fernando justru meneruskan perjalanan menuju halaman depan rumah selepas membalas pertanyaan papanya.

"Eh, Nando. Mau ke mana? Katanya belum sarapan, kenapa malah mau keluar? Sini sarapan dulu." Fernando terpaksa menghentikan langkahnya lagi saat terdengar interupsi dari sang papa. Ia pun berbalik dan terdiam sejenak.

"Kok diem di situ? Ayo sini, Ndo. Sarapan dulu," ajak sang papa yang masih belum menyerah. Fernando mulai menarik sebelah sudut bibirnya dengan pelan sembari mengeluarkan jawaban yang membuat sang papa terkejut.

"Aku sarapan di sekolah aja, Pa. Lagi nggak nafsu makan sekarang." Selepas itu, ia melanjutkan lagi langkahnya menuju keluar rumah. Tentu saja hal tersebut membuat Bagas—papa Fernando—merasa geram dengan sikap anaknya yang dianggap kurang sopan. Padahal sebelumnya Fernando masih menurut pada titah Bagas, entah apa yang telah terjadi pada pemuda tersebut.

"Kamu sekarang mulai berani bantah Papa, ya? Apa susahnya, sih, makan di sini? Kamu nggak usah beli, makanan sudah tersedia buat kamu." Jeda sejenak, Bagas mulai menyadari sesuatu. "Kenapa? Kamu masih marah karena nggak suka sama keputusan Papa buat pindah ke sini?"

Tak hanya Bagas, Fernando pun mulai ikut tertular rasa geramnya saat mendengar ujaran dari pria di hadapannya, yang telah berjasa membuat dirinya hadir dalam dunia ini. Tanpa banyak bicara, ia berbalik menghampiri sang Papa yang—sangat—ia hormati tersebut. Selepas itu, tangan Fernando yang terlingkari oleh sebuah jam digital berwarna hitam pun mulai terulur ke hadapan Bagas.

"Ngapain tanganmu kayak gitu? Nggak ada uang? Minta uang saku buat beli makan di sekolah?" tanya Bagas dengan perasaan pongah. Sebab ia mengira bahwa Fernando akan menyerah dan ikut sarapan bersamanya.

Namun, dugaan Bagas justru salah kala Fernando mulai menarik tangannya, yang kemudian didekatkan pada kening pemuda tersebut. Rupanya ia hanya ingin berpamitan dengan mencium tangan sang papa sebelum berangkat sekolah.

"Aku mau pamit ke sekolah. Berangkat dulu, Pa." Selepas itu, Fernando berjalan pergi meninggalkan Bagas yang terbengong-bengong dengan kelakuan anaknya. Pria yang kini berusia kepala empat tersebut sontak mengembuskan napas lelah, lalu menggelengkan kepala dengan lemah. Semakin lama, sang anak mulai berubah. Lebih tepatnya, setelah tragedi yang tak diinginkan terjadi beberapa bulan lalu. Padahal Fernando adalah pemuda yang sangat penurut dan tak pernah membantah. Namun, sekarang, lambat laun ia tampak mencoba untuk tidak menuruti semua ucapan Bagas.

🎭🎭🎭

Beberapa hari yang lalu.

"Oh, jadi kamu anak baru yang namanya Fernando itu, ya?" Pemuda berusia tujuh belas tahun itu pun hanya menunduk dalam kala pria yang ada di hadapannya memandang lelaki tersebut dari atas ke bawah. Sejujurnya ia agak risih ditatap seperti itu. Namun, demi menjaga kehormatannya terhadap orang yang lebih tua, serta berusaha menjaga nama baiknya sebagai siswa baru di SMA Pelita Jaya Malang, ia memilih untuk diam dan membiarkan saja pria yang ada di hadapannya terus memandang lelaki itu.

"Iya, Pak. Saya Fernando Putra." Pria paruh baya tersebut langsung manggut-manggut setelah mendengar jawaban dari suara bariton Nando. Selepas itu, ia menatap kertas yang berada di genggamannya.

"Saya Gunawan, dan saya yang akan menjadi wali kelasmu mulai hari ini sampai seterusnya selama kamu kelas sebelas. Ayo ikut saya masuk ke kelas barumu." Fernando mengangguk dan menuruti titah guru yang bernama Gunawan tersebut.

Suara derap langkah kakinya mulai mengisi kelengangan di lorong SMA Pelita Jaya pada saat ini, salah satu SMA swasta yang terletak di Kota Malang. Sepertinya sekarang kegiatan belajar mengajar pada jam pertama sudah dimulai. Wajar saja jika lorong yang seharusnya menjadi tempat yang tepat untuk nongkrong para siswa tampak sepi tak bertuan.

Suasana sekolah ini cukup berbeda dengan suasana sekolahnya dulu. SMA D Surabaya—tempat Fernando bersekolah sebelumnya—termasuk salah satu sekolah paling elit seantero Surabaya. Dulu, papa Fernando termasuk penyumbang dana terbesar di sekolah itu. Tentunya sekolah tersebut tampak megah dengan segala fasilitas yang sangat lengkap dan pastinya berkualitas bagus di atas rata-rata.

Akan tetapi, tak urung pula bahwa mayoritas dari beberapa siswa di SMA D membuat circle sendiri, serta merendahkan siswa maupun siswi yang tidak termasuk dalam gengnya hanya karena mereka merasa sebagai kaum berduit dan berkuasa. Dengan kata lain, pem-bully-an! Hal yang tentu saja sangat mengusik Fernando si penjujung tinggi keadilan. Walaupun begitu, dia tetap merasa nyaman di sekolahnya dulu sebab Nando beruntung telah memiliki sahabat yang baik.

Namun suatu hari, Bagas secara tiba-tiba meminta Fernando untuk segera mempersiapkan diri untuk pindah tempat tinggal sekaligus pindah sekolah ke Malang. Meski mengetahui apa yang membuat sang papa memintanya untuk pindah, tetapi Nando tetap merasa tak terima dengan alasan Bagas. Tanpa pemuda itu sadari, ia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.

"Kamu kenapa, Nak? Kok geleng-geleng kepala gitu? Lagi pusing?" Fernando tersentak saat mendengar teguran dari Pak Gunawan. Sontak ia langsung menunduk malu.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya masih sehat." Selepas itu, Fernando menatap sekelilingnya. Jika dulu ia merasakan suasana sekolah yang sangat megah dan luas, kini yang ia rasakan justru berbanding terbalik.

Bukan bermaksud menghina, tetapi jika dilihat, dinding-dinding sekolah ini sepertinya tampak tak terurus. Fernando akui, sekolah barunya terlihat cukup luas. Akan tetapi, suasana sekolah ini benar-benar tampak seperti sekolah yang sangat lama tak ditinggali. Bahkan semen pada lapangan yang sempat ia lewati tadi terlihat usang. Padahal jika sedikit diperbaiki ataupun dicat ulang, sekolah tersebut pasti sangat indah.

Saat asyik menatap sekitar, langkah Fernando terpaksa berhenti saat tidak lagi mendengar derap sepatu dari Pak Gunawan. Ia terdiam sejenak ketika berhenti di sebuah kelas yang di atasnya terdapat plang cokelat yang di ujung sebelah kanannya tampak pudar. Plang tersebut bertuliskan XI MIPA 4. Sesuai yang sempat disinggung oleh Pak Gunawan sebelumnya, Fernando akan ditempatkan di kelas ini. Lelaki itu menarik napas pelan, lalu mengembuskannya dengan berat. Seolah apa yang akan ia lakukan nanti menjadi sebuah beban besar untuknya.

"Kamu sudah siap menemui teman barumu dan belajar di sekolah ini?" Pertanyaan Pak Gunawan seolah berlalu begitu saja dari Fernando. Namun, lagi-lagi demi menjaga rasa sopan dan hormatnya terhadap orang yang lebih tua, Fernando terpaksa mengangguk.

Sejujurnya, dia masih belum siap dan—sangat—tidak ingin bersekolah di sekolah barunya ini. Fernando masih belum sepenuhnya rela pergi meninggalkan sekolah lamanya dan beradaptasi dengan lingkungan baru.

"Tunggu apa lagi? Ayo masuk, Nak." Fernando pun mengangguk lagi dan mulai mengekori Pak Gunawan yang masuk ke kelas XI MIPA 4.

Suasana kelas tersebut sangatlah ramai. Sebenarnya Fernando sudah mendengar suara riuh rendah dari siswa-siswi di sekolah itu sepanjang ia berjalan melewati beberapa kelas. Namun, ketika langkah Pak Gunawan memasuki kelas XI MIPA 4, semua siswa yang ada di dalam sontak terdiam dan kelas seketika hening tak bertuan. Seolah tak pernah terjadi apapun sebelumnya.

Beberapa dari mereka mulai berbisik saat Fernando mulai masuk ke kelas itu. Terutama para siswi yang sepertinya sangat terpana dengan wajah rupawan milik Fernando. Akan tetapi, lelaki itu cuek dan berusaha tak peduli dengan tatapan-tatapan khas para siswa ketika melihat siswa baru.

"Mungkin kalian sudah mendapatkan info bahwa di kelas kalian akan ada siswa baru, dan ini," Pak Gunawan sedikit mendorong Fernando yang berada di sampingnya ke arah depan, "adalah teman baru kalian. Silakan perkenalkan diri dulu, Nak—"

Suara Pak Gunawan sontak terinterupsi kala suara gesekan sepatu yang berdecit mulai terdengar mendekati ujung pintu kelas XI MIPA 4. Saat sang sumber suara mulai masuk ke dalam kelas, sontak pemilik derap sepatu berdecit itu terbelalak melihat kehadiran seorang lelaki asing di dalam kelasnya yang tampak berdiri di samping sang wali kelas.

Yah, mungkin dengan sedikit pandangan terpana.

🎭🎭🎭

To be continued ....

Terima kasih teruntuk kalian yang sudah membaca kisah Fernando.

Jangan lupa tinggalkan jejak positif serta share jika kalian suka kisah ini, ya. Kalau ada kritik dan saran, boleh banget disampaikan~

Borahae all 💜💋

©putriaac

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top