• EKA DWIDASA - Shocked •

EKA DWIDASA - DUA PULUH SATU
« Shocked »

~~~

Selamat Membaca!!!

🎭🎭🎭

Langkah Fernando semakin berpacu cepat, diiringi degup jantung yang tak henti-hentinya berdegup kencang. Bulir keringat kian mengalir deras di pelipisnya, bahkan netra pemuda tersebut mulai berkaca-kaca. Meski begitu, sekuat mungkin ia menahannya dengan berulang kali merapalkan kalimat dalam hati.

Aku cowok, nggak boleh nangis. Harus kuat.

Namun, tak urung pula perasaan Fernando kini campur aduk, terlebih saat menerima telepon dari ponsel sang Papa beberapa jam lalu. Rupanya yang menelpon tadi bukanlah Bagas, tetapi seseorang yang mengaku melihat papanya pingsan di pinggir jalan setelah mengalami kecelakaan. Tentu saja sebagai anak, ia merasa sangat cemas.

"Kamu Fernando, kan? Anaknya Bagas?" Pemuda itu yang awalnya kebingungan mencari ruangan Bagas langsung menoleh saat seseorang menepuk bahu bidang Fernando. Rupanya orang itu adalah seorang pria yang memakai seragam polisi.

"Iya."

"Kalau gitu, ikut Om sini. Om tunjukkin ruangan papamu"

Fernando pun menurut, lalu mengikuti ke mana arah langkah pria muda yang memanggilnya tadi pergi. Namun, di lain sisi, pemuda tersebut merasa tak asing dengan pria itu.

Setelah beberapa menit berjalan melalui lorong rumah sakit, mereka berdua pun berhenti di depan sebuah ruang rawat. Pria yang memanggil Nando tadi langsung menoleh ke pemuda tersebut.

"Ayo masuk. Papamu ada di dalem." Fernando mengangguk, lalu mulai melangkah masuk saat kenop pintu ruang itu dibuka oleh pria tersebut.

Dan dapat ia lihat, pemandangan sang Papa yang tengah terlelap di atas kasur dengan kaki kanan di-gips. Fernando berjalan pelan menuju Bagas yang masih memejamkan mata.

"Papamu sudah lumayan baikan, Nak. Kata dokter, penyambung tulang betis sama tulang kering kanannya patah, tapi sekarang sudah tertangani. Papamu pingsan tadi karena kemungkinan syok habis jatuh. Cuma ...."

"Cuma kenapa, Om?"

"Papamu kemungkinan belum bisa jalan."

"A-apa?"

"Tapi, tenang aja, Fernando. Kalau dilatih dan diterapi terus, nanti papamu bisa jalan seperti semula. Yang sabar, ya." Netra Fernando mulai memerah saat mendengar ucapan pria di sampingnya, bahkan cairan bening tampak mengambang di pelupuk mata. Namun, sebisa mungkin ia menahan agar air matanya tak mengalir. Dengan langkah perlahan, Fernando berjalan menuju ranjang Bagas dan menatap sang Papa yang netranya masih terpejam.

"Oh, iya. Om belum memperkenalkan diri, ya, tadi?" Fernando spontan menoleh saat pria tersebut berbicara lagi.

"Nama Om, Wildan. Panggil aja Om Wildan. Om teman sekolah papamu dulu. Kita pernah ketemu sebelumnya, masih ingat?"

🎭🎭🎭

Pemuda berusia nyaris sembilan belas tahun itu mengembangkan senyum ketika menatap gadis cantik yang berada di sampingnya. Mata lentik itu tampak terpejam rapat dengan kantung mata berwarna hitam yang menghiasi area sekitar netra. Perlahan, pemuda tersebut mengelus lembut surai panjang berwarna hitam legam itu yang kini berantakan karena ulahnya tadi.

"Ranita ... Ranita. Kasihan banget cewek cantik kayak kamu harus tinggal sama ayah tiri yang bejat. Seandainya bisa, aku pasti dengan senang hati bakal nemenin kamu tiap malem."

Pemuda itu tersenyum simpul ketika mendengar deru napas Ranita yang masih teratur, menandakan bahwa gadis tersebut telah terlelap dan terbawa ke alam mimpi. Matanya yang tampak sedikit sipit kian menajam menatap gadis bernetra sayu itu. Namun, aktivitas memandangi Ranita selama beberapa menit terpaksa berhenti saat terdengar suara ringtone ponsel yang berada di atas nakas.

Pemuda tersebut menatap sekilas siapa yang menghubunginya malam-malam seperti ini. Tarikan bibir manis itu kian melebar ketika mengetahui bahwa subjek yang menelponnya sesuai dengan dugaan. Bahkan, tarikan labium itu kini kian menyeringai dan tampak menyeramkan.

"Halo?"

"..."

"Sudah beres?"

"..."

"Tapi, dia nggak sampai mati, kan? Masih hidup?"

"..."

"Kamu nggak sampai ketahuan, kan, tapi?"

"..."

"Bagus, sebentar lagi bakal kutransfer. Awas kalau sampai kesebar ke mana-mana. Kamu bakal dapat akibatnya!"

"..."

"Oke."

Seringaian menyeramkan itu tak luntur sejak beberapa menit lalu, bahkan hingga saat ini. Pemuda tersebut terkekeh pelan sembari menatap layar hitam persegi panjang di genggamannya, hingga membuat netra tajam itu menyipit dan membentuk sebuah lengkungan sabit di bibir.

"Apa kubilang? Mana pernah aku ngasih ancaman kayak bocah? Nando ... Nando. Apes banget, sih, nasibmu dari kecil sampe sekarang."

Seringaian yang bertahan lama itu akhirnya luntur juga. Lengkungan sabit yang tercipta tadi kini kembali menajam dan semakin memperkuat sorotnya.

"Tenang aja. Nasibmu bakal kubuat semakin apes habis ini, Ndo. Tinggal tunggu tanggal mainnya!"

Baru saja ia selesai bergumam, suara dering ponsel yang berada di atas nakas mulai terdengar lagi. Mau tak mau, pemuda bernetra tajam itu mengangkat panggilan pada benda pipih tersebut.

"Ya, Ma? Kenapa?"

"..."

"Iya, ini mau tidur, Ma."

"..."

"Sudah kukunci pintu rumah sama pager."

"..."

"Oh, besok malam Mama sama Papa pulang? Oke."

"..."

"Siap, Ma."

Ketika sambungan telepon tersebut telah terputus, seringaian di labium milik Reynard kian mengembang. Kini, pemuda itu menatap seluruh sudut kamarnya dengan perasaan membuncah. Namun, beberapa menit kemudian, ia menatap kembali Ranita yang terlelap di sampingnya.

"Kamu dan Nando rupanya sama aja, gampang dipancing emosinya. Tapi, nggak apa. Kalau kamu lebih pakai akalmu, kita nggak akan bisa bersenang-senang!"

🎭🎭🎭

Netra yang cukup lama terpejam itu akhirnya telah terbuka. Kelopak mata pria tersebut tampak mengedip-ngedip sejenak, lalu tak lama kemudian ia merasa ada sesuatu yang berat mengganjal tangannya. Ketika sedikit menoleh ke arah kanan bawah, dapat ia lihat wajah damai sang anak yang tampak terlelap. Bagas juga baru menyadari bahwa kantung mata Fernando terlihat begitu jelas. Sang anak tertidur di sampingnya dengan posisi duduk dan kepala bersandar di ranjang Bagas.

Selepas itu, netra pria tersebut beralih ke seluruh sudut ruangan yang ia tempati saat ini. Bagas baru menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit. Ketika memandang jam dinding yang ada di sana, jarum panjangnya mengarah ke angka sembilan, sedangkan jarum pendek kian beranjak menuju angka tiga. Dengan sedikit melirik jendela kamar rawatnya, cakrawala masih terlihat petang. Sepertinya sekarang akan menuju subuh.

Dengan perlahan, Bagas menarik tangan yang berada di genggaman Fernando, selepas itu mulai mengelus lembut surai bergelombang milik sang anak.

"Ndo ... bangun, Nak!" Karena merasa terusik, Fernando pun mengerjapkan mata dan terkejut saat menyadari sang Papa rupanya sudah sadar.

"Ah, Papa udah bangun. Bentar." Pemuda berusia delapan belas tahun itu pun bangkit, lalu mulai menekan tombol yang berada di dekat ranjang Bagas untuk memanggil dokter.

"Kamu ngapain di sini? Kok nggak tidur di rumah aja." Mendengar pertanyaan Bagas, kontan saja Fernando mengerutkan dahi. Ia tak senang dengan pertanyaan sang Papa barusan.

"Terus, yang jagain Papa siapa? Masa Papa aku tinggal sendirian di sini?"

Bagas pun menghela napas pelan, lalu melanjutkan ucapannya, "Kan, ada dokter sama perawat. Lagian kamu habis ini sekolah. Cepet pulang, nanti terlambat berangkatnya."

Fernando langsung menggelengkan kepala dengan kuat. "Aku nanti izin aja, Pa."

Mendengar negosiasi dari sang anak, Bagas langsung melototkan mata pada Fernando hingga membuat nyali pemuda tersebut kian menciut.

"Nando!"

"I-Iya, Pa. Tapi, agak nanti, ya, Pa? Abis solat subuh, deh. Aku masih agak ngantuk, takut nggak konsen waktu pulang nanti." Bagas sontak tertegun ketika Fernando menyelesaikan ucapannya. Mendadak saja ia teringat bahwa dirinya mengalami kecelakaan mungkin karena agak mengantuk, sehingga Bagas menyetujui saja keinginan Nando barusan. Pria itu tak ingin apa yang ia alami semalam terjadi pula pada sang anak.

Namun, Bagas tak menyadari bahwa kecelakaan yang dialaminya bukan sebuah skenario spontan, tetapi terencana.

🎭🎭🎭

To be continued ....

Maaf, yaa. Tadi aku unpub karena aku ngerasa part ini kepanjangan. Jadi aku sengaja bagi duaa. Part ini juga ada lanjutannya yang bagian Fernando di rumah sakit.

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya 😔

Terima kasih teruntuk kalian yang sudah membaca kisah Fernando.

Jangan lupa tinggalkan jejak positif serta share jika kalian suka kisah ini, ya.

Borahae all 💜💋

©putriaac ~ Alma Alya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top