• DWI DASA - Di Balik Tabir •

DWI DASA - DUA BELAS
« Di Balik Tabir »

~~~

Selamat Membaca!!!

🎭🎭🎭

Fernando tersentak saat menguping pembicaraan Reynard dan seorang siswa yang ia duga masih kelas XI atau kelas X. Suasana gang tersebut sangat sepi dan tidak tampak orang berlalu lalang di sana, sehingga tak salah bila pemuda tersebut dapat mendengar dengan jelas seluruh percakapan Reynard dan siswa itu.

Hah? Apa katanya? Sabu? Penjualan? Bagi hasil? Dia bertransaksi narkoba?

Fernando sangat tertegun mendapatkan fakta tersebut. Dia memang tau bahwa sang sepupu memiliki berjuta tabiat buruk dan selalu menyembunyikannya di balik topeng pencitraan. Namun, ia sungguh tak menyangka bahwa Reynard ternyata jauh lebih bejat dari bayangannya.

Bagaimana bisa dia memaksa orang untuk berjualan narkoba, hah? Berengsek banget!

“I—iya, Mas. Aku memang punya masalah ekonomi, tapi aku nggak mau kayak gini. Gimana kalau aku ketahuan?”

“Ya, makanya hati-hati! Otak itu dipake, jangan dibuat males-malesan. Jadinya bego, kan? Susun siasat gimana caranya jual ini tanpa ketahuan!”

“Tapi, aku nggak mau ....”

“Kamu kira hidupmu bakal nyaman dengan ekonomi rendah? Nggak lihat Adrian waktu itu? Dia bunuh diri karena nggak nurut sama aku! Dia tertekan sama keadaan ekonominya. Coba aja kalau nurut, pasti dia bisa hidup tentram. Jadi ... kamu tinggal pilih, hidup berakhir seperti Adrian, atau hidup tentram?”

Fernando semakin kaget ketika mendengar Reynard menyebut nama ‘Adrian’. Mendadak saja, pemikirannya dipenuhi oleh spekulasi negatif terhadap sepupunya ini.

“Ad—Adrian?”

“Iya, Adrian yang loncat dari lantai tiga itu. Dan ... oh, kamu kira aku nggak tau, hah?”

Selepas itu, terdengar suara gaduh, seperti memperebutkan sesuatu.

“Mas—Mas ... kembaliin handphone-ku!”

“Kamu kira aku nggak tau kamu diam-diam ngerekam pembicaraan kita?” Setelah menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba muncul suara benda pecah karena terhantam sesuatu.

“Mas ... itu ... itu—”

“Aku bakal ganti handphone-mu kalau kamu nurutin aku. Gimana?” Terjadi keheningan sebentar di antara mereka.

“Mas ... bohong, kan, bilang kalau Adrian bunuh diri karena nggak nurutin permintaannya Mas Reynard? Dia justru tertekan karena nyaris ketahuan polisi, kan?”

“Wah ... ternyata ember juga si Adrian. Ya, itu karena kecerobohannya sendiri, sih. Coba kalau lebih hati-hati, dia pasti nggak bakalan merasa buntu cari jalan keluar biar nggak ketangkap polisi. Makanya, pikiran, tuh, harus jernih kalau hadapin masalah. Sudahlah, kamu pokoknya harus nurutin aku.”

“Maaf, Mas. Aku—”

Secara tiba-tiba, ucapan siswa tersebut terhenti dan digantikan dengan suara gebukan yang cukup keras. Setelah itu, suara pukulan demi pukulan terus mengambang ke udara. Fernando mulai geram dengan itu semua. Ia pun memutuskan untuk segera masuk ke gang tersebut. Namun, langkahnya terhenti saat suara gebukan tersebut berhenti. Ditambah lagi mendengar Reynard yang nyaris berteriak.

“Aku nggak terima penolakan. Kamu lupa, kalau aku ... tau semua rahasia kelammu yang nggak pernah diketahui oleh orang lain.” Jeda sesaat. “Ibumu pemuas pria hidung belang, kan?”

Fernando sedikit mengintip dari balik tembok. Dapat ia lihat, wajah siswa tersebut tampak babak belur. Bahkan terlihat tertegun setelah mendengar pertanyaan Reynard. Namun, Fernando tak dapat melihat bagaimana wajah sepupunya itu karena Reynard membelakanginya.

“Apa maksudmu? Kamu mengancamku lagi?” Raut siswa itu kini dipenuhi oleh sorot ketakutan. Ia tak peduli dengan wajahnya yang kini dipenuhi banyak lebam nan menyakitkan. Karena apa yang diucapkan Reynard barusan justru jauh lebih membunuh dirinya secara perlahan.

“Bayangkan saja jika kamu tak menurutiku. Lalu, keesokan harinya, banyak orang yang menatapmu dengan rasa benci dan jijik gara-gara tau fakta sebenarnya tentang ibumu. Ck ck ck ... kamu itu aneh banget! Kamu masuk sekolah kita dengan uang haram, tapi bertingkah sok suci dengan nolak tawaranku. Padahal ibumu sendiri jauh lebih menjijikkan.”

Mungkin karena tak tahan ibunya terus dihina oleh sang kakak kelas, tanpa peduli rasa sopan, siswa yang ternyata bernama Arka itu melepaskan genggaman tangan Reynard di kerahnya dan mulai melayangkan sebuah bogem pada orang yang baru saja menghina sang Ibu.

Namun, ia kalah cekatan dengan Reynard. Dengan sigap, pemuda itu menghindari pukulan tersebut, lantas balik menghantam rahang Arka yang membuat adik kelasnya itu tersungkur.

“Aku nggak peduli. Kamu mau nolak tawaranku, silakan, tapi siapkan mentalmu besok. Lihat ini!” Reynard menyodorkan ponselnya yang telah ia operasikan sebelum datang ke gang ini. “Sekali aku pencet ini, wush ... berita tentang ibumu yang menjijikkan itu langsung tersebar luas.”

“Cukup!”

“Berengsek. Berengsek banget kamu. Benar-benar nggak punya hati!” Fernando tak dapat menahan emosinya lagi. Napas lelaki itu mulai memburu seiring wajahnya yang kian merah padam.

Semakin lama Nando mengamati, semakin menguar pula emosi yang kian mendidih di pucuk ubun-ubunnya. Ia tak tahan lagi untuk tak melampiaskan amarahnya pada sang sepupu. Masker yang ia kenakan langsung dilepas begitu saja dan diletakkan ke dalam saku.

Di sisi lain, sosok yang baru saja disumpah serapahi oleh Fernando terkejut begitu menyadari eksistensi lelaki jangkung tersebut—yang rupanya hanya menunjukkan ekspresi palsu.

“Nando?”

“Biadab, kamu. Jadi, kamu penyebab temen-temen kita bunuh diri, iya?” Reynard spontan tersenyum miring, memberikan seringaian yang menyeramkan. Dia seolah tak memedulikan Arka mulai berdiri dan perlahan berjalan meninggalkan mereka. Namun, sebelum itu, Reynard memberikan tatapan tajam sekilas pada sang adik kelas, lalu beralih menatap Fernando lagi.

Dia sebenarnya sadar jika diikuti oleh Fernando sejak tadi.

“Loh, itu, kan, pilihan mereka. Lagian, aku nggak nyuruh mereka buat loncat dari lantai atas atau gantung diri, kok. Apalagi nyayat pergelangan tangannya sendiri.” Fernando tak dapat menahan emosi lagi. Tangan yang berada di samping tubuhnya semakin terkepal kuat. Napas lelaki tersebut pun kian memburu di antara embusan angin malam, seiring dengan raut Fernando yang mulai memerah seperti kepiting rebus.

Namun, tanpa Fernando duga, secara tiba-tiba Reynard berjalan mendekati dirinya sembari mulai menudingkan telunjuk. Insting pertahanan diri Nando spontan bekerja. Ia pun perlahan berjalan mundur.

“Aku beri kamu peringatan! Jangan coba-coba bermain api denganku, atau kamu ....” Reynard menghentikan ucapannya. Sebagai ganti, ia merotasikan telunjuk yang awalnya menuding ke wajah Fernando, lalu beralih bergerak secara horizontal di depan lehernya. Seolah akan menyayat kulit yang melindungi trakea miliknya.

Menunjukkan bahwa ia tak main-main saat memberikan ancaman pada Fernando.

Pemuda itu sontak mendidih di tengah kediamannya. Akan tetapi, dia berusaha untuk terus berpikir jernih.

“Kamu mau ngancam aku? Nggak salah orang?” Kini, giliran Nando yang menyeringai sinis. Dia memandang pemuda di hadapannya dengan tatapan remeh.

Namun, ia tak menduga bahwa Reynard mulai mengepalkan tangan dan tanpa basa-basi langsung menghantam hidung Fernando, yang membuat indra penciuman pemuda tersebut mengeluarkan cairan merah segar.

“Berengsek!” umpat Nando sembari berusaha berdiri.

“Kamu ngira aku ngasih ancaman kayak bocah? Mana pernah aku main-main sama ancamanku?” sindir Reynard dengan menarik salah satu sudut bibirnya.

Karena tersulut emosi, Fernando mulai kalap dan langsung membalas perbuatan sepupunya. Reynard yang sedang dalam posisi kurang siap karena masih diselimuti rasa jemawa langsung tersungkur akibat pukulan Nando di rahangnya. Tentu saja ego Reynard yang setinggi langit tak terima dengan perlakuan sang sepupu.

Alhasil, mereka saling memberikan serangan di tubuh masing-masing lawan, di bawah langit malam, dalam suasana gang sempit yang sunyi, jarang dilewati orang, dan senyap.

Tanpa ada yang mengetahui bahwa dua pemuda berbeda usia satu tahun ini tengah saling adu hantam demi tujuan masing-masing.

🎭🎭🎭

Fernando bersyukur sekolahnya masih belum tutup, sehingga ia bisa langsung mengambil sepeda dan menggowesnya menuju jalan pulang. Tentu saja dengan lebam yang nyaris memenuhi wajah tampannya.

Ketika sampai di depan rumah, perasaannya kian bergemuruh. Terlebih saat menatap lampu teras yang menyala. Dengan perlahan, Fernando membuka pagar pendek rumah barunya, lalu berjalan masuk sembari menuntun sepeda. Setelah kendaraan roda dua itu terparkir dengan sempurna, ia menutup kembali pagar dan berjalan menuju pintu rumah dengan hati yang tak karuan.

Setelah menarik napas panjang, lalu mengembuskan dengan perlahan, Fernando membuka pintu kayu yang ada di hadapannya. Mendadak saja helaan napasnya tertahan kala melihat seorang pria yang tampak siap akan melampiaskan marah. Terlebih lagi ketika melihat rupa Fernando, kepalanya seolah akan meledak saat itu juga.

“Nando! Apa-apaan kamu ini?”

Pemuda bermata tajam itu pasrah saat tangannya ditarik kasar untuk segera masuk ke rumah. Setelah masuk ke ruang tamu, sang Papa langsung mendorong Nando ke sofa hingga pemuda itu jatuh terduduk.

“Pulang larut malem, wajah babak belur. Habis ngapain kamu tadi, hah?”

“Pa—”

“Bagus, ya. Kamu semakin nggak karuan sekarang. Kamu boleh marah karena Papa ngajak kamu ke sini, tapi nggak kayak gini caranya, Nando!”

“Pa, ini Mas Reynard yang mukul—” Ucapan Fernando langsung terhenti saat ia merasakan nyeri di pipinya. Itu semua terjadi akibat sebuah tamparan dari tangan Bagas.

“Masih nggak berubah ternyata. Suka bohong, cari-cari alasan, nyalahin orang lain. Kamu pikir kamu bisa ngerasa aman dengan playing victim?”

Fernando akan membuka mulutnya untuk membela diri, tetapi titah dari sang Papa langsung membungkamnya. “Cepat masuk kamar sama obati sendiri lukamu!”

Ah, percuma! Papa mana pernah percaya sama aku kalau udah bahas Reynard?

Sambil terus menjaga emosinya agar tak meledak, Fernando berjalan masuk ke kamar untuk meletakkan tas. Selepas itu, ia beralih ke dapur untuk mengambil air hangat dan melangkah lagi menuju kamarnya.

Setelah sampai, Nando langsung mengambil handuk kecil di lemari. Sebenarnya Nando tak terlalu tau bagaimana mengobati lebam-lebam ini. Di pikirannya, yang terpenting dia mengompres dulu warna kebiruan serta keunguan di wajah. Ia juga tak yakin apakah lebam ini akan cepat hilang. Sepertinya besok dia izin tak masuk sekolah dulu.

Di tengah kegiatan mengompres, tiba-tiba pemuda itu merasakan lagi sakit yang luar biasa dari hidung, bahkan tampak mengalirkan darah meski tak terlalu banyak. Fernando teringat, Reynard sempat menghantam indra pembaunya ini. Alhasil, ia meninggalkan kamar sembari membawa handuk kecil tersebut. Setelah membuka kulkas, Fernando mengambil beberapa kotak es batu kecil dan menangkupnya dengan handuk itu, lalu mengompresnya ke area hidung.

Dirasa telah cukup meredakan nyeri dan darah sudah tak keluar dari hidungnya, Fernando kembali lagi ke kamar. Dia sempat melirik ke arah ruang tamu

Bagas tampak larut dengan laptop di hadapannya.

Fernando menghela napas lelah, lalu melanjutkan perjalanan ke kamar. Air hangat yang ada di baskom mulai agak mendingin, tetapi pemuda itu masih melanjutkan kegiatan mengompres lebam dengan menghadap cermin kecil yang ia pegang.

Di tengah kegiatannya, netra Fernando tak sengaja menatap sebuah pigura kecil di atas nakas. Pigura yang berisi foto seorang anak lelaki dan seorang wanita yang sangat cantik. Fernando tersenyum melihat foto itu. Namun, sedetik kemudian, ekspresinya berubah.

Pemuda tersebut langsung murung sekaligus merasa miris.

“Mama ....”

🎭🎭🎭

To be continued ....

Ini kejadian yang Fernando ngamuk waktu di prolog. Pada inget? Nah, inilah kelanjutannya.

Buat yang bertanya-tanya, Mama Fernando sebenarnya ada di mana? Kok nggak keliatan? Nanti seiring berjalannya cerita kalian akan paham ^^

Kalian juga boleh membuat spekulasi, kira-kira apa yang sebenarnya terjadi sama mamanya Fernando ini 😂

Terima kasih teruntuk kalian yang sudah membaca kisah Fernando.

Jangan lupa tinggalkan jejak positif serta share jika kalian suka kisah ini, ya.

Borahae all 💜💋

©putriaac ~ Alma Alya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top