• CATUR DWIDASA - Semesta Tak Berpihak •
CATUR DWIDASA - DUA PULUH EMPAT
« Semesta Tak Berpihak »
~~~
Selamat Membaca!!!
🎭🎭🎭
Pipi Fernando mendadak panas saat sebuah telapak tangan besar menyambut kulitnya dengan kasar. Sontak saja perasaan bergemuruh mulai merasuki diri pemuda itu. Alhasil, kepalanya langsung tertunduk begitu dalam, terlebih lagi saat sepasang netra yang ada di hadapan Fernando kian menajam.
"Papa masih nggak nyangka kamu bakal ngelakuin hal senekat ini. Kenapa kamu dorong teman kamu, Ndo? Itu sudah termasuk pembunuhan!" Kepala yang tertunduk itu sontak tersangkat kembali saat tuduhan tak menyenangkan tersebut mulai terlontar. Sungguh, dia tak menyangka bahwa Bagas akan secepat ini mengetahui apa yang terjadi tadi.
Pasalnya, Fernando telah menyusun siasat agar sang Papa jangan sampai mengetahui jika dirinya menjadi salah satu orang yang berada di TKP Arista terjatuh. Pemuda itu sampai memohon-mohon pada Wildan agar tak memberi tau Bagas perihal yang menimpa dirinya saat ini. Bahkan Nando juga menyembunyikan surat panggilan orang tua untuk datang ke sekolah. Namun, rencana yang telah pemuda itu pikirkan sejak tadi, kini hanya menjadi sebuah rencana yang tak akan pernah terealisasikan.
Sungguh malang nasib Fernando. Dia terpaksa datang terlambat ke rumah sakit karena diinterogasi terlebih dahulu oleh Wildan, sekarang ia justru dituduh lagi dengan prasangka yang sangat tidak benar.
"Pa, itu nggak bener. Aku nggak dorong dia!"
"Tapi, kenapa pihak sekolah bilang kamu ada di tempat temenmu itu jatuh? Katanya kamu ada di lantai tiga. Papa malu, Ndo!"
"Pa-"
"Bahkan Reynard sendiri waktu datang jenguk Papa tadi, bilang kalau dia sempat dengar beberapa temannya lihat kamu dorong cewek itu."
"Reynard?" Tak dapat dielak lagi, netra Fernando sontak terbelalak lebar hingga membuat dahinya membentuk beberapa gelombang kerutan.
Berengsek, dia pasti ngomong macem-macem ke Papa.
"Papa nggak pernah-"
"Itu semua bohong, Pa. Itu semua fitnah!" Mendengar sangkalan dari sang anak, Bagas langsung mengembuskan napas dengan kasar. Pria tersebut memalingkan pandangan menuju jendela kamar rawatnya.
"Aku mau bantu cewek itu, Pa. Teman-teman cuma lihat dari satu sisi."
"Kalau kamu memang bantu, kenapa banyak yang bilang kalau posisimu kelihatan seolah-olah habis dorong dia?"
"Pa!?" Fernando terbelalak tak percaya. Pasalnya, sang Papa sejak tadi tampak memojokkan dirinya dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar itu. Lagi pula, yang mereka semua katakan hanya bukti subjektif. Seandainya ada CCTV di area sana, semua tuduhan itu pasti tak akan terlontar pada pemuda itu.
"Kenapa?" Bagas pun mengalihkan atensinya kembali pada sang anak.
"Tadi, kan, aku sudah bilang, Pa. Mereka lihatnya dari satu sisi. Aku sama sekali nggak dorong dia. Cewek itu mau bunuh diri karena stres dan aku mau nolong dia! Cuma sayangnya aku telat narik dia. Mereka semua salah paham. Aku sudah jelasin ini semua ke Om Wildan tadi. Lagi pula aku dipanggil polisi tadi sebagai saksi, bukan tersangka!"
Pria paruh baya itu memandang sang anak dengan tatapan tajam. Sedangkan Fernando yang ditatap seperti itu bukannya merasa takut, tetapi justru membalas pandangan sang Papa. Bukan bermaksud tidak sopan, Nando ingin membuktikan bahwa yang ia bicarakan memang sungguh-sungguh.
"Sepertinya aku harus cerita ke Papa. Sebenarnya Mas Reynard yang buat cewek itu bunuh dir-"
"Masih playing victim lagi? Sampai kapan kamu terus nyalahin sepupumu itu? Papa sampai nggak paham, kenapa kamu benci banget sama Reynard?" Setelah Bagas menyelesaikan ucapannya, tanpa sadar, tangan Fernando mulai mengepal dengan kuat. Netra pemuda tersebut kian menajam hingga dahinya membentuk gelombang kerutan. Menandakan ia sangat tak suka dengan ucapan sang Papa barusan.
"Kenapa, sih, Papa belain dia terus? Bahkan sama anak sendiri sampai nggak pernah percaya. Sebenarnya anak Papa itu aku apa dia?"
"Fernando!" Tanpa memedulikan Bagas yang baru saja membentaknya, Nando pun langsung mendudukkan diri di kursi yang berada di samping ranjang sang Papa. Selepas itu, ia mengeluarkan gawai dari dalam saku celananya dan mulai asyik mengoperasikan benda pipih tersebut.
"Fernando! Kamu makin lama tambah nggak sopan, ya! Papa masih belum selesai nanya ke kamu."
Mendengar teguran dari Bagas, akhirnya Fernando mengangkat kepala lalu menatap pria di hadapannya dengan datar.
"Aku pulang bentar, Pa. Mau ganti baju. Kalau perlu apa-apa, telpon aku aja." Tak peduli dengan Bagas yang berulang kali berteriak memanggil namanya, Fernando bergegas keluar dari ruang rawat sang Papa dengan netra yang mulai memerah.
🎭🎭🎭
"Nah, Anak-Anak. Teks resensi itu tidak hanya untuk mengulas buku saja, tapi bisa digunakan untuk mengulas film, lagu, dan-"
Ucapan dari seorang wanita muda yang berada tepat di papan tulis sontak terhenti ketika mendengar decitan pintu terbuka perlahan. Alhasil, semua atensi yang berada di kelas XI MIPA 4 beralih pada seorang gadis yang berdiri dengan kepala menunduk. Lalu, gadis tersebut melangkah perlahan menuju guru muda berjilbab yang tengah mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia itu.
"Maaf, Bu." Itulah ucapan yang terlontar dari Ranita saat meletakkan punggung tangan Bu Dian ke dahi. Guru muda itu pun melebarkan sedikit labiumnya.
"Lain kali jangan terlambat lagi, ya, Nak." Ranita mengangguk, lalu melangkah ke arah bangkunya setelah meletakkan surat tanda keterlambatan di atas meja guru. Sesampainya di sana, gadis itu menatap teman sebangkunya yang sejak tadi menatap Ranita dengan intens. Karena merasa risih, ia langsung mengalihkan pandangannya.
"Eum ... Ranita?" Setelah mendudukkan diri di atas kursi dan akan mengambil buku dari dalam tas, gerakannya sontak terhenti ketika mendengar suara husky di samping. Namun, hanya beberapa detik saja, sebab setelah itu ia melanjutkan aktivitasnya dan dengan segera meletakkan alat tulis dan buku-buku yang dibutuhkan untuk mata pelajaran hari ini.
Akan tetapi, yang membuat Fernando terperangah adalah, Ranita secara tiba-tiba menggeser kursinya menjauh dari pemuda tersebut.
Ada apa ini? Kenapa dia tiba-tiba jauhin aku? Dia nggak mungkin terpengaruh sama tuduhan itu, kan, kayak yang lain?
Rasa penasaran dan perkiraan Fernando barusan bukanlah tak berdasar, sebab memang sejak pagi tadi, mendadak saja banyak sekali tatapan kebencian mengarah kepada pemuda itu. Dan semua terjadi gara-gara kejadian yang tak diinginkan kemarin. Bahkan, kedua sahabatnya saja tampak enggan berbicara kepada pemua itu yang membuatnya semakin sedih.
Namun, rasa penasaran Fernando pada perubahan sikap Ranita hanya dapat ia pendam dalam hati. Meski rasa heran kian memuncak, tetapi sebisa mungkin pemuda tersebut menahannya. Sebab ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya-tanya dengan durasi lama.
Jam demi jam telah berlalu, kini bel istirahat pertama telah berbunyi. Semua siswa beranjak dari posisi masing-masing. Ada yang ke kantin, ada yang sekadar nongkrong. Tak terkecuali Ranita. Gadis itu tampak beranjak dari posisinya, lalu berjalan keluar kelas. Padahal Fernando ingin mengajaknya berbicara. Namun, niat itu urung dan akhirnya ia berinisiatif mengikuti saja teman sebangkunya dari belakang.
Di sisi lain, Ranita yang tengah berjalan santai menuju perpustakaan mulai merasa ada yang aneh. Entah mengapa feeling-nya mengatakan bahwa ada sesuatu mengikutinya. Alhasil, saat dalam tengah perjalanan lorong sekolah, gadis itu menoleh sedikit ke belakang.
Ranita sontak membelalakkan mata ketika mendapati Fernando berjalan searah dengan dirinya, bahkan menatap intens gadis itu. Karena ketahuan menguntit, Fernando pun memalingkan wajah ke arah samping sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kelakuan pemuda tersebut langsung saja membuat Ranita tersenyum kecut, lalu mengalihkan atensinya ke arah depan. Berusaha tak acuh dengan Fernando yang berada di belakangnya.
Meski telah ketahuan, hal tersebut justru tak mengurungkan niat Fernando. Pemuda itu terus saja mengikuti ke mana arah langkah teman sebangkunya. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba benda pipih di sakunya terus bergetar. Alhasil, ia pun menghentikan langkah dan memilih untuk menepi.
Rupanya sang sepupu menelponnya. Karena kesal, Fernando pun mengabaikan panggilan tersebut, lalu berjalan mengikuti Ranita lagi yang kini siluetnya masih dalam jangkauan pemuda tersebut.
Fernando tak heran bila tempat tujuan Ranita saat ini adalah perpustakaan, mengingat gadis itu senang sekali membaca dan belajar. Namun, baru saja melangkah masuk, tiba-tiba Fernando merasa pundaknya ditepuk dengan pelan. Alhasil, ia pun menoleh ke samping.
"Wah, semesta sepertinya sedang mendukung, ya. Tadi aku telpon, nggak kamu angkat. Padahal niatku mau ngajak kamu ngobrol di sini. Eh, ternyata kamu sendiri malah ke sini. Yuk, adik sepupu. Ikut aku."
Rupanya yang menepuk pundak Fernando tadi adalah Reynard. Kakak kelas sekaligus sepupu Nando itu tanpa basa-basi menarik tangan pemuda tersebut. Kontan saja Fernando menarik kembali tangannya dengan dahi berkerut dan raut memerah.
"Apaan, sih?"
"Aku mau ngomong. Penting, Bro. Inget, ini perpus. Jangan ribut. Bentar aja." Fernando menghela napasnya dengan kasar. Jujur, ia sebenarnya malas berurusan dengan kakak sepupunya ini. Apalagi niat pemuda tersebut ke sini bukan untuk menemui Reynard, tetapi mengajak Ranita berbincang. Namun, Fernando sangat mengetahui bahwa Reynard adalah pemaksa dan benar, ia tak ingin ada keributan yang terjadi.
Alhasil, Fernando menurut saja ketika sang sepupu menariknya ke pojok perpustakaan yang sangat sepi. Tanpa menyadari, bahwa dari kejauhan Ranita memberikan tatapan cemas ke arah mereka. Pada Fernando lebih tepatnya.
🎭🎭🎭
"Berengsek! Harusnya aku sudah nduga-"
"Shutt ... inget, ini di perpus. Jangan rame sama ngumpat sembarangan. Awas kena BK, loh! Mending kita bisik-bisik aja."
Mendengar peringatan halus dari pemuda di hadapannya, Fernando pun menahan seluruh rasa marah dalam diri agar tak meluap begitu saja. Andai saat ini mereka tak di sekolah, tentu saja pemuda itu akan mengumpat sekaligus menghajar sepupunya yang sangat keterlaluan ini.
"Keterlaluan! Papa nggak salah apa-apa. Kenapa kamu libatin dia?"
Reynard pun menarik sudut bibirnya dengan netra yang mulai menyipit. "Bukannya kamu sudah kukasih peringatan? Sudah berkali-kali aku bilang, aku ngasih ancaman itu bukan kayak bocah."
"Berengsek, liat aja. Aku bakal laporin-"
"Laporin gimana? Punya bukti? Yang nabrak papamu itu bukan aku, loh." Setelah menjeda ucapannya, Reynard pun mendekatkan diri ke arah Fernando sambil menudingkan telunjuk pada pemuda itu. "Dan inget, statusmu sekarang jadi saksi jatuhnya Arista dari lantai tiga kemarin. Masalahmu sekarang aja udah rumit, nggak usah ditambahi lagi. Kamu tau, kan, kalau dia sekarang gegar otak? Sekalipun nanti Arista baik-baik aja, dia nggak bakal berpihak ke kamu. Karena dia bunuh diri gara-gara kamu!"
"Kurang aj-"
"Shutt ... calm down, Bro. Jangan keras-keras. Kamu nggak sadar kalau ada yang nguping kita dari tadi? Makanya tadi sudah kubilang kalau kita mending bisik-bisik aja."
Mendengar ucapan yang terlontar dari labium Reynard barusan, seorang gadis yang duduk tak jauh dari mereka sontak tertegun. Ranita tak menyangka bahwa Reynard menyadari jika dirinya menguping pembicaraan dua pemuda tersebut. Padahal, ia telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikan diri dengan berpura-pura membaca novel.
"Hei! Asyik banget baca novelnya. Tapi, matamu kok nggak keliatan fokus baca isinya, ya? Apa fokusmu ke kita?" Fernando yang heran dengan maksud sang sepupu, akhirnya ikut menoleh ke arah pandang Reynard. Betapa terkejutnya pemuda itu saat menyadari bahwa yang dimaksud lelaki di hadapannya ini adalah Ranita.
Karena tak tahan telah ketahuan menguping, alhasil Ranita beranjak dari posisinya dan langsung berjalan ke luar perpustakaan. Reynard yang melihat hal tersebut spontan tersenyum miring. Lalu, ia pun menepuk pelan pundak adik sepupu yang ada di hadapannya.
"Aku tau, kamu waktu itu pernah ngajak Ranita keluar bareng, dan kalian merencanakan biar apa yang sudah aku lakuin ketahuan, kan?"
Netra pemuda bermata tajam itu langsung terbelalak saat mendengar ucapan yang keluar dari Reynard barusan. "Hah? Jadi kamu-"
"Aku pergi. Silakan merenung dulu. Kamu baru ngerencanain aja, ancamanku sudah terbukti. Itu masih belum seberapa. Tapi, kalau kamu masih nekat, silakan. Siap-siap aja nanti terima surprise dari aku."
Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini. Fernando sangat speechless, bahkan tak tau harus berkata apa. Lidahnya terasa kelu, padahal pikirannya sangat ramai ingin mengeluarkan rasa kesal. Reynard yang baru saja berdiri dan beranjak dari posisinya, secara tiba-tiba berjongkok. Bibir pemuda itu mulai mendekat pada indra rungu Fernando.
"Oh, ya. Aku juga nggak nyangka kalau Ranita bohong sama kamu waktu itu. Waktu di alun-alun. Dia bilang kalau dia langsung pulang karena dipaksa ayahnya, kan? Padahal, dia pulang bareng aku, loh! Bahkan ..." Labium Reynard pun mulai melebar. "... kita tidur bareng pas malem!"
Netra Fernando sontak terbeliak ketika mendengar pengakuan gamblang dari sepupunya yang tak punya rasa malu itu.
"Cowok bejat!" Namun, Reynard hanya membalas umpatan Fernando dengan kekehan dan langsung meninggalkan pemuda itu yang kini perasaannya mulai campur aduk.
🎭🎭🎭
Setelah beberapa menit berkutat dengan pikiran yang kian runyam, akhirnya Fernando memilih untuk beranjak dari perpustakaan. Lagi pula, dia bingung akan melakukan apa di sini, sebab tujuannya ke perpustakaan adalah agar bisa berbincang dengan Ranita. Akan tetapi, semua tidak sesuai rencana gara-gara sang sepupu yang sangat menyebalkan.
Sebenarnya tempat ini sangat nyaman untuk menenangkan diri, tetapi Fernando membutuhkan earphone agar lebih rileks. Namun, ia lupa membawanya karena terburu-buru mengikuti Ranita tadi. Maka dari itu, Fernando memilih untuk kembali ke kelas saja.
Saat dalam perjalanan menuju kelas, secara tiba-tiba netra tajamnya tak sengaja menangkap dua insan yang berdiri tepat di pojok bawah tangga. Entah semesta sedang mendukung atau bagaimana, suasana di sekitar sangat sepi. Mungkin hanya beberapa orang yang berlalu lalang. Namun, mereka seakan tak peduli apa yang akan dilakukan dua insan beda gender di bawah tangga itu.
Fernando sangat tau bahwa dua insan itu adalah Reynard dan teman sebangkunya, Ranita, yang tengah saling menatap dengan posisi berdekatan. Dada Fernando terasa memanas ketika disuguhi pemandangan tersebut, terlebih lagi ketika melihat raut Ranita yang sangat memucat. Feeling pemuda itu sangat tidak enak. Ia mengira bahwa kakak sepupunya akan berbuat macam-macam.
Diiringi emosi yang masih belum menurun sejak tadi, Fernando pun menghanpiri mereka dan tanpa basa-basi langsung menarik kerah seragam bagian belakang milik Reynard.
"Cowok bejat! Berengsek!" Tak memedulikan sekitar, Fernando mulai melayangkan kepalan tangannya dengan keras ke arah rahang Reynard. Spontan saja senior di SMA Pelita Jaya ini tersungkur disertai bibir yang mulai sobek dan mengeluarkan darah. Hal tersebut langsung membuat netra Ranita terbeliak lebar dan kontan berteriak histeris.
Di sisi lain, Reynard yang dalam posisi tersungkur mulai melebarkan labium meski sedikit terasa perih. Namun, hal tersebut tak mengurungkan rasa puas dan bahagia yang bercokol dalam benaknya.
Selamat, Ndo. Kamu masuk jebakanku!
🎭🎭🎭
To be continued ....
Maafkan aku yang telat update, harusnya kemarin, tapi baru selesai ngetik sekarang 😔
Semoga kalian puas, ya, baca 2k kata ini. Tunggu up selanjutnya 💕
Terima kasih teruntuk kalian yang sudah membaca kisah Fernando.
Jangan lupa tinggalkan jejak positif serta share jika kalian suka kisah ini, ya.
Borahae all 💜💋
©putriaac ~ Alma Alya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top