Tinggalkan atau Halalkan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Berani mencintai maka harus berani juga menikahi, sebab realisasi dari rasa cinta hanyalah pernikahan, bukan pacaran."
Gilang duduk dengan gelisah, mata tajam milik sang ibu begitu menghunus. Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam serta menunduk dalam, dan Humairah pun sibuk bergelung dengan rasa takut. Dihadapkan dalam keadaan seperti ini membuat perasaan gadis itu tak keruan.
"Sejak kapan kalian berpacaran?"
Kalimat tanya penuh ketegasan itu tak mendapat sambutan, baik dari Gilang maupun Humairah tak berani untuk menjawab.
"Gilang!"
Kepala lelaki itu terpaksa mendongak dan kembali bertemu tatap dengan sang ibu. "Sa-sa-satu tahun, Bun."
Ghina menggeram dan semakin menatap sengit ke arah sang putra. Bisa-bisanya Gilang menyembunyikan hubungan mereka selama itu. Sebagai seorang ibu ia merasa gagal dan kecolongan.
"Keterlaluan kamu. Bisa-bisanya berbohong sama Ayah dan Bunda!"
"Maaf, Bun tapi Gilang gak pernah ngelakuin yang macem-macem kok," sangkalnya yang berhasil membuat Ghina geleng-geleng.
"Satu macem maksud kamu? Zina!" kesalnya tepat sasaran, dan itu berhasil menohok hati Gilang serta Humairah.
"Obat mujarab dari rasa cinta hanya menikahi, bukan memacari. Tapi kalau kamu belum mampu, maka berpuasalah. Bunda kecewa sama kamu, Lang!"
"Maafin Gilang, Bunda," katanya sangat merasa bersalah, terlebih saat ia melihat setetes cairan bening yang jatuh di salah sudut netra sang ibu.
"Kenapa kamu terima ajakan Gilang? Tante tahu kamu paham kalau Islam tidak membenarkan pacaran. Tapi kenapa kamu malah melanggarnya?" tanya Ghina lembut namun berhasil menusuk perasaan Humairah.
Gadis yang baru memasuki usia 20 tahun itu pun mendongak serta memberanikan diri untuk menjawab, "Kak Gilang baik, perhatian, bertanggung jawab, dan juga selalu menjaga saya, Tante. Saya pun memiliki perasaan lebih pada putra Tante."
Ghina memejamkan netranya cukup lama sebelum menjawab, "Gilang bukan menjaga kamu, tapi dia sedang berusaha untuk merusak kamu."
"Gilang gak pernah macem-macem, Bunda!" sela sang putra. Ia sangat tak terima saat kalimat 'merusak' meluncur bebas dari bibir ibunya.
"Yakin?"
Satu kata itu berhasil membungkam mulut Gilang. Ia memang tak melakukan hal lebih dari sekadar bergandengan tangan, jalan-jalan, dan makan bareng. Pacaran syar'i dan pacaran sehat, itulah prinsipnya. Tapi lagi-lagi ia harus legowo menerima, bahwa tidak ada istilah demikian dalam Islam.
Zina itu beragam jenisnya, zina mata karena saling memandang, zina hati dengan kita saling memikirkan, zina tangan dengan berpegangan, zina kaki apabila kita berjalan menuju tempat-tempat yang tidak Allah sukai, dan puncaknya zina kemaluan yang membenarkan semua itu.
Dalam kegiatan pacaran tentu akan melewati semua pase itu, walau mungkin yang terakhir tidak semua orang lakukan. Tapi percaya atau tidak percaya semua itu pasti akan dijajali satu per satu.
Sebab dalam pacaran hanya ada napsu, bisikan setan, dan juga tipu daya yang bertujuan untuk menjerumuskan penganutnya pada lubang kemaksiatan.
"Tinggalkan atau halalkan, Bunda gak akan pernah mengizinkan kamu untuk pacaran dan Bunda akan lebih rida kalau kamu memutuskan untuk menikahinya."
"Tapi Gilang belum siap untuk menikah, Bunda," tutur Gilang berkata jujur apa adanya.
Senyum miring sedikit tersungging. "Itu yang kamu bilang baik, perhatian, bertanggung jawab, dan selalu menjaga kamu, Humairah? Tante hanya minta dia untuk menikahi kamu, tapi dengan tanpa pikir panjang dia langsung menolak."
Ghina merasa sangat amat malu dengan mental yang dimiliki oleh putra sulungnya. Ia lebih menghargai keberanian Guntur yang langsung datang melamar, meskipun mendapat penolakan tapi setidaknya Guntur lebih baik dari sang putra.
"Kamu berani mencintai maka kamu juga harus berani menikahi. Impas. Itulah yang dinamakan dengan hukum sebab akibat," terang Ghina semakin menyudutkan sang putra.
"Gilang masih kuliah, belum kerja, dan lagi Gilang juga masih bergantung sama Ayah dan Bunda. Dari segi finansial Gilang masih belum mampu."
"Kenapa kamu baru mikir sekarang tentang hal ini? Apa kabar dengan satu tahun ke belakang?"
Gilang menghela napas frustrasi, perkataan bundanya selalu membuat ia mati kutu.
"Tante," panggil Humairah pelan. Keraguan serta kecemasan sangat kentara sekali tengah dirasakan.
"Saya mundur," lirihnya dengan suara bergetar menahan tangis.
Mata Gilang membola tak percaya. "Kamu putusin aku?"
Humairah mengangguk singkat dan sedikit mencuri pandang pada Gilang. "Maaf, Kak, tapi apa yang dikatakan ibunya Kak Gilang benar. Kalau gak seharusnya kita terlibat hubungan tak halal, maaf karena aku udah lancang menerima ajakan Kakak."
Gilang terdiam dengan pandangan nanar, hatinya terasa sakit bukan kepalang. Diputuskan di hadapan ibunya sendiri, dan parahnya pada saat ia masih memiliki hati. Mungkin ini yang dinamakan dengan sakit tapi tak berdarah.
Humairah menghapus air mata yang sudah lancang turun. Rasa sesak itu kian menyeruak hebat, bahkan dadanya terasa dihimpit bongkahan batu besar.
"Maaf, Kak."
Ghina merasa iba saat melihat linangan air mata Humairah, tapi ia pun tak rida jika putranya terus terlibat hubungan tak halal. Sebagai seorang ibu jelas ia menginginkan yang terbaik untuk sang putra.
"Kamu udah gak sayang sama aku?" tanya Gilang seakan di hadapannya kini tak ada sang bunda yang menyaksikan.
Humairah menggeleng pelan. Perasaannya masih sama bahkan semakin hari semakin bertambah besar, tapi jika terus dilanjutkan akan tidak baik untuk ke depannya.
"Saya pamit, Tan. Maaf jika kehadiran saya hanya mengundang kekacauan," pamit Humairah sebisa mungkin memberikan senyum terbaik pada ibu dari mantan kekasihnya itu.
Ghina tersenyum bangga akan kelapangan hati yang Humairah miliki, ia pun bergerak untuk lebih mendekat ke arah gadis itu dan memberikan pelukan hangat. Tubuh Humairah menegang bukan main, ia tak percaya akan mendapatkan rengkuhan perpisahan dari Ghina.
"Kamu terlalu berharga untuk disia-siakan dan diajak berpacaran. Putra Tante gak bisa diharapkan, dia gak bisa menahan napsunya," bisik Ghina yang malah membuat Humairah terisak pelan.
Wanita beranak tiga itu mengelus lembut punggung bergetar Humairah, ia tahu bahwa gadis yang saat ini berada dalam pelukannya tengah rapuh. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mencoba untuk menenangkan.
"Bunda!"
Mendengar suara pekikan nyaring yang bersumber dari ambang pintu membuat pelukan mereka mengendur. Di sana Ama berdiri dengan baju basah kuyup dan mata bengkak yang sudah memerah.
Ia berlari serta langsung menubruk tubuh sang ibu, dan terisak pelan di sana. "Kenapa, hm?"
"Guntur jahat, Bunda!"
Ghina menghela napas singkat, ia mengurai pelukannya dan menghapus air mata sang putri. "Kenapa lagi sama Guntur?"
Ama terdiam, ia tak berani untuk menjawab. Lebih tepatnya bingung untuk menjelaskan duduk perkara yang tengah ia alami.
"Bersih-bersih dulu sana, baju Bunda jadi ikutan basah gara-gara kamu," titah Ghina pada akhirnya memilih untuk tidak terlalu menekan sang putri.
Ama mengangguk dan bergegas memacu langkah ke arah kamarnya yang terdapat di lantai dua.
"Ama anak Tante juga?" tanya Humaira cengo.
Ghina tertawa pelan lantas menjawab, "Gilang tiga bersaudara, adiknya perempuan semua. Ama yang paling bungsu."
Humairah menatap ke arah Gilang, menuntut penjelasan lebih dari lelaki yang baru saja bergelar sebagai mantan kekasihnya.
"Saya pamit, Tante, assalamualaikum," katanya yang langsung melesat pergi begitu saja.
"Aira tunggu!" cegah Gilang namun terhalang oleh sang bunda yang lebih dulu mencekal tangannya.
"Mau apalagi? Mau gombalin dia supaya terima cinta kamu dan kalian balikan, gitu?"
Gilang menggeleng. "Bukan Bun, Aira salah paham. Selama ini dia ngira kalau Ama itu adek ketemu gede aku, bukan adek beneran. Makanya dia cemburu banget sama Ama."
"Ya terus?"
"Aku mau jelasin sama Aira, Bunda." Intonasi lelaki itu sedikit meninggi karena sang bunda yang malah melanjutkan sesi introgasi.
"Kalian udah putus dan kalian gak ada hubungan apa pun lagi!"
"Tapi, kan, Bun—"
"Gak ada tapi-tapian. Masuk kamar!"
Lelaki itu menggeram kesal. Hari ini bundanya begitu sangat menyebalkan. Andaikan saja tadi pagi Ama tak melapor, pasti kejadiannya tidak akan sekacau ini. Dan juga hubungannya akan baik-baik saja, tidak seperti sekarang yang malah kandas di tengah jalan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top