Salah Paham Berujung Penyesalan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jangan terlalu gampang menyimpulkan sesuatu hal sebelum kebenaran itu muncul ke permukaan. Sebab yang terlihat dan terdengar terkadang tak sesuai dengan kenyataan."
Menjadi seorang pendiam bukanlah keinginan, bukan pula sebuah pilihan, melainkan karena memang sudah menjadi sebuah ketetapan. Begitupula dengan Ghilsa, diamnya adalah senjata dan diamnya saat ini menjadi boomerang mematikan bagi orang-orang di sekitar.
Bukan maksud hati ingin menyembunyikan sebuah kebenaran dan melukai banyak hati, termasuk sang adik dan dirinya pribadi. Tapi ia terpaksa melakukan hal itu, keadaan menghimpitnya dan tak ada cara lain selain mengatakan kebohongan tersebut.
Ia sadar bahwa tak seharusnya lisannya berkata dusta serta bungkam dikala orang-orang di sekeliling membutuhkan penjelasan. Dan ia pun menyadari dengan betul bahwa kini ia sedang menjelma sebagai duri dalam daging untuk hubungan adiknya.
Ghilsa berjalan menghadap cermin besar yang memperlihatkan seluruh tubuh. Badan perempuan itu kian hari kian melar, ditambah lagi dengan kondisi perut yang juga semakin membuncit. Janin yang hadir karena sebuah kesalahan itu akan lahir, masih cukup lama memang tapi ia harus menyiapkan mental dan juga spiritual.
Dielusnya lembut perut yang kini sudah memasuki usia lima bulan lebih itu, senyum getir terbit di sana. Tak pernah terbesit sedikit pun dalam benak, bahwa nasib malang akan menimpa dirinya dan juga sang calon buah hati. Mengandung dan melahirkan tanpa dampingan sang suami, belum lagi ia pun harus mengahadapi berbagai permasalahan yang bersumber dari dirinya pribadi.
"Yang sehat-sehat yah, Nak," bisiknya dengan linangan air mata. Dulu mungkin ia tak menginginkannya, bahkan dengan tega akan melenyapkannya. Tapi kini ia sangat menyayangi serta tak ingin kehilangan sang jabang bayi.
"Kamu akan mempunyai ayah, meskipun cara yang Mama tempuh melukai banyak hati. Maafkan, Mama," lirihnya pilu.
Ia sadar betul bahwa cara yang saat ini ditempuh hanya akan menghancurkannya di masa depan. Tapi ia tak ingin anaknya menerima banyak hinaan dan cacian karena kesalahan yang telah diperbuat. Memang tak seharusnya ia melibatkan orang lain dalam hal ini, tapi semuanya sudah terlambat dan disesali pun terasa akan percuma saja.
"Mbak!"
Tubuh Ghilsa membatu dengan sempurna, terlebih kala ia melihat seseorang yang berada di belakangnya. Siluet orang itu terlihat jelas di cermin, dan ia tak memiliki sedikit pun keberanian untuk membalik tubuh.
"Maafkan aku, Guntur, maaf," isaknya menunduk dalam.
Guntur yang mendengar hal itu mematung beberapa saat. Ya, Guntur, lelaki itu kembali mengendap-endap ke kamar Ghilsa untuk berbicara empat mata guna memecahkan masalah yang kini menghimpit mereka.
Ia sudah datang secara baik-baik, dan mengetuk pintu agar diperbolehkan masuk. Tapi hal itu tak membuahkan hasil dan malah mendapat usiran. Alhasil ia kembali melakukan cara yang dulu, cara yang membuatnya harus terbelenggu masalah.
"Apa alasan Mbak merangkai kebohongan ini? Aku tahu Mbak bukan orang yang mudah berdusta, bahkan aku juga tahu kalau Mbak sangat menyayangi Ama. Tapi ken—"
Perkataan Guntur melayang di udara karena suara Ghilsa yang mulai mendominasi, "Aku terpaksa Guntur, maafkan aku karena harus melibatkan kamu dalam masalah ini. Aku tahu ini melukai kamu dan juga Ama, tapi aku hanya ingin anakku mendapatkan sosok seorang ayah. Aku gak bi—"
"Tapi aku bukan ayah dari anak yang Mbak kandung. Bagaimana bisa Mbak berpikiran kalau aku bisa menjadi ayah untuk anak, Mbak?" potong Guntur cepat.
Ghilsa membalik tubuhnya, tatapan penuh tanya langsung menyambut netra. "Karena ayah dari anak yang aku kandung gak mau bertanggung jawab," sahutnya dengan suara rendah.
"Terus sekarang Mbak malah menuntut tanggung jawab aku? Apa Mbak gak berpikir kalau itu akan melukai banyak hati, termasuk Mbak sendiri," tutur Guntur tak sejalan.
Ghilsa tersenyum tipis dan mengelus lembut perutnya yang terasa ditendang oleh si kecil. Rasa ngilu sedikit dirasakan, terbukti dari ringisan kecil yang keluar dari sela bibir.
"Aku gak peduli sama hati aku, sekalipun kamu akan membenciku seumur hidup. Aku gak perduli. Yang penting anakku mendapatkan pengakuan dan juga ayah."
Guntur menutup mata sejenak sebelum akhirnya berucap, "Apa Mbak cinta sama aku?" Pertanyaan itu tak disambut baik, hanya sebuah sunggingan tipis yang mampu Ghilsa berikan.
"Kalau kamu emang gak mau menikahi aku karena alasan cinta, aku akan terima," Ghilsa menghentikan kalimatnya dan berjalan lebih mendekat ke arah Guntur, dengan ragu ia membawa tangan Guntur agar berada di atas perutnya. "Ada kehidupan di sini, dia membutuhkan kasih sayang yang lengkap."
Tubuh Guntur membeku bukan main, bahkan tangannya sudah sangat berkeringat dingin. Mata lelaki membulat sempurna kala merasakan ada sebuah tendangan di dalam sana.
"Dia gerak-gerak, Mbak," lirihnya antara percaya tidak percaya. Ini merupakan kali pertama bagi Guntur.
Pandangan mereka bertemu beberapa saat, Guntur terpaku kala melihat senyuman lebar yang Ghilsa tampilkan. Sepanjang ia mengenal kakak dari sahabatnya, baru kali ini ia bisa melihat sunggingan tersebut.
"Astagfirullahaladzim! Ghilsa! Guntur!" pekik Gilang kaget bukan kepalang, terlebih kala ia melihat wajah semringah Ghilsa dengan tangan Guntur yang tengah mengelus perut buncit sang adik.
Gilang langsung menutup pintu kamar Ghilsa rapat-rapat agar sang ayah dan bunda tak melihatnya. Napas lelaki itu memburu dipenuhi gejolak emosi yang juga sudah membabi-buta ingin segera diluapkan.
Ia menaruh kepercayaan lebih pada Guntur, bahwa adik tingkatnya di kampus itu bukan dalang yang menyebabkan Ghilsa harus hamil di luar pernikahan. Tapi pemandangan yang saat ini terpampang mengubah segala pemikiran tersebut.
"Kalau lo cinta sama Ghilsa, kenapa lo harus kasih Ama harapan? Bereng***!" umpat Gilang seraya mencengkram kuat kerah kemeja yang tengah Guntur kenakan.
"Gu-gu-e bi-sa je-la-sin, Bang, lo salah paham," sahut Guntur terbata-bata. Gilang tertawa hambar dan memberikan sebuah bogeman di wajah Guntur dengan sangat kencang.
Segala sumpah serapah dan makian Gilang layangkan, tak lupa juga Gilang memberikan banyak tinjuan di wajah Guntur. Bahkan lelaki itu tak lagi menghiraukan jeritan sang adik yang meminta berhenti agar tak melukai Guntur lebih parah lagi.
"Cu-cu-kup, Bang. Cukup!" teriak Ghilsa dan menahan tangan Gilang yang akan kembali memberikan Guntur bogeman, padahal kondisi Guntur sudah tepar di lantai.
"Bang Gilang berhenti, Ghilsa mohon, Bang," lerainya di tengah isakan. Tenaga perempuan itu tak sebanding jika dibandingkan dengan sang kakak yang tengah diliputi emosi.
"Awwwww!" pekik Ghilsa saat tubuhnya terjatuh karena ulah Gilang yang menepis kasar lengan sang adik.
Mendengar hal tersebut sontak membuat fokus Gilang terpecah, dan ia terperangah kala melihat adik pertamanya yang tengah meringis kesakitan dengan darah segar yang sudah mulai keluar dari sela kaki.
Antara sadar dan tak sadar Gilang langsung membopong tubuh Ghilsa dan memeluknya dengan sangat erat. "Maafkan, Abang, Sa. Maaf," bisiknya sangat merasa bersalah.
Bahkan ada setetes air mata yang mulai berjatuhan di pelupuk netra. Ia tak tega melihat gurat kesakitan sang adik, dan ia pun dihantui rasa bersalah yang teramat besar.
Senyum tipis sedikit terpatri di wajah Ghilsa. "Gak papa," sahutnya sebelum kegelapan melanda.
"Ayah! Bunda!" teriak Gilang semakin tak keruan. Beragam pemikiran buruk sudah saling membayang.
"Astagfirullahaladzim! Gilsha kenapa, Lang?" ujar Ghina shock bukan kepalang, terlebih melihat kondisi sang putri yang sudah tak sadarkan diri.
"Nanti Gilang jelaskan, kita harus ke rumah sakit sekarang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top