Pintu Ampunan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Murka Allah memang besar, tapi ampunan-Nya jauh lebih lapang. Bertaubatlah dengan penuh kesungguhan hati dan berjanji pulalah untuk tidak kembali mengulangi."
Ghilsa meraung taktala sang bunda memberikan kabar buruk yang begitu lukai hati. Air mata tak pernah henti berjatuhan, terlebih kala ia memegang perutnya yang sudah kembali rata. Calon buah hati yang dinanti kini telah pergi.
Hancur. Rapuh. Ia tak lagi bisa memaafkan dirinya sendiri karena sudah melenyapkan bayi tak berdosa yang sepatutnya harus ia jaga dan lindungi. Sedangkan di pojok ruangan, Gilang pun tak kalah beda dengannya.
Lelaki itu merasa sangat bersalah, sebab secara tidak langsung ialah yang mengantarkan sang adik mengalami keguguran. Lagi-lagi ia gagal, dulu ia lalai karena tak bisa menjaga Ghilsa yang terlanjur berzina, sekarang ia malah membuat adiknya terluka dan tersiksa.
Kakak macam apa ia sebenarnya?
"Ghilsa harus kuat dan tabah, sabar, yah Nak," pinta sang ibu dengan suara bergetar menahan tangis.
Perempuan itu tak menjawab apa pun, ia kembali tenggelam dalam tangis kedukaan. Ia tak layak untuk menyandang status sebagai ibu, ia tak berhak untuk memiliki anak. Dirinya telah lalai.
"Allah tahu apa yang terbaik untuk Ghilsa, jangan pernah berpikiran buruk atas takdir yang sudah Allah gariskan," tuturnya seraya merengkuh tubuh sang putri dengan sangat erat.
Mendapat perlakuan demikian, Ghilsa malah semakin terisak kencang, dan itu membuat Ghina dirundung kepiluan yang serupa. Hati ibu mana yang tidak terluka kala melihat kerapuhan anaknya.
"Maafin Abang, Sa," ungkap Gilang saat ia sudah berdiri di sisi brankar sang adik. Wajah lelaki itu sendu, dan sangat terpukul serta merasa bersalah.
Ghilsa dan Ghina melepaskan rengkuhan di antara mereka. Ada senyum getir penuh kedukaan yang Ghilsa perlihatkan. "Bukan salah Bang Gilang, mungkin ini emang balesan dari Allah karena aku yang sudah banyak berbuat dosa. Ini kar-"
"Jangan pernah bicara seperti itu," potong Ghina cepat. Tak ada karma dalam Islam, mungkin ini memang yang terbaik untuk keluarga mereka.
"Mbak Ghilsa jangan sedih yah," hibur si bungsu yang berada di sisi Gilang. Sedari tadi gadis itu hanya diam dan menyaksikan, tapi saat mendengar sang kakak sulung buka suara akhirnya ia pun ikut larut dalam perbincangan.
Ghilsa hanya mengangguk, tapi ia pun sedikit memberikan sunggingan. Ia telah melukai sang adik, tapi adiknya itu masih saja berbaik hati dan bersikap selayaknya tidak pernah ada masalah di antara mereka.
"Maafin, Mbak, Ma," lirihnya saat Ama merengkuh tubuh Ghilsa. Gadis itu dengan mantap mengangguk, serta memberikan kecupan singkat di salah satu pipi sang kakak.
"Ama udah maafin, Mbak," sahut Ama seraya tersenyum lebar. Hatinya berbunga-bunga seketika, terlebih kala tadi melihat sang ayah yang sudah membatalkan sepihak rencana pernikahan Guntur dan Ghilsa.
Bukannya ia berbahagia di atas penderitaan sang kakak, hanya saja ia bersyukur karena Gunturnya tak benar-benar menjadi kakak ipar. Tapi ia pun sedikit sedih saat sang ayah terang-terangan melarang ia kembali menjalin hubungan pertemanan dengan Guntur. Ayahnya itu sudah benar-benar tak bisa menerima Guntur di keluarganya.
"Kamu harus belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, jangan coba-coba untuk melakukan kesalahan yang serupa lagi. Taubat, mohon ampunan sama Allah," tutur Ghina pada sang putri.
Ia mengelus lembut puncak kepala Ghilsa dan tersenyum hangat ke arahnya. "Biarkan masa lalu kelam itu menjadi bahan pembelajaran agar kamu bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi."
Ghilsa mengangguk patuh. Ia sadar diri bahwa memang dirinya sudah banyak melakukan kesalahan, dan kesalahan itu terhitung dalam dosa besar. Ia sudah berzina, memfitnah, dan tentunya menjadi seorang pembohong ulung.
Ia benar-benar harus segera bertaubat dan memohon ampunan. Beruntung ia memiliki orangtua seperti Ghina dan juga Ghani, yang masih mau menganggapnya sebagai anak. Tanpa perlu ada drama saling usir-mengusir, kata syukur tergaung indah di hati perempuan itu.
Manusia adalah gudagnya khilaf dan dosa, tak ada manusia yang suci dan bersih dari dua hal tersebut. Tapi sebaik-baiknya pendosa, adalah ia yang mampu bertaubat dan kembali ke jalan yang diridai Sang Maha Kuasa.
Begitupun dengan Ghilsa, ia sudah melakukan banyak dosa, dan kini ia ingin kembali menata hidupnya agar tak mengulangi kesalahan yang serupa. Taubat sebenar-benarnya taubat.
"Ayah, Ama mau ngomong bentar sama Guntur, sebentar aja. Janji gak akan lama-lama," pintanya pada sang ayah yang sedari tadi mematung di samping Ghina.
"Jangan mulai, Ma!" sembur Gilang seraya menatap tajam sang adik. Otak gadis itu selalu tertuju pada Guntur, seperti tidak ada lelaki lain saja.
"Ama mau mengakhiri, Bang, bukan mau mulai," sanggahnya dengan bibir mengerucut sebal.
"Maksud kamu?" tanya Ghina penasaran.
"Ama gak mau terikat janji sama Guntur, Ama juga gak mau nunggu Guntur lagi. Bukannya Ama udah move on, tapi kata Bang Gilang kalau jodoh gak akan ke mana. Ya udah Ama mau fokus kuliah dulu aja," terangnya yang berhasil membuat mereka semua tercengang tak percaya.
"Bang Gilang gak kasih Ama racun kok, tapi kenapa otak kamu malah bener sih sekarang," oceh Gilang yang dihadiahi dengkusan kasar.
"Ih Bang Gilang nyebelin! Ama kan cuma mau nurutin kemauan Ayah sama Bunda aja," ujar gadis itu tegas dan lugas.
"Alhamdulillah, Ya Allah akhirnya adek Abang yang bucin tobat juga," tutur Gilang yang langsung dibalas pukulan sang adik.
"Ama gak bucin, Bang Gilang!"
"Terus?"
"Kecintaan doang!"
Gilang tertawa kecil, dengan gemas ia mengacak puncak kepala adiknya. "Ya udah sana kelarin semuanya. Jangan main cinta-cintaan lagi, nanti kecewa, kan bahaya."
"Guntur udah Ayah suruh pulang," ucap Ghani berhasil menghentikan laju tungkai Ama yang baru berjalan sekitar tiga langkah saja.
Gadis itu menatap polos sang ayah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Guntur belum pulang Ayah, dia lagi nungguin Ama di taman rumah sakit," cicitnya jujur.
Ghani menggeram kesal. Ia sudah mengusir anak itu, tapi ternyata tanpa sepengetahuannya sang putri sudah bersekongkol dengan Guntur untuk bertemu. Putri bungsunya itu memang paling banyak akal.
"Jangan lama-lama, dan jangan macam-macam!" peringatnya yang langsung Ama angguki.
"Gak macem-macem kok Ayah cuma satu macam aja," ucap Ama setelah ia berhasil menutup pintu ruangan yang ditempati sang kakak.
Ghani, Ghina, Ghilsa, dan juga Gilang saling menggeleng melihat kelakuan Ama. Mereka tak habis pikir dengan tingkah polah si bungsu yang tak pernah ada perubahan. Bukannya berubah, ini malah semakin menjadi saja.
"Ikutin Ama, Ayah takut dia gak nepatin omongannya. Anak itu masih labil, suka berubah-ubah sesuka hati," titah Ghani pada sang putra.
Gilang mengangguk cepat dan segera mengintili langkah sang adik yang sudah berjalan lebih dulu.
Suasana seketika menjadi hening, tapi saat mendengar pengakuan jujru Ghilsa keadaan menjadi cukup panas dan memancing emosi siapa saja yang mendengarnya.
"Sebenarnya bukan Guntur yang hamilin Ghilsa. Maafin Ghilsa karena udah bohongin Ayah sama Bunda," terang Ghilsa berkata jujur apa adanya.
Baik Ghina maupun Ghani sama-sama terkejut luar biasa. Mereka tak perah menduga bahwa putri pertamanya yang selalu bertutur jujur, kini sudah menjelma sebagai pendusta. Sungguh sulit untuk dipercaya.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang?!" murka sang ayah begitu menyeramkan di telinga Ghilsa.
Perempuan itu menunduk dalam dan menggigit bibir bagian bawahnya, tak ketinggalan ia pun memilin selimut yang tengah dikenakan. "Ghilsa terpaksa Ayah, maafin Ghilsa."
"Ayah gak pernah ajarin kamu untuk menjadi seorang pendusta. Tapi kenapa sekarang kamu begitu ringan mengarang banyak kebohongan?!"
Ghilsa terisak pelan, rasa sesal itu kian naik ke permukaan. Ia memang salah, dan ia menyadari sepenuhnya. Tapi kini ia sudah berterus terang, dan berharap kedua orangtuanya mau memaafkan.
"Udah gak usah nangis terus, tangisan kamu gak akan mengubah apa pun," ujar Ghina seraya mengelus punggung sang putri.
Sebagai seorang ibu jelas ia merasa sangat kecewa, pun dengan suaminya. Maka tak heran jika sang suami begitu meradang dan terbawa emosi, tapi sebisa mungkin ia tak meluapkannya.
Ia ingin mencoba mengikhlaskan dan melapangkan hati untuk menerima semua masalah ini. Sebab kesalahan sang anak pasti takkan pernah lepas dari kesalahannya juga sebagai orangtua. Ia menyadari betul di mana letak kelalaiannya, dan kini ia ingin memperbaiki itu semua.
"Lain kali jangan diulangi lagi, kita gak boleh mengkambinghitamkan orang lain dalam masalah internal keluarga kita. Ayah dan Bunda sudah memaafkan kamu. Iya, kan, Mas?" seloroh Ghina meminta dukungan.
Ghani tak merespons apa pun. Ia sudah kadung malu dengan kerabatnya, entah harus ditaruh di mana muka pria itu kala bertemu pandang dengan sang sahabat. Anak keduanya yang terkenal pendiam berhasil membuat ia malu bukan kepalang.
"Mas!" tegur Ghina.
Hanya deheman yang Ghani lontarkan, setelahnya ia langsung bergegas keluar untuk menenangkan pikiran yang sudah kacau balau. Kepalanya terasa ingin pecah, terlebih saat mengingat masalah demi masalah yang datang menghadang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top