Modus
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Modus pria itu sudah sangat tertebak, bahkan terkesan biasa saja. Tapi anehnya hal itu malah berdampak buruk bagi si wanita."
Saat netranya menjumpai punggung tegap milik seseorang yang sudah sejak tadi dicari dengan segera ia pun berlari serta meneriaki sang empunya nama. Lirikan dari beberapa mahasiswa dan mahasiswi sama sekali tak dihiraukan. Urat malu gadis itu seperti sudah terputus, bahkan dengan santai ia pun membalas lirikan tersebut dengan tatapan sinis.
"Guntur kenapa ninggalin Ama?" tanyanya saat sudah berhasil mensejajarkan langkah dengan sang sahabat.
"Tadi buru-buru, ada kelas pagi. Kamu kan kalau dandan suka lama, padahal hasilnya gitu-gitu aja," sahut Guntur yang berhasil membuat bibir Ama mengerucut gemas.
"Namanya juga cewek, ya kalau lama wajar," sangkalnya tak terima.
"Wajib dihajar maksud kamu," katanya dengan dibarengi kekehan ringan.
Ama mengentakkan kaki sebal. "Guntur tega ih, masa mau hajar calon istri sendiri."
Lelaki itu menggeleng beberapa kali lantas tanpa sadar menepuk pelan puncak kepala Ama. "Becanda."
Setan seperti beramai-ramai berbisik agar ia melakukan kontak fisik, padahal Allah sudah mengingatkan perihal batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom.
Lebih baik ditusuk oleh pasak besi masih lebih baik dibandingkan dengan menyentuh perempuan yang bukan mahram. Terlihat kecil dan sederhana, tapi kesalahan itu jelas tidak bisa disepelekan begitu saja.
Hukum Allah sudah sangat tegas dan tertera jelas dalam Al-Qur'an, dan sudah seharusnya kita menjalankan setiap perintah dan juga menjauhi segala larangan-Nya, termasuk batas wajar dalam hal pergaulan.
Senyum malu-malu ditampilkan gadis itu, ia tersipu bahkan mungkin wajahnya sudah merah merona. Perhatian kecil yang sang sahabat berikan selalu terasa membahagiakan.
"Diantar sama siapa tadi?" seloroh Guntur, keduanya berjalan beriringan menuju taman kampus samping perpustakaan.
"Bang Gilang," jawabnya terdengar malas dan ogah-ogahan.
"Bang Gilang turunin kamu di pinggir jalan lagi?" tebak lelaki itu saat mereka sudah duduk berhadapan di kursi yang tersedia. Rindangnya pepohonan membuat mereka tak dirundung rasa panas akibat sengatan matahari.
Ama menggeleng lantas berujar, "Dianterin sampai gerbang kampus malah, tapi sepanjang jalan Ama diceramahin terus."
Alis Guntur terangkat satu, rasa penasaran sudah mulai menyusup. "Apa?"
Mata Ama mengerjap pelan, ia menatap ke arah sahabatnya cukup lama lalu kemudian berkata, "Ama gak boleh mikirin nikah dulu, kuliah aja yang bener. Nikah muda itu gak mudah, gitu katanya."
Guntur terdiam beberapa saat, dalam hati ia membenarkan apa yang baru saja Ama tuturkan. Menjalani pernikahan itu pasti tidak akan mudah, badai akan tiba-tiba saja datang menghadang tanpa ada pemberitahuan.
Terlebih usia keduanya masih terbilang sangat muda serta belum saatnya untuk membina sebuah keluarga. Emosi yang masih labil serta meletup-letup bisa saja menghancurkan kekokohan rumah tangga.
"Ayah juga larang Ama buat deket-deket Guntur, Ayah nyebelin!"
Helaan napas berat keluar begitu saja. "Ya udah kita jalani dulu aja, untuk ke depannya kita pikirin nanti lagi," tukas Guntur.
"Maksud Guntur?"
Ia menggapai tangan Ama lembut dan mengelusnya, memberikan senyum menenangkan agar sang sahabat tak dirundung kegelisahan.
"Kita jalani seperti biasa aja, sama kaya sebelum aku ngelamar kamu."
"Sahabatan?"
Guntur mengangguk pelan.
"Terus maksud Guntur suruh Ama nunggu tiga tahun itu apa?"
Lelaki itu terdiam sejenak dan menatap penuh rasa tak percaya pada Ama. "Kalau jodoh gak akan ke mana, lebih baik kita sama-sama memantaskan diri aja dulu."
Ama menarik paksa tangannya. "Guntur putusin, Ama, begitu?" Pandangan gadis itu sudah mulai berembun, ada rasa sesak yang mulai menyeruak hebat.
"Sejak kapan kita pacaran? Gak ada kata putus di antara kita," jelasnya yang malah membuat hati Ama teriris perih.
"Jadi selama ini Guntur anggap Ama apa?" Satu tetes air mata sudah mulai lolos, dan dengan cepat ia langsung menghapusnya.
Guntur kembali berkawan geming, dan hal itu membuat Ama semakin meradang kesal. "Guntur jahat!"
Setelahnya ia berlalu meninggalkan sang sahabat yang tak kunjung buka suara, bahkan niatan untuk mengejar saja tidak ada. Ia malah asik menyelami perasannya yang tak keruan.
Ama melangkah dengan tergesa, ia ingin segera pulang dan mengadu pada sang bunda. Hatinya terasa sakit tercabik-abik. Lelaki yang ia kira akan memperjuangkannya dengan sepenuh jiwa, malah menelantarkan begitu saja.
Padahal ia sudah berusaha membujuk sang ayah agar memberikan restu, walaupun gagal dan tak membuahkan hasil sama sekali. Tapi setidaknya ia pernah berjuang, tidak hanya diam dan modal omong kosong belaka saja.
Kepalanya mendongak dan menatap ke arah langit yang sudah mulai dipenuhi awan hitam, sudah bisa dipastikan bahwa sebentar lagi pun hujan akan turun. Ia ingin melepaskan beban pikiran dengan bermain hujan-hujanan, sepertinya itu bukanlah ide yang buruk.
Gemericik hujan yang mulai membasahi bumi membuat orang-orang berkumpul dan berteduh mencari perlindungan, terkecuali gadis berkerudung merah muda yang malah asik berputar-putar di tengah rintik hujan yang semakin mengalir deras.
Tatapan aneh dari orang-orang sekitar sama sekali tak membuat kesenangannya terusik, ia malah berteriak dan berlarian ke sana-kemari. Meluapkan gejolak dalam hati yang sedari tadi dirasai. Sebuah luka yang ia tutup rapat dengan tawa dan senyum palsu ceria.
Namun kehadiran seorang pemuda bertubuh jangkung berpenampilan casual, berkemeja kotak-kotak dengan kancing yang dibiarkan terlepas serta dilengkapi kaus hitam polos di dalamnya. Tak ketinggalan celana jeans serta sepatu kets putih bergaris hitam semakin menambah gaya anak muda trendi masa kini.
"Ngapain?" tanya sang gadis heran sekaligus bingung, keningnya terlipat dan membentuk beberapa garis.
"Handphone saya jatuh, tapi gak tahu di mana. Bisa tolong miss call?" ucapnya setelah meraup wajah yang basah karena kucuran hujan yang masih belum kunjung reda.
"Kenapa saya?" tanya gadis tersebut, ia seperti tak ingin melakukan pinta sang pria. Keraguan sangat terlihat jelas di sana.
"Hanya kamu harapan saya satu-satunya," pemuda itu melirik ke arah kerumunan yang tengah menepi di halte, "mereka tidak ada yang mau membantu."
Antara ikhlas dan tak ikhlas perempuan itu pun mengangguk ragu, ia sedikit menepi ke halte agar gawainya tak basah.
"Berapa nomornya?" tanyanya setelah mengambil gawai di dalam tas. Benda canggih itu terbungkus plastik putih dan hal tersebut mengundang kekehan dari sang lawan bicara.
"Apa kamu tak mampu untuk membeli case handphone anti air?"
Perempuan itu mendengkus sebal. Seenaknya saja menuduh, ia bukan tak mampu tapi tak ingin. Lagi pula jika ada yang gratis kenapa harus memilih yang mengeluarkan modal.
"Dasar gak tahu diuntung, udah sukur mau dibantuin, eh malah ngehina!"
"Maaf," katanya tak enak hati. Ia hanya berniat meledek saja, tapi tanggapan yang diberikan perempuan di depannya malah berlainan.
"Berapa nomornya? Buang-buang waktu tahu gak sih. Hujannya keburu reda nanti," protes sang gadis penyuka hujan tersebut.
Pemuda itu menyebutkan 12 digit nomor ponselnya, dan tak lama dari itu terdengar suara deringan nyaring yang berasal dari dalam tas punggung yang ia gunakan.
"Makasih nomornya, lain waktu akan saya hubungi."
Selepas mengatakan kalimat itu sang pemuda langsung melesat pergi, meninggalkan sang gadis yang kini diam seribu bahasa. Otaknya masih berceceran dan belum terkumpul sempurna.
Sampai akhirnya ....
"Dasar modus!" teriaknya bersamaan dengan suara guntur yang begitu menggelegar memekakkan telinga.
Mendengar hal itu hatinya kembali dirundung pilu, ia teringat akan seseorang. Sedangkan orang-orang di sana sibuk merapalalkan doa karena besarnya suara kilat dari petir tadi.
Senyum miring sedikit tersungging. "Ama lupa kalau guntur itu gak selamanya berkawan dekat dengan hujan, ada kalanya dia menjadi musuh yang memusnahkan."
Satu tetes air mata kembali terjatuh. "Guntur dan hujan gak akan pernah bisa bersama, hanya bisa berdampingan tanpa bisa hidup berpasangan."
"Ama!"
Suara teriakan seseorang membuat segala angannya terbang entah ke mana. Ia menatap penuh akan rasa tak suka saat melihat siapa gerangan dalangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top