Menunggu

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Menunggu dalam ketidakpastian bukanlah hal yang patut untuk diperjuangkan. Lebih baik lupakan serta mundur secara perlahan."

Setelah kepulangan keluarga Guntur, Ama tak lantas terbebas dari introgasi sang ayah. Gadis muda yang baru akan beranjak dewasa itu dibuat mati kutu karena kalimat-kalimat sarkas yang dilayangkan ayahnya. Ia hanya mampu diam serta sibuk berkelana dengan angan yang beterbangan ke mana-mana.

"Itu sama saja kamu bertahan dalam ketidakpastian. Kenapa kamu mengiyakan tawaran Guntur, Ama?"

Ghani begitu geram saat sang putri malah bersedia untuk menunggu. Ia menolak pinangan Guntur karena feeling-nya mengatakan tidak, dan kini sang putri malah terjebak oleh keputusannya sendiri.

"Ayah gak habis pikir dengan jalan pikiran kamu," cerca sang ayah semakin membuat Ama dirundung rasa takut.

"Ama sayang Guntur, Ayah," lirihnya berharap sang ayah mau mengerti dan memahami.

Ghani menghela napas berat, ia menarik dagu sang putri agar menatap ke arahnya. "Kamu sudah salah memilih jalan, kalau Guntur benar-benar serius sama kamu, dia gak akan membiarkan kamu menunggu sampai selama itu."

"Ayah yang minta, bahkan Ayah juga yang menolak lamaran Guntur," sanggah Ama. Takut sebenarnya tapi bibirnya berontak menuntut keadilan.

"Ayah gak minta Guntur untuk membuktikan selama itu, dan Ayah ingin yang terbaik untuk masa depan putri ayah. Apa itu salah?"

Ama menggeleng lemah. "Ama tahu, tapi Ama juga bingung harus berbuat apa. Ama suka Guntur, Guntur juga suka Ama, jadi gak ada salahnya, kan kalau Ama mau nunggu?"

Ghani mengelus lembut puncak kepala sang putri. "Perasaan itu mudah berubah dan berpindah haluan, apalagi kondisi kalian tidak saling terikat."

"Ya udah kalau gitu Ayah kasih restu Ama sama Guntur buat tunangan aja," sarannya yang dihadiahi helaan napas berat oleh sang ayah.

"Ama tahu nikah itu apa? Tunangan itu apa?" seloroh sang ayah yang langsung dibalas anggukan cepat.

"Nikah itu tinggal berdua terus punya anak. Kalau tunangan, tukar cincin kan?"

Jawaban polos Ama jelas mengundang gelengan dari sang ayah dan juga bundanya. "Kamu masih muda, pikiran kamu belum cocok untuk tunangan, apalagi nikah. Kalau mau tukar cincin besok ayah belikan."

Gadis itu bersorak senang. "Belinya sepasang yah, Ayah, biar satunya Ama kasih Guntur." Sang ayah langsung memijat pelipisnya yang terasa nyut-nyutan.

"Tidur sana, udah malam," titah Ghani pada akhirnya. Bisa naik darah juga lama-lama jika ia terus meladeni kepolosan sang putri.

"Janji dulu sama Ama kalau besok Ayah bakal beliin cincin," tuntutnya yang mau tak mau sang ayah angguki.

Ama mengecup lembut pipi Ghani. "Ama sayang Ayah," katanya dan dibalas anggukan serta sunggingan tipis.

"Sama Bunda gak?"

Ama bergegas menghampiri sang bunda yang duduk di sofa depannya. "Sayang Bunda juga," tutur gadis itu riang.

Ghina menangkup wajah putri bungsunya penuh kelembutan, memberikan beberapa kecupan di kedua pipi, serta pelipis sang putri secara bergantian. "Istirahat, jangan lupa berdoa."

Ama mengangguk patuh, bahkan gadis itu pun memberikan hormat selayaknya pada bendera merah putih. "Siap laksanakan."

Langkah gadis itu begitu ringan menuju kamar yang terletak di lantai dua, bahkan ia tak segan untuk bersenandung. Lagu berjudul hujan yang dipopulerkan oleh Utopia menjadi pilihan.

"Anak kamu tuh, bikin kepala Mas puyeng aja," ungkap Ghani saat sang putri sudah menghilang dari pandangan.

"Anak Mas juga, ya kali aku bisa hamil sendiri." Guyonan sang istri sedikit bisa menghilangkan rasa pening yang tengah dirasai.

"Kenapa Mas menolak lamaran Guntur?" tanya Ghina setelah mendudukkan tubuh, tepat di sisi sang suami.

Ghani mengelus lembut puncak kepala istrinya. "Mas belum bisa melepas Ama, dia itu masih polos. Harus dijaga ekstra, mulai sekarang jangan biarkan dia terlalu banyak bergaul dengan Guntur."

"Guntur kan anak baik-baik, aku percaya dia bisa jaga Ama," bela sang istri.

"Siapa juga yang bilang Guntur jahat? Dia baik, tapi kalau dibiarkan terus Mas takut mereka akan nekad melakukan hal yang tidak-tidak agar bisa mendapatkan restu untuk menikah," ungkap Ghani mengutarakan kekhawatirannya.

Zaman sekarang itu makin gila, jika restu belum kunjung dikantongi bukan dukun lagi yang dijadikan sebagai opsi. Melainkan merampas paksa kehormatan si wanita dan membuatnya mengandung di usia muda.

Padahal sudah tertera jelas di dalam Al-Qur'an bahwa zina itu dilarang serta diharamkan, jangankan untuk berbuat zina hanya sekadar mendekatinya saja sudah mendapat peringatan keras. Tak ada keberkahan dari rumah tangga yang diawali oleh sebuah perzinahan.

Terlebih yang akan menjadi korban bukan hanya si wanita, melainkan janin yang kelak akan dilahirkan pun ikut menerima imbasnya. Begitu besar bahaya zina dan seharusnya kita semua bisa menjaga diri dari hal yang tidak Allah ridai.

Jika masih ada saja segelintir orang yang menyangkal serta menghalalkan pacaran, percayalah itu tanda-tanda akhir zaman. Memang tidak semua pacaran berakhir zina, tapi zina berawal dari pacaran.

Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik menghindari daripada menyesal di kemudian hari. Lebih baik benahi diri dan juga hati untuk menjemput jodoh yang dipersiapkan Sang Illahi Rabbi.

Ghina mengangguk paham. Wajar saja jika seorang ayah mengkhawatirkan putrinya, sama halnya seperti yang dialami oleh sang suami. "Tapi pelan-pelan aja, aku takut Ama lagi yang nekad. Orang kalau lagi dimabuk asmara itu bisa mendadak bodoh dan gak bisa berpikir logis."

"Mulai besok biar Gilang yang antar jemput Ama, lagi pula mereka satu kampus juga. Selama ini kita terlalu membebaskan gerak Guntur hingga mereka terlalu melibatkan perasaan," tuturnya.

"Tapi aku gak enak sama orangtuanya Guntur, kita kan berkawan dekat sama mereka. Bagaimana kalau gara-gara ini pertemanan kita ikut hancur?" tanya Ghina mengutarakan kecemasan yang tengah dirasa.

"Selagi kita berbuat baik pada mereka, dan tidak membuat masalah, In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja," tutur Ghani menenangkan sang istri.

"Aku udah sreg kalau Guntur jadi mantu kita, tapi malah Mas tolak," cetus sang istri yang dihadiahi kekehan ringan oleh suaminya.

"Kalau jodoh gak akan ke mana. Mas mau Ama fokus sama kuliahnya dulu, lagi pula dua kakaknya saja belum ada tanda-tanda akan menikah. Gak baik kalau Ama ngelangkahin Gilang sama Gilsha."

Tak ada sanggahan lagi yang istrinya layangkan, ia hanya mampu mengangguk dan mengikuti apa pun keputusan sang suami. Ia yakin bahwa apa yang terjadi kini sudah dipikirkan matang-matang oleh Ghani.

Tugasnya hanya mendampingi serta memberikan dukungan, jika memang jalan yang dipilih keliru barulah ia akan ikut turun tangan untuk menegur. Saat ini ia mempercayakan sepenuhnya pada sang suami, berharap memang inilah jalan yang sudah Allah ridai.

Ghani mengelus puncak kepala sang istri penuh sayang, ia tahu kegelisahan yang tengah Ghina rasakan. Tapi ia tak bisa mengikuti apa yang istri serta putrinya inginkan, ia harap ini adalah keputusan terbaik yang tidak akan membuat pihak mana pun dirundung kekecewaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top