Mengambil Sebuah Keputusan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Cinta itu menjaga, bukan malah menghalalkan segala macam cara untuk mengejar ia yang dicinta."
"Ama gak mau pindah kuliah, Ayah!" putusnya tak bisa diganggu gugat.
"Ayah sudah urus semuanya, kita akan segera pindah," bujuk Ghani berharap sang putri mau memahami.
"Gak mau!"
Lelaki yang tak lagi muda itu menghela napas berat. Ia sudah memutuskan untuk pindah ke luar kota, meninggalkan segala kepahitan di Ibu kota tercinta. Tapi si bungsu begitu enggan dan tak mau menurut.
Mungkin saat ini semuanya berjalan baik-baik saja, bahkan tak ada sedikit pun desas-desus dari para tetangga. Tapi siapa yang bisa menjamin untuk ke depannya, terlebih usia kandungan Ghilsa yang pasti akan semakin besar.
"Ama mau tinggal di sini sama Bang Gilang. Gak mau ikut Ayah sama Bunda." Kalimat itu meluncur bebas dari bibir tipis nan mungil Ama.
Ghani menggeleng tegas tak setuju. Ia takkan membiarkan putri bungsunya tetap tinggal bersama Gilang, terlebih ia sangat mengkhawatirkan Ama.
Kejadian yang menimpa Ghilsa berhasil membuat Ghani paranoid dan begitu mengekang gerak Ama. Bahkan kini gadis berusia 19 Tahun itu hanya keluar rumah pada saat pergi kuliah saja. Itu pun atas dampingan ketat sang kakak.
"Bang Gilang sebentar lagi lulus, tanggung, makanya Bang Gilang gak ikut kita pindah," terang Ghani.
"Ayah gak adil. Bang Gilang boleh, Ama kok enggak?!"
Ghina yang sedari tadi diam dan hanya menyimak akhirnya ikut angkat suara, "Kali ini aja ikutin permintaan Ayah sama Bunda."
"Ayah sama Bunda jahat. Gak sayang sama Ama. Bilang aja kalau kalian mau pisahin Ama dari Guntur, kan!"
Ghina menggeleng dan mengelus lembut puncak kepala sang putri. "Bukan gitu, ini demi kebaikan kita sekeluarga. Ama sayang sama Mbak Ghilsa, kan? Mau yah pindah."
Air mata sudah mulai membayang dan siap untuk diluncurkan. Ia tak tahu apa-apa, tapi kenapa ia juga harus menerima imbasnya. Ia tak mau.
"Kenapa sama Mbak Ghilsa? Kenapa harus pake pindah segala," protesnya.
"Ama tinggal sama Gilang aja di sini, Yah, Bun," kata sang kakak tak tega saat melihat adik bungsunya menangis terisak seperti itu.
Walaupun mereka selalu ribut seperti tikus dan kucing, tapi rasa sayangnya sama sekali tak berkurang. Ia sangat menyayangi Ama, tapi mungkin caranya dalam mengungkapkan berbeda dan sedikit tak wajar.
"Ama sayang Abang," ujarnya dan langsung berlari menghampiri Gilang yang tengah duduk di sofa seberang.
Gilang menyentil kening sang adik pelan. "Kalau gini aja bilang sayang-sayangan, biasanya juga, 'Bang Gilang jahat'."
Ama mencebik, tapi ia memeluk erat tubuh kakak sulungnya itu dengan sangat erat, bahkan Gilang merasa pasokan udara sangat berkurang.
"Le-le-lepas, Ma," pinta Gilang dengan napas tersenggal-senggal. Adiknya itu memang menyebalkan, itu sama saja seperti ia ingin melenyapkan nyawanya.
"Gorok aja sekalian leher Abang, Ma. Sesek napas ini," omel Gilang saat Ama sudah melepaskan rengkuhan.
Ama menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lantas berujar, "Maaf, Bang gak sengaja."
"Maaf-maaf, enteng banget tuh mulut kalau ngomong—"
"Stop!"
Bibir Gilang langsung terkatup rapat kala mendengar suara sang bunda dengan diiringi pelototan.
"Gimana kalian mau tinggal berdua kalau tiap hari kerjaan kalian ribut terus. Gak ada. Ama akan pindah ikut Ayah, Bunda, sama Ghilsa," tukas Ghina tak lagi bisa ditawar-tawar.
"Masa Bunda tega biarin Gilang tinggal sendirian di sini. Siapa yang akan kasih Gilang makan? Siapa yang akan urusin Gilang? Cuci baju? Beres-beres ru—"
Perkataan Gilang terhenti secara paksa saat mendengar kalimat sarkas sang ayah. "Manja!"
Gilang mendengkus dan memutar bola mata malas. Ayahnya itu seenak jidat saja menghakimi, padahal Ghani pun tak jauh beda darinya. Ingin selalu dilayani.
"Mandiri dikit dong jadi laki-laki. Jangan apa-apa mau dilayani!"
Lelaki yang kini sedang berusaha keras untuk menyelesaikan skripsi itu bungkam. Penuturan ayahnya sangat amat menohok dan menyingung.
"Katanya mau nikah muda, masa ngurus diri sendiri aja gak bisa. Anggap aja ini latihan supaya nanti kamu gak nyusahin Aira," ungkap Ghina yang berhasil membuat Gilang tersedak serta terbatuk-batuk.
Perasaan dirinya tak pernah mengatakan ingin menikah muda? Malah ia tak siap saat sang bunda memintanya untuk menikahi Aira. Sepertinya ada yang salah.
"Bunda bilang apa tadi?" tanyanya memastikan.
"Ayah sama Bunda sudah bersepakat untuk menikahkan kamu sama Aira, tapi dengan catatan kamu harus bisa bekerja paruh waktu untuk mencukupi biaya hidup kalian berdua," terang Ghani yang sumpah demi apa pun membuat Gilang melongo tak percaya.
Belajar dari pengalaman. Ia tak ingin putranya melakukan hal gila seperti yang dilakukan pria tak bertanggung jawab itu pada Ghilsa. Lebih baik menikah muda daripada berzina di usia muda.
"Gilang belum siap, Yah," ujarnya. Ia memang belum benar-benar matang dalam segi finansial maupun mental. Ia tak yakin akan bisa menjadi suami yang baik untuk Aira.
"Kamu bisa jamin gak akan berbuat macem-macem kalau Ayah sama Bunda tinggal di sini sendiri?"
Bola mata lelaki itu berkeliaran ke sana-kemari. Ia sedikit bingung dengan maksud dari kata 'macam-macam' yang ayahnya lontarkan.
"Satu macem aja, Yah, bolehin Gilang pacaran sama Aira."
Ghani langsung menghadiahi pelototan tajam pada si sulung. Ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kalau kamu cinta sama Aira, nikahi dia. Kalau kamu keukeuh mengajaknya pacaran, itu sama saja kamu gak sayang sama Aira. Kamu mau menjerumuskan Aira pada kubangan zina," jelas Ghina berharap bisa sedikit membuka pikiran sang putra.
"Tapi, kan masalahnya gak sesederhana itu, Bun. Akadnya emang cuma butuh lima menit, tapi jalaninnya seumur hidup. Itu gak main-main," sangkalnya.
Ghina mengangguk paham. Ia mengerti akan keresahan dan rasa takut yang kini tengah menghimpit putranya. Tapi ia tak rida jika Gilang memilih jalur pacaran untuk merealisasikan cintanya.
"Siapa juga yang bilang nikah itu main-main. Menikah itu perkara serius dan harus dipikirkan secara matang. Yakinkan hati kamu, dan luruskan niatnya," kata Ghani.
"Gimana kalau Gilang ditolak kaya si Geludug?" tanya Gilang cukup membuat Ghani terkejut. Ia tak menduga jika sang putra akan menanyakan hal tersebut.
"Urusan diterima atau ditolaknya biar kita pikirkan nanti, yang penting kita sudah berikhtiar."
Kalimat penyelamat itu diungkapkan Ghina karena sang suami yang tak kunjung buka suara.
"Gilang belum siap ketemu orangtuanya Aira, bisa jiper Gilang kalau nanti ditanya macam-macam. Ayah juga sadis waktu sama si Geludug, pasti orangtuanya Aira gak akan jauh beda. Apalagi Aira anak tunggal," ucap Gilang sudah merinding sebelum berperang.
"Ya udah terima nasib aja, kalau emang ditolak, kan impas. Bang Gilang gagal nikah muda sama kaya Ama," oceh Ama dengan santainya.
Gilang hanya melirik sinis sang adik, bisa-bisanya Ama memikirkan ihwal nikah mudanya yang gagal. Adiknya itu memang sangat menyebalkan.
"Terus selama satu tahun pacaran itu kamu belum pernah ketemu sama orangtua Aira?" Gilang mengangguk guna menjawab pertanyaan sang ibu.
Ghina menggeleng beberapa kali. "Dasar nyali kerupuk, kesiram air langsung melempem. Pacarin anak gadis orang aja berani, giliran disuruh nikahin ogah. Kurang-kurangin tuh!"
"Bisa digorok Gilang sama Abinya Aira, Bun. Orang tiap kali jemput juga Gilang nunggu depan gang rumahnya," ucap lelaki itu blak-blakkan.
Ghani berdecih meremehkan. Nyali putranya itu sangat tidak jantan, berbeda dengan ia pada saat masih muda. Lebih berani meminang dibandingkan dengan mengajak pacaran.
"Kalau kamu emang bener-bener udah sreg sama Aira, Ayah sama Bunda akan ngelamarin Aira buat kamu. Supaya kita juga tenang ninggalin kamu," tutur Ghani.
"Ayah bisa jamin Gilang gak akan ditolak?"
Ghani mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Ya tergantung, bagaimana kamu bersikap nanti di depan orangtuanya Aira. Omongan kamu bisa dipegang dan dibuktikan gak. Jangan kaya Guntur, yang cuma modal omong kosong dan janji-janji doang."
Mendengar nama sang sahabat disebut dengan semangat Ama menyela, "Enak aja Ayah kalau ngomong suka sembarangan. Guntur gak cuma janji doang, liat aja nanti. Tiga tahun ke depan Guntur pasti akan datang dan lamar Ama."
Ghani berdecak penuh rasa tidak percaya. "Iya lamar kamu, tapi kamunya pas udah jadi istri orang. Telat. Jangan percaya sama gombalan dan janji manis seorang laki-laki."
Ama mendengkus tak terima. "Ayah mah gitu, Bang Gilang aja dibolehin nikah muda, giliran Ama malah dilarang-larang. Kasih sayang Ayah berat sebelah."
"Kamu masih bocil. Gak cocok jadi istri!" sembur Gilang yang membuat Ama kesal bukan kepalang.
"Bang Gilang jahat!"
Gilang malah tertawa terpingkal-pingkal, bahkan tanpa segan ia mengacak gemas puncak kepala sang adik. "Bang Gilang sayang Ama." Ia merengkuh tubuh adiknya penuh kehangatan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top