Mencoba Berlapang Dada
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Di kala seorang anak terpuruk, sudah seharusnya orangtua ikut menguatkan dan mengokohkan topangan. Bukan malah meninggalkan, apalagi menghakimi tanpa belas kasihan."
Anak itu diibaratkan seperti kertas putih, polos serta bersih. Sedang orangtua diibaratkan seperti pena yang akan mengukir sejarah bagi kehidupan putra dan putrinya. Apa yang tertulis di kertas putih itu, maka hasilnya takkan beda jauh. Berhasil atau tidaknya seorang anak, tergantung pada didikan orangtuanya.
Begitu pula dengan yang saat ini tengah Ghani rasakan, ia merasa telah gagal, ia sudah kecolongan. Salah satu putrinya yang tak pernah membuat ulah itu, sekarang malah bertingkah, bahkan sampai hamil di luar nikah. Itu adalah mimpi buruk bagi seorang ayah.
Perempuan itu diibaratkan seperti gembok, sedang lelaki kuncinya. Jika sang perempuan sudah menyerahkan diri hingga dengan senang hati memberikan akses untuk lelakinya membuka gembok tersebut, maka beginilah jadinya.
"Sejak kapan kamu menyembunyikan hal ini dari Ayah dan Bunda?" tanya Ghani tegas.
Kini ia sedang berbicara empat mata dengan sang putri di ruang kerjanya. Sedangkan Ghina ambruk tak sadarkan diri dan tengah terbaring di kamar.
Ghilsa diam dengan tangan bergerak resah memilin ujung pakaian. Ia tak kuasa untuk bertemu tatap dengan sang ayah.
"Jawab, Ghilsa!"
Intonasi tinggi itu semakin menjadi kala ia tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang putri.
"Ti-ti-ga bulan, Yah," cicitnya semakin menunduk. Dentingan air mata kembali berjatuhan di kedua sudut netra perempuan itu.
Napas Ghani naik turun dengan tempo yang begitu cepat. Selama itukah Ghilsa menyembunyikan kehamilannya? Dan bodohnya ia tak mengetahui hal tersebut. Ia sudah gagal dalam mendidik serta menjaga sang putri.
"Siapa laki-laki itu?"
Ghilsa hanya menatap sang ayah dan tak sedikit pun berani untuk buka suara. Rasa takut sudah kian menyeruak hebat, dan ia tak yakin akan bisa lolos dari amukan sang ayah.
Mengetahui Gilang berpacaran saja sudah meradang, apalagi sekarang? Sudah bisa dipastikan ia akan kena damprat habis-habisan.
Ghani menghampiri Ghilsa yang duduk berseberangan dengannya. Sekuat tenaga ia meredam emosi agar tak semakin menjadi, serta melukai hati maupun fisik sang putri.
"Maafin Ghilsa, Ayah," katanya penuh rasa sesal.
Ghani terdiam beberapa saat sampai akhirnya ia merengkuh tubuh ringkih sang putri penuh kelembutan. "Salah Ayah apa, sampai kamu tega ngelakuin ini?"
Ghilsa terisak di dada sang ayah, ia meluapkan segala keresahan yang selama ini dipendamnya seorang diri saja. Ia sudah salah dalam mengambil langkah, dan kini hanya rasa sesallah yang dirasakan olehnya.
Ia terlalu bodoh dan naif karena percaya begitu saja akan bujuk rayu teman seprofesinya. Ia tak pernah mendapatkan perhatian lebih dari lawan jenis, dan pada saat itu ia merasa sangat dicintai.
Namun sayang waktu itu hanya sekejap, dan seketika pun lenyap. Ia yang diyakini akan bertanggung jawab serta menikahi, malah pergi dan tak lagi bisa dihubungi.
"Siapa laki-laki yang sudah merampas kehormatan kamu?" seloroh Ghani lembut, berharap dengan cara seperti ini sang putri bisa berterus terang.
Ia tak pernah melihat ataupun mendapati Ghilsa tengah berdua-duaan dengan seorang pria, bahkan terkadang ia pun seringkali menanyakan kapan anak keduanya itu memperkenalkan calon pendamping.
Namun tanggapan Ghilsa selalu enggan dan menyangkal bila sang ayah sudah menanyakan hal tersebut. Tapi sekarang ia malah sudah berbuat hal yang jauh dari bayangan serta perkiraan, dan itu sangat mengecewakan.
"Laki-laki itu tahu kalau kamu hamil?" Ada nada rendah penuh rasa tak rela kala ia mengungkapkan kata terakhirnya.
Perempuan itu mendongak dan mengangguk ragu, lantas kembali menunduk dan bergelung dalam pelukan sang ayah.
Ghani mengelus punggung sang putri, ia menumpukan dagunya di kepala Ghilsa. "Dia gak mau tanggung jawab."
Itu bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan yang langsung Ghilsa balas anggukan. Ghani semakin merapatkan tubuhnya pada sang putri, berharap dengan cara seperti ini ia bisa sedikit membuat Ghilsa tenang.
"Ada Ayah sama Bunda yang akan jaga dan rawat kamu," katanya sebisa mungkin mengukir senyum tipis.
Jika saja emosi bisa menyelesaikan permasalahan pasti ia sudah meluapkannya sedari tadi. Kecewa itu sudah pasti, tapi ia tak bisa terus menyalahkan sang putri. Mau bagaimanapun Ghilsa tetaplah putrinya, darah dagingnya.
Pria yang sudah tak lagi muda itu melepaskan rengkuhan. Ia memegang dagu sang putri agar menatap padanya. "Ayah bahagia karena sebentar lagi Ayah akan jadi kakek," ucapnya dengan diiringi dentingan air mata di salah satu sudut netra.
Tangis Ghilsa semakin menjadi, ia bisa melihat ada kepiluan dari setiap kata yang ayahnya lontarkan, dan itu sangat menohok serta menyakiti hati. Ia sudah gagal menjadi anak yang bisa dibanggakan.
Bahkan kini, ia tengah melemparkan kotoran tepat di wajah ayah serta bundanya. Sungguh demi apa pun jika saja ia bisa memutar waktu, ia takkan pernah mau terlibat hubungan dengan pria yang sudah menodainya itu.
"Ghilsa gak mau buat Ayah sama Bunda malu, Ghilsa mau gugu—"
Ghani langsung menggeleng tegas dan memotong, "Ayah akan lebih malu kalau kamu melenyapkan darah daging kamu sendiri. Kita akan rawat dia sama-sama."
"Tapi, Yah—"
"Jangan mikir macem-macem," selanya seraya mengelus puncak kepala sang putri penuh kelembutan.
Dalam keadaan seperti ini ia tak berhak untuk menghakimi apalagi memarahi, sebab yang saat ini putrinya butuhkan hanyalah dukungan serta uluran tangan. Sebagai seorang ayah jelas ia merasa telah gagal dan tak pantas untuk menyandang status ayah.
Namun untuk sekarang ini, yang bisa ia lakukan hanya berserah serta menfokuskan diri pada Ghilsa. Selama ini ia terlalu sibuk mengurusi si bungsu, hingga membuat Ghilsa kurang perhatian.
"Mulai sekarang kamu jangan kerja lagi, jangan capek-capek. Kamu harus pikirin kondisi janin yang kamu kandung," tutur Ghani mengingatkan.
Perhatian dan kasih sayang yang sang ayah berikan malah semakin membuat perasaan bersalahnya semakin menggunung. Ia sudah sangat berdosa dan membuat malu keluarga, dan mungkin ia pun akan menggeret paksa kedua orangtuanya ke neraka. Nauduzbilah.
Keduanya berjalan beriringan keluar, Ghilsa tak henti-henti mengucapkan kata maaf serta terima kasih. Ia sangat bersyukur karena tak dinistakan oleh ayah dan bundanya. Beruntung nasib baik masih berpihak.
Ghilsa kembali ke kamarnya, sedangkan Ghani melajukan langkah menuju kamar untuk melihat keadaan sang istri. Sepertinya hari ini ia akan absen untuk tak masuk kerja. Kepalanya pening memikirkan banyak hal, terlebih masalah yang kini menghimpit Ghilsa.
Ia memikirkan nasib keluarganya yang pasti akan mendapat banyak cemooh serta omongan pedas para tetangga. Ia mungkin akan tahan, tapi ia tak bisa menjamin anak dan istrinya akan menerima hal itu.
Saat ia memasuki kamar, betapa terkejutnya kala ia melihat Ghina yang tengah menangis pilu di balik selimut. Dengan lembut ia pun merengkuh tubuh lemah sang istri.
"Sabarkan hati kamu. Kita harus kuat untuk menghadapi ujian ini, Ghilsa membutuhkan kita," bisiknya berharap tangis Ghina sedikit mereda, namun pada nyatanya malah semakin kencang saja.
"Aku gagal, Mas, aku gagal!" racaunya.
Ghani menggeleng kuat, ia membangunkan istrinya agar duduk tegak dan menghadap ke arahnya. "Bukan kamu, tapi kita. Kita yang belum bisa menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak."
Tangis Ghina semakin terdengar memilukan, ia menjatuhkan kepala di dada sang suami dan terisak di sana. "Seharusnya aku peka dan bisa memperhatikan Ghilsa, tapi aku malah terlalu fokus dan mengkhawatirkan Ama. Aku lalai, Mas."
"Ssstt ... jangan ngomong gitu. Yang sekarang harus kita lakukan hanya memberikan perhatian lebih pada Ghilsa. Dia membutuhkan dukungan kita," tutur Ghani berharap sang istri berhenti menyalahkan diri sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top