Melupakan

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika ada lelaki yang baik dan berniat serius ingin meminang, alangkah lebih baiknya disambut dengan tangan terbuka lebar."

Melupakan bukanlah sesuatu yang mudah, terlebih jika hati belum sepenuhnya menginginkan. Dan harus diingat pula bahwa kenangan bersamanya masih terngiang jelas dalam ingatan. Bahkan sangat sulit untuk dienyahkan, mungkin akan memerlukan waktu yang panjang.

Move on bukan perihal tentang mencari pengganti yang baru lantas meninggalkan yang lama. Tidak, tapi move on yang sebenar-benarnya adalah kala hati sudah tak lagi mengingat, dan pikiran yang juga sudah tak lagi tertuju padanya. Tapi itu sulit dan sampai sekarang ia belum mampu melakukannya dengan baik.

Kala Hujan dan Guntur
Saling Berjauhan

Berpisah itu mudah
Melepaskan bayang-bayangnyalah yang susah
Hati ini sudah terpaut dan sulit enyah
Jiwa dan raga ini pun sudah sangat lelah

Aku ingin menyerah saja,

Menyerah pada hati yang tak kunjung ingin berpaling dari sosoknya

Entah harus sebanyak apa kata-kata yang ia rangkai guna menyuarakan isi hati yang kita sudah merongrong minta didengarkan. Batinnya menjerit meminta perhatian, tapi yang bisa ia lakukan hanya diam dan merenung tak jelas di kamar.

Ayah dan bundanya begitu kejam, terlalu mudah memutuskan di tengah gejolak dada yang meronta menyuarakan penolakan. Ia tak ingin ber-ta'aruf dengan lelaki modus yang baru ditemuinya tiga kali itu. Mereka belum saling mengenal, apa jadinya jika kini harus terlibat hubungan.

Tangannya menggapai gawai yang berada di nakas tak jauh dari tempat tidur, mengetik sebuah pesan pada seseorang yang beberapa waktu lalu coba untuk ia lupakan. Simcard-nya sudah dikembalikan, tepat dua hari yang lalu dan kini ia hanya ingin sekadar bertukar kabar. Mungkin untuk kali terakhir.

Gunturnya Hujan💦

Guntur besok ada yang mau ta'arufin Ama

Begitulah isi pesannya, ia menunggu balasan tapi tak kunjung juga menerima notifikasi. Gadis itu semakin frustrasi kala pesan tersebut hanya dibaca saja. Air mata mulai turun begitu saja, harapannya untuk bersama memang sudah pupus dan takkan pernah terealisasi.

Guntur dan hujan memang saling berdampingan dan tak terpisahkan, tapi untuk kali ini hujan turun tanpa dibarengi guntur yang mengiringi. Rasa sakit itu kian menjadi kala ia mendapati sang bunda yang sudah berdiri di ambang pintu sana.

"Bunda jahat. Bunda udah gak sayang Ama lagi!" ujarnya putus asa. Ia tak berani menatap sang bunda, bahkan kala bundanya sudah duduk di hadapan gadis tersebut.

"Jangan gitu ah, besok kan cuma ketemu aja. Gak bakal diterusin kalau emang Ama gak mau, kan cuma ta'aruf, belum tentu jadi juga, kan?" ujar Ghina sebisa mungkin membuat pikiran sang putri sedikit terbuka.

Ta'aruf adalah proses pengenalan antara dua belah pihak, tidak bertujuan memaksa salah satunya. Jika memang keberatan, proses tersebut bisa dipending dan tidak dilanjutkan. Sebab untuk mencapai ke jenjang pernikahan, memang tidak mudah dan perlu banyak persiapan.

Seseorang yang memutuskan untuk ber-ta'aruf tidak menjamin akan berlabuh indah di pelaminan, adakalanya harus bubar dan tenggelam di tengah lautan. Bukan karena prosesnya yang keliru, melainkan karena Allah yang memang tidak mengizinkan mereka untuk bersatu.

"Ama gak suka cowok modus itu, Ama takut, Bunda," adunya terisak pelan. Dengan lembut Ghina mengelus surai sang putri yang tergerai.

"Itulah fungsinya ta'aruf, mempererat hubungan silaturahim yang sebelumnya tidak pernah terjalin. Kita akan lebih mengenali sosok pemuda itu kalau kita sudah berbincang banyak dengannya. Mau yah?" bujuk Ghina yang langsung dihadiahi gelengan sang putri.

"Ama belum siap," cicitnya. Sang ibu menghela napas singkat, ia membawa tubuh Ama dalam dekapan, dan tangis gadis itu pecah tak tertahankan.

"Dengerin Bunda," pinta Ghina seraya mengangkat dagu Ama agar menghadap padanya. Tak lupa ia pun menghapus air mata sang putri dengan kedua ibu jari.

"Ayah sama Bunda melakukan hal ini untuk kebaikan Ama, bukan bermaksud buruk dan menjerumuskan Ama. Kita gak mau Ama terlibat hubungan tak halal dengan laki-laki yang belum jelas menjadi jodoh Ama, kalau ada yang serius kenapa gak disegerakan?" tuturnya lembut agar sang putri tidak tersinggung dan memberontak.

"Hati Ama cuma buat Guntur, bukan kakak modus itu, Bunda," selanya yang malah dihadiahi kekehan.

"Ama tahu, kan kalau Allah itu maha membolak-balikkan hatis manusia? Ama gak usah risaukan hal itu, selagi jalan yang kita tempuh gak menyalahi aturan, ya In syaa Allah akan dilancarkan," terang Ghina dengan sunggingan lebar menenangkan.

Gadis itu dengan berat hati mengangguk. "Ama mau, tapi Ama gak janji kalau mau lanjutin proses ta'arufnya."

Ghina menyambut sukacita keputusan sang putri, dengan tanpa sungkan ia mendaratkan beberapa kecupan di dahi serta kedua pipi Ama secara bergantian. "Ya udah, sekarang Ama istirahat, jangan banyak pikiran dan juga jangan berpikiran yang aneh-aneh."

Lagi-lagi Ama hanya mampu mengangguk pelan, ia merebahkan tubuhnya di pembaringan dan dengan sigap Ghina menyelimuti sang putri penuh perhatian. "Jangan lupa berdoa dulu, biar gak mimpi buruk dan tidurnya dijaga sama para malaikat."

Ama menurut patuh. Gadis itu membaca doa sebelum tidur, lengkap dengan surah-surah pendek, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan Al-Nas, tak lupa juga membaca ayat kursi, masing-masing sebanyak tiga kali.

Ghina berlalu dan menghampiri sang suami yang tengah terlibat perbincangan dengan Ghilsa. "Kamu harus ikhlas kalau semisal adik kamu duluan yang menikah. Ayah bukan bermaksud pilih kasih, tapi Ayah gak mau musibah yang menimpa kamu dirasakan pula oleh Ama. Dia anaknya kelewat polos dan pecicilan, apalagi kalau sudah dekat-dekat dengan Guntur. Ayah takut."

Ghilsa mengukir senyum tipis, dengan tanpa beban ia mengangguk paham. Ia mengerti akan kekhawatiran yang tengah kedua orangtuanya rasakan, sebab itu pula karena ulahnya sendiri. Saat ini ia harus menuai apa yang dulu ditanam, lagi pula ia pun belum siap untuk menikah.

Ia ingin berbenah diri dan memperbaiki hubungannya dengan Sang Maha Pencipta serta orangtua. Untuk perihal urusan jodoh biar dipikirkan nanti saja, toh Ghilsa pun tak yakin akan ada lelaki yang mau menerima ia apa adanya. Persentasenya jelas 1:1000.

"Gak papa, Yah, Ghilsa paham kok. Ayah tahu yang terbaik untuk keluarga kita," sahutnya begitu tulus dan ikhlas.

Ghina yang baru saja mendudukkan tubuh di samping Ghilsa dengan lembut merengkuhnya. "In syaa Allah kalau sudah ada jodohnya kamu juga akan menyusul," bisik sang bunda yang langsung Ghilsa aminkan dalam hati.

"Ama gimana?" tanya Ghani sedikit cemas serta waswas.

"Aman," sahutnya yang berhasil membuat Ghani bernapas lega penuh rasa syukur.

"Emang siapa sih yang mau ajak Ama ta'aruf?" seloroh Ghilsa penasaran. Sang ayah hanya menjelaskan sekilas saja, pun tidak memberikan izin Ghilsa untuk melihat CV ta'aruf milik Hadad.

"Besok juga kamu tahu," ucap Ghani dengan sunggingan lebar. Tadi ia sudah menghubungi Hadad, dan ia lega kala pemuda itu bersedia untuk bersilaturahim ke rumahnya.

Ia harap ini merupakan jalan yang benar, serta tidak keliru. Dan ia berdoa agar Allah memperlancar niat baiknya sekeluarga. Jika memang mereka saling berjodoh, In syaa Allah pasti akan dimudahkan hingga hari h pernikahan. Jika pun terdapat kendala, ya sudah terima saja.

Tak ada yang tahu akan takdir kita di masa mendatang, oleh sebab itulah tugas kita hanya berikhtiar serta menjalankan. Terkait hal lainnya biarkan berjalan sesuai dengan ketetapan Sang Khalik, In syaa Allah ini yang terbaik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top