Masalah Baru
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Takdir Allah memang tak pernah bisa diduga dan disangka-sangka, semuanya terlalu serba dadakan dan tak pernah bisa sejalan dengan nalar."
Semula terlihat baik-baik saja, sempurna, bahkan terkesan permasalahan jauh dari pelupuk netra. Tapi kini semua itu seakan terbuka, luka lama yang dianggap sudah selesai ternyata belum sepenuhnya usai.
"Jelaskan semuanya pada Ayah dan Bunda? Sejak kapan kamu mengenal Hadad, dan ada hubungan apa di antara kalian berdua?" tanya Ghani lembut dan pelan.
Ia tak ingin kembali dikuasi oleh emosi, terlebih kondisi sang putri yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, emosi tidak menyelesaikan masalah, hal itu malah semakin memperunyam saja.
Ghilsa terduduk resah, sedari tadi ia menunduk dengan tangan saling bertaut. Sangat terlihat dengan jelas bahwa perempuan itu tengah menyembunyikan rahasia besar, sebuah kebenaran yang sampai saat ini belum mampu sepenuhnya ia maafkan.
"Jujurlah, Nak. Jangan pernah sembunyikan apa pun lagi dari Ayah dan juga Bunda. Jangan buat kami kecewa untuk ke sekian kalinya," inbuh Ghina yang justru semakin menitikberatkan beban Ghilsa.
"Jangan bilang kalau Hadad yang sudah menghamili kamu dulu?"
Mendengar hal itu sontak Ghilsa pun mendongak, dan bertemu pandang dengan netra sang ayah yang menuntut penjelasan lebih. Ia tak sedikit pun mengeluarkan suara, bahkan anggukan atau gelengan pun tak diberikan olehnya.
"Laki-laki yang Ayah anggap baik dan paham ilmu agama ternya-"
Perkataan Ama menggantung di udara kala mendengar sanggahan sang ayah, "Jangan ikut campur dulu, bisa?" potong Ghani tegas.
"Ama gak maksud buat ikut campur, tapi ini juga udah jadi urusan Ama, Ayah. Ama bilang juga apa? Jangan pernah gampang percaya sama orang asing!"
Ghani memejamkan netra guna meredam gejolak emosi yang sudah sangat siap untuk ditumpahkan. Sekuat tenaga ia menahannya, jangan sampai setan berhasil menghasut dan menguasai diri.
"Ama masuk kamar dulu yah, Nak, ini urusan Ayah, Bunda, sama Mbak Ghilsa," pinta Ghina lembut, berharap dengan cara seperti ini bisa membuat suasana tegang sedikit menghangat.
Ama bersidekap dada, menatap intens ke arah sang bunda. "Gak!" Hanya satu kata itu saja yang keluar dari bibirnya, tapi hal itu justru mengakibatkan keadaan semakin kacau.
"Jawab pertanyaan Ayah, bisa?" tuntut Ghani pada Ghilsa, ia tak mengindahkan sang putri bungsu yang tengah mendumel tiada akhir. Biarkan saja hingga mulutnya berbusa, lagi pula kalau capek pasti akan berhenti sendiri.
"Ghi-ghilsa kenal Hadad udah dari dua tahun lalu," jawabnya begitu lirih dan pelan, bahkan serupa dengan bisikan.
Ghani menggeram dengan tangan terkepal kuat. "Sejak kapan kalian berhubungan?" Perempuan itu tak lantas menjawab, ia semakin resah dan kelu untuk bertutur apa adanya.
"Mending Ayah nikahin Mbak Ghilsa aja sama kakak itu! Yang kenal kakak itu, kan Mbak Ghilsa, bukan Ama!" serobot Ama yang langsung dihadiahi pelototan tajam sang ayah.
"Jangan buat Ayah marah, Ama!" Rahang Ghani sudah mengencang dengan begitu tegas, tapi Ama sama sekali tak gentar dibuatnya.
"Ama ngomong fakta, yang harusnya nikah itu Mbak Ghilsa sama dia, bukan Ama. Jodoh Ama itu Guntur, Ayah! Titik gak pake koma."
Ghani dibuat semakin meradang, terlebih kala si bungsu menyebut nama lelaki yang sudah ia coret dari daftar calon menantu pilihan. Sampai kapan pun ia takkan merestui putrinya untuk berjodoh dengan Guntur.
"Apa yang kamu harapkan dari lelaki seperti Guntur? Gampang mengobral rayuan, gampang menyentuh perempuan yang bukan mahrom, dan juga dia tak memiliki pendirian. Tanggung jawabnya nol besar. Ngerti kamu?!" sentak Ghani begitu melukai hati sang putri.
"Ayah jahat! Guntur gak seperti apa yang Ayah pikirkan. Guntur baik, Guntur bertanggung jawab, dan pastinya Guntur sayang sama Ama!"
"Sayang?"
Gadis belia itu mengangguk penuh semangat. Ia akan mencoba untuk bernegosiasi agar sang ayah mau merestui, untuk urusan Guntur yang sudah mengatakan mundur bisa diatasi nanti.
"Apalah artinya sayang kalau endingnya cuma jagain jodoh orang. Kamu kira nunggu dalam waktu tiga sampai lima tahun bisa jamin kalau dia emang jodoh kamu. Gak, kan? Jangan takabur dulu, bisa?!"
Ama memberengut kesal. Ia mencengkram kuat tepian sofa dan melampiaskan emosinya di sana. "Ayah gak adil! Ayah pilih kasih! Ama benci Ayah!"
Setelahnya ia langsung bergegas pergi ke kamar. Air mata yang semenjak tadi ditahan akhirnya tumpah ruah juga. Ia tak habis pikir bahwa sang ayah begitu keukeuh tak mau menerima kehadiran Guntur. Sedangkan pada lelaki bernama Hadad yang belum jelas asal-usulnya malah disambut sukacita. Itu sangat tidak adil, bukan?
Ghina yang mengerti akan kondisi sang suami, dengan sigap langsung menenangkan. "Mas selesaikan masalah ini sama Ghilsa, Ama biar aku yang urus," katanya yang mau tak mau Ghani angguki.
Perempuan beranak tiga itu bangkit dan bergegas menyusul sang putri bungsu, namun sebelumnya ia mengecup serta mengelus penuh sayang puncak kepala Ghilsa. "Bunda percaya Ghilsa gak akan bohong dan buat Ayah sama Bunda kecewa lagi. Jangan rusak kepercayaan itu yah, Nak."
Bisikan yang Ghina berikan semakin menambah ruet kemelut hati Ghilsa. Ia dilanda kegamangan dan kegalauan yang luar biasa. Ia ingin mengungkapkan kejujuran, tapi ia yakin bahwa kejujurannya hanya akan menambah masalah saja.
"Ada hubungan apa kamu sama Hadad?" tanya Ghani begitu to the point setelah sang istri lenyap ditelan pintu kamar.
Pertanyaannya begitu tegas. Ia tak ingin mengulur banyak waktu lagi, semuanya harus terungkap sekarang. Tidak ada tawar-menawar.
Ghilsa menarik napas panjang, menatap takut-takut ke arah sang ayah lantas berucap, "Hadad-"
Penuturan Ghilsa terhenti, kala mendengar suara bel pintu yang begitu memekakkan. Keduanya saling berpandangan, tak ada satu pun yang berniat untuk bangkit dan membukakan akses masuk untuk sang tamu tak diundang.
"Apa?" tuntut Ghani dengan pandangan menghunus tajam.
"Kami ber-"
Lagi-lagi ucapan Ghilsa terhentikan paksa oleh ulah sang tamu tak tahu diri. Dengan penuh emosi Ghani bangkit dari duduknya, dan bergegas ke arah pintu. Tak tinggal diam Ghilsa pun ikut serta mengintil sang ayah.
Saat pintu itu terbuka dengan sangat lebar, rahang Ghani yang sedari tadi sudah mengencang, mengendur begitu saja dan tergantikan dengan kerutan bingung di dahi. Tapi tidak dengan Ghilsa, perempuan itu langsung memegang erat tangan sang ayah, meminta perlindungan.
"Saya akan menikahi putri bapak. Saya lelaki Yang sudah menghamili Ghilsa, dan saya akan mempertanggungjawabkan kelakuan bejat saya dulu."
Tubuh Ghilsa dan juga Ghani membeku bukan main. Wajah Ghani berubah merah padam dan siap untuk melayangkan bogeman, tapi hal itu dilarang keras oleh sang putri.
"Jangan, Yah. Ghilsa mohon, jangan!" pintanya dengan suara melirih perih. Sangat terlihat dengan jelas bahwa kerapuhan tengah perempuan itu rasakan.
Tapi hal itu tidak digubris Ghani, dengan sekali hentak ia sudah melayangkan bogeman mentah pada pemuda di hadapannya. Murka. Ia sangat amat murka dibuatnya.
"Jangan pernah datang kemari lagi. Dan sampai kapan pun saya tidak akan pernah melepaskan putri saya pada lelaki seperti kamu!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top