Lamaran?

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika cinta sudah mulai saling bersemayam, alangkah lebih baiknya segera disahkan."

Awan hitam mulai menyelimuti, bahkan kilatan petir sudah mulai berdatangan. Tapi hal itu tak membuat Ama takut serta risau, ia malah terlihat tenang dan menatap penuh antusias rintik hujan yang mulai berjatuhan.

"Dasar cewek gila! Bukannya berteduh malah hujan-hujanan."

Gadis itu sama sekali tak menghiraukan teriak bernada caci maki itu. Hal itu sudah sangat biasa, bahkan terdengar pujian di telinganya. Terkadang ada segelintir orang yang menganggap hujan itu musibah, bencana, bahkan biang malapetaka.

Padahal semua itu salah besar, hujan itu berkah dan anugerah yang diturunkan Allah untuk para penduduk bumi. Seharusnya bersyukur sebab tak selamanya masa penghujan akan terus datang. Ada kalanya memasuki musim kemarau panjang, dan membuat tanaman tumbuh gersang serta mati karena kekurangan air.

Cara menikmati hidup itu sangat sederhana, bisa bermain di tengah hujan deras saja sudah membuat bahagia. Tak usah pamer harta dan sesuatu hal berharga yang dipunya, sebab kepuasan diri itu bukan dilihat melalui kacamata materi, melainkan naluri dalam hati.

"Bukannya nunggu di dalam, ini malah hujan-hujanan kalau Tante Ghina marah gimana?" omel Guntur seraya memegang payung berukuran besar yang muat untuk dua orang.

"Guntur apaan sih. Ganggu aja bisanya," sahut Ama sebal dan menyingkir agar tubuhnya kembali terkena rintik hujan.

"Masuk mobil, Ma, kalau sakit gimana?" tegurnya seraya menarik paksa pergelangan tangan sang sahabat.

"Ama udah biasa, udah kebal!"

Guntur mendengkus sebal dan menutup pintu mobil lantas berlari ke arah kemudi. Ia melipat payungnya dan melempar asal ke jok belakang.

"Baju kamu basah semua itu," ucapnya dan tanpa sungkan langsung memberikan jaket jeans yang melekat di tubuh.

"Pake," titahnya tegas, namun dibalas gelengan oleh sang sahabat.

"Kata Bunda gak boleh pakai pakaian laki-laki," tolak Ama disambut dengkusan serta helaan napas berat.

"Ini urgent, Ma. Jangan mendebat, bisa?"

Gadis itu memutar bola mata malas dan mengambil jaket yang tadi Guntur berikan. "Baunya gak enak banget ih, Guntur pakai minyak wangi apa minyak nyongnyong!"

"Minyak jelantah!"

Bisa darah tinggi juga lama-lama menghadapi kemanjaan sang sahabat yang begitu menjengkelkan hati.

"Jorok banget sih jadi cowok. Pantes aja jomlo mulu, Ama jamin gak akan ada satu pun cewek yang mau deket-deket Guntur!"

Lelaki itu menginjak pedal gas lantas melirik Ama sekilas. "Sembarangan banget kamu kalau ngomong. Lagian tuh mulut gak ada remnya banget sih," sembur Guntur tak terima.

"Mana coba buktinya? Sampai sekarang Guntur masih jomlo. Gak bosen apa sendiri mulu," oceh Ama semakin menjadi.

Guntur menurunkan kaca yang menggantung di mobilnya, mengarahkan pada Ama lantas berkata, "Siapa yang kamu liat?"

Senyum perempuan itu mengembang. "Ama lah masa orang utan."

"Nah tuh kamu udah tahu jawabannya."

Seketika suasana menjadi hening, bahkan gadis itu tak berkedip sedikit pun. Ia masih mencerna kalimat yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya.

"Ih Guntur mah malah gombalin Ama. Jadi malu kan," cetusnya dengan tangan sibuk memegang pipi yang terasa memanas dan berubah warna menjadi kemerahan.

"Bukan gombal tapi itu fakta, cuma kamu yang selalu ada di samping aku," katanya dengan sunggingan tipis.

"Ish, jangan bikin anak gadis orang baper. Emangnya Guntur mau tanggung jawab?" protes Ama.

Jantungnya sudah ketar-ketir tak jelas jika berdekatan dengan Guntur. Jangan-jangan ia terkena penyakit jantung lagi.

"Mau kapan? KUA langsung aja gimana?" tanya Guntur yang berhasil membuat Ama terdiam seribu bahasa.

"Becandanya gak lucu yah, Guntur," kata Ama dengan tangan sibuk bertautan resah.

Lelaki itu menepikan mobilnya, ia menatap ke arah sang sahabat lekat namun langsung membuangnya ke sembarang tempat. "Aku serius. Kalau kamu siap aku akan ajak Momy sama Dady buat lamar kamu."

Mendengar hal itu sontak membuat Ama mendongak, bola matanya berkeliaran ke sana-kemari. "Ama belum siap nikah," cicitnya menggigit pelan bibir bagian dalam.

"Tapi ini salah, Ma."

Kening perempuan itu terlipat tak mengerti. Di mana letak salahnya? Mereka tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Mungkin hanya sesekali saja berpegangan, itu pun dalam kondisi darurat saja.

"Guntur," panggilnya lembut, dan itu berhasil kembali menarik angan Guntur yang sempat berkeliaran.

"Ama gak yakin Ayah sama Bunda akan kasih restu, terlebih lagi Guntur sama Ama masih kuliah," imbuhnya.

"Kita gak akan tahu kalau belum mencobanya," sanggah Guntur tegas.

Peringatan Kahfi sudah saling berseliweran memenuhi isi kepala, ia takkan membiarkan sahabat kecilnya dimiliki pria lain.

"Kamu jangan pikirin hal yang aneh-aneh dulu, itu biar jadi urusan aku," ujarnya tenang walau tak dapat dipungkiri bahwa kegamangan tengah melanda.

Apa yang hendak ia berikan pada Ama jika kelak kedua orangtua gadis itu memberikan restu? Dan apa ia juga mampu untuk membahagiakan sahabat kecilnya.

Tak mendapatkan jawaban apa pun membuat Guntur menghela napas singkat, ia melirik ke arah Ama yang tengah asik melihat hujan. Ia pun bergegas untuk kembali melajukan kendaraan beroda empatnya.

Keheningan mengisi perjalanan, mereka sibuk dengan asumsi pribadi yang tak pernah lelah berdatangan tanpa henti. Bahkan suara riak hujan yang menyentuh bumi pun seakan menjadi backsound yang sangat pas.

"Tidak ada penawar yang lebih manjur bagi dua insan yang saling mencintai dibanding pernikahan.[1]"

Menikah itu bukan perkara mudah yang bisa dijalani, terlebih jika melibatkan muda-mudi yang belum matang dalam segi finansial, mental, serta emosi yang terkadang sulit untuk dikendalikan.

Akad memang hanya membutuhkan tak lebih dari lima menit saja, tapi menjalani pernikahan tak sebentar itu. Harus memikirkan segala aspek dan sejumlah kemungkinan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

Sebab yang namanya menikah itu menyatukan dua insan dan dua pemikiran agar bisa satu jalan dan satu tujuan.

"Makasih yah, Guntur, Ama masuk dulu. Mau mampir?" selorohnya.

"Tunggu sebentar," larang Guntur saat Ama akan hendak membuka pintu mobil, dengan kecepatan kilat ia keluar serta mengambil payung yang tadi sempat dilemparnya secara asal.

"Turun, Ma," pintanya setelah berhasil membuka akses jalan untuk sang sahabat.

"Baju Ama udah basah, gak papa gak usah dipayungin," tolak gadis itu yang disambut gelengan tegas oleh sahabatnya.

"Jangan banyak membantah."

Jika sudah melayangkan kalimat sejenis itu, tak ada cara lain lagi untuk menolak. Keduanya berjalan beriringan memasuki kediaman orangtua Ama.

"Bunda kan udah bilang jangan suka main hujan-hujanan, tapi kamu masih aja ngeyel!" tegur Ghina saat mendapati tubuh sang putri yang sudah basah kuyup.

"Maaf," sahut Ama dan langsung memeluk sang bunda. Ghina sedikit mengeram, tapi ia membalas pelukan putri bungsunya.

"Mampir dulu," ajak Ghina pada Guntur yang tak lain adalah putra dari kerabatnya. Mereka tinggal bertetangga, dan hanya berjarak sekitar tiga rumah saja.

Guntur mengangguk ragu. "Om Ghani ada, Tan?" tanyanya sedikit takut.

Kening wanita yang sudah mulai memasuki usia senja itu terlipat. Tak biasanya Guntur menanyakan suaminya. Ada apa?

"Belum pulang, sebentar lagi mungkin. Nanti malam aja ke sini lagi, sekalian makan bersama," tutur Ghina antusias.

Ia sudah sangat mengenal dekat putra dari sahabatnya itu, maka tak heran jika ia pun selalu tenang jika melepas sang putri bersama Guntur.

"Boleh?"

Ghina mengangguk dan menepuk pundak Guntur. "Ya boleh atuh, kan biasanya juga kamu suka numpang makan di sini," candanya yang berhasil membuat Guntur sedikit malu.

Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lantas berpamitan untuk mempersiapkan diri agar nanti malam rencananya bisa terealisasi.


NB :

[1]. HR. Ibnu Majah, Al Hakim, Al Bazzar, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah, 2/196-198.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top