Hari Tanpa Guntur

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jangan pernah bersembunyi di balik kata cinta jika realisasinya hanya dalam wujud pacaran, sebab cinta itu dibalut oleh akad dan disahkan melalui pernikahan."

Pagi menjelang, matahari pun sudah mulai bersinar. Terlihat seorang gadis muda yang tengah berdiri di gerbang rumah dengan sebuah tas punggung hitam. Ia sangat antusias menyambut hari yang cerah ini, terlebih lagi suasana hatinya pun sangat mendukung.

"Berangkat bareng Abang," kata Gilang saat ia sudah berhasil membuka lebar pagar dan menemukan sang adik yang tengah berdiri di depannya.

Ama mendelik tak suka. "Gak mau, Abang suka jail, masa nurunin Ama di pinggir jalan terus suruh Ama jalan kaki buat ke kampusnya. Ama mau berangkat bareng Guntur."

"Ya maaf, abis mulut kamu gak bisa diem sih kaya knalpot racing. Berisik!"

Gadis muda itu bersidekap dada, bergaya pongah di hadapan sang kakak. "Bilang aja kalau cewek Abang cemburu sama Ama. Laporin Ayah sama Bunda yah kalau Abang udah berani pacar-pacaran!" ancamnya.

"Dasar pengadu. Orang kamu juga sama aja, sesama penganut kaum pacaran dilarang saling melaporkan."

Kaki Ama mengentak kasar. "Ama gak pacaran, gak boleh. Dosa, dosa Ama udah banyak masa mau ditambah lagi sama dosa pacaran sih."

Gilang berdecih. "Gak pacaran tapi berdua-duaan, pegang-pegangan tangan, saling nebar gombalan. Itu apa namanya adikku sayang?"

Ama memukul dada kakaknya dengan tas secara brutal. "Beda, Guntur gak pernah nembak Ama. Semalem ngelamar langsung ditolak Ayah."

Tawa Gilang pecah tak terbendung. "Masih bocil juga, yang dipikirin itu kuliah bukan nikah," katanya seraya mengacak kepala sang adik.

"Ih Abang nyebelin, kerudung Ama jadi miring kan. Kalau Guntur lihat Ama gak cantik lagi, nanti gak jadi nikahnya. Abang mau tanggung jawab?"

"Percaya diri banget kamu kalau Guntur bakal jadi jodoh kamu. Hati-hati, Ma mulut cowok itu manis dan berbisa-"

"Iya kaya Abang, ukhti-ukhti masjid yang taat agama aja Abang ajak pacaran. Dosanya double itu," sela Ama berhasil membuat sang kakak bungkam tanpa kata.

"Umur Abang dua tahun lebih tua dari Guntur, bahkan bentar lagi lulus kuliah. Tapi nyalinya cetek, masa kalah sama Guntur yang berani ngomong jujur sama Ayah," cerca gadis itu semakin menjadi.

Gilang menggeram tanpa sadar. "Kamu kira nikah itu gampang dan gak perlu modal? Kamu pikir kasih makan anak gadis orang gak pake uang? Buat bangun rumah tangga cinta aja gak bakal cukup."

"Ngeles aja Bang Gilang mah, bilang aja kalau emang belum siap buat nikahin Mbak Humairah," sahut Ama semakin menyudutkan sang kakak, bahkan ia tak segan membuka identitas pacar dari kakaknya itu.

Gilang langsung membekap mulut sang adik. "Kamu yah kalau ngomong gak ada pengecil volumenya. Kalau Ayah sama Bunda tahu gimana?" omelnya yang hanya dibalas putaran bola mata malas.

Ama menggigit tangan sang kakak hingga dengan terpaksa Gilang langsung menariknya. "Sengaja biar Bang Gilang sama Mbak Humairah dinikahin paksa, dengan begitu Ama bisa cepet-cepet nikah sama Guntur."

"Otak kamu isinya si Geluduk terus! Kuping Abang pengang dengernya."

"Abang gak boleh gonta-ganti nama Guntur ih, masa nama sebagus itu disebut geluduk!"

Gilang menghela napas singkat. "Artinya sama aja, Ma, sama-sama petir," sela sang kakak yang membuat gadis itu sebal bukan kepalang.

"Kalian bukannya berangkat malah asik ribut depan gerbang. Berangkat kampus sekarang!" Kalimat yang dilayangkan oleh sang ibu berhasil menghentikan perdebatan di antara kakak.

"Ama gak mau Gilang antar, dia mau sama Guntur," ujarnya dengan diiringi senyum miring menyebalkan.

Ama mencubit lengan sang kakak tanpa perasaan. "Mulut Abang kaya cewek ih, apa-apa lapor sama Bunda. Ama aduin Ayah baru tahu rasa," kesalnya.

"Berangkat sama Bang Gilang yah, kan sama aja," bujuk sang ibu yang langsung dihadiahi gelengan tegas olehnya.

"Motor Bang Gilang buat punggung Ama sakit, Bunda, belum lagi Bang Gilang suka usil tur-"

Kalimat Ama menggantung di udara kala merasakan bekapan sadis yang dilakukan sang kakak. Tak kehabisan akal gadis itu pun kembali menggigit lengan kakaknya.

"Gilang adiknya mau ngomong itu, jangan disela bisa?" Pemuda yang kini sudah memasuki usia 21 tahun itu menggaruk tengkuknya dan mengangguk singkat.

Ama memeluk tubuh sang ibu dan berujar, "Bang Gilang jahat, Bunda, masa dari tadi mulut Ama dibekap-bekap terus. Ama gak mau berangkat bareng Bang Gilang."

Ghina menghela napas sejenak, ia mengelus puncak kepala sang putri penuh kelembutan. "Ayah udah pesen sama Bunda kalau mulai sekarang kamu harus berangkat dan pulang bareng Bang Gilang. Mau yah."

Ama menggeleng dan menjauh dari sang ibu. "Bunda sama Ayah jahat, masa tega mau pisahin Ama sama Guntur."

Ghina menggeleng singkat, ia mengukir senyum tipis agar sang putri sedikit lebih tenang. "Kamu sama Guntur kan bukan mahrom, dilarang ber-khalwat nanti ada setan lewat."

"Kenapa baru sekarang? Selama ini juga Ayah sama Bunda gak pernah larang Ama buat deket-deket Guntur. Bunda jahat, gak sayang lagi sama Ama," rajuknya yang berhasil membuat Ghina sedikit pusing menghadapi sang putri.

Ia menyadari dengan betul kesalahannya di masa lalu, ia terlalu ceroboh dan mengesampingkan hal sepenting ini. Ia kira tidak akan pernah ada cinta di antara Guntur dan Ama, tapi ternyata semua itu salah besar.

Alhasil kini ia kebingungan sendiri saat meminta sang putri untuk menjaga jarak. Terlebih putrinya itu sudah sangat bergantung pada Guntur, apa pun pasti Guntur yang paling pertama.

"Mending sama Bang Gilang aja, kalau Bang Gilang usilin Ama, lapor sama Bunda," bujuknya lagi.

"Gak mau, Bang Gilang suka turunin Ama di pinggir jalan," adunya yang dihadiahi decakan penuh rasa tak percaya.

"Benar itu Gilang?" selidik Ghina pada sang putra sulung.

Gilang mengangguk ragu dan menunduk takut. Bisa bahaya jika sampai sang bunda memarahinya. "Ama adik kamu, dia itu tanggung jawab kamu. Ayah sama Bunda gak pernah ajarin kamu buat jadi pengecut. Jadi laki-laki itu harus bertanggung jawab."

"Maaf, Bun, Gilang janji gak akan ulangi lagi," sahutnya.

"Bang Gilang takut Mbak Humairah cemburu, Bunda, makanya Bang Gilang suka nurunin Ama," ujar Ama semakin menyudutkan sang kakak.

Gilang menginjak kaki adiknya yang sudah lancang mengadu. Hal itu jelas langsung mengundang ringis kesakitan dari Ama.

"Bunda, Bang Gilang injek kaki Ama, sakit," katanya dengan mata sayu seperti ingin menangis.

Gilang menjambak rambut penuh rasa putus asa. Mulut adiknya itu memang minta disumpal dengan lakban, berani-beraninya melapor. Bisa habis ia dicerca oleh sang ayah dan bunda.

"Kamu sudah berani yah bohongin Ayah sama Bunda. Bawa perempuan itu ke sini sekarang!"

Mendengar hal itu semakin membuat Gilang dirundung rasa takut. Mati, ia pasti akan kena damprat sang ayah.

"Gilang udah putus kok, Bun," kilahnya berharap sang bunda percaya.

"Bohong. Kemarin Ama lihat Bang Gilang makan bakso berdua-duaan di kantin kampus, pake acara suap-suapan lagi. Bikin Ama mual aja lihatnya," sela sang adik kembali ikut angkat suara.

"Ama berangkat sama Guntur yah, Bunda ada urusan penting sama Abang kamu!"

Gadis itu bersorak senang dalam hati, akhirnya sang bunda memberikan lampu hijau untuk ia menemui Guntur. Berbeda dengan sang kakak yang kini sudah berada di ujung tanduk siap untuk diadili.

"Ada kelas hari ini?" tanya Ghina tajam.

Gilang menggeleng pelan, ia ke kampus hanya ingin menemui kekasihnya saja. Lagi pula ia sudah termasuk mahasiswa tingkat akhir yang hanya fokus mempersiapkan skripsi.

Ke kampus pun paling hanya pergi ke perpustakaan dan bertemu Humairah untuk mencari obat dari rasa pusing yang dirasa. Gadis yang merupakan juniornya itu sudah berhasil membuat ia merasakan indahnya jatuh cinta.

Tapi sayang cinta itu disajikan dalam sepiring dosa dan dinikmati dalam wujud napsu saja. Tak ada kebaikan dalam kegiatan pacaran, hanya mendatangkan banyak mudharat dan kerugian besar bagi para penganutnya.

"Ama berangkat yah, Bunda," katanya yang langsung diangguki oleh Ghina.

"Hati-hati, jaga jarak sama Guntur. Jangan macem-macem!"

Gadis itu mengangguk mantap. "Siap, assalamualaikum," sahutnya dan langsung melesat pergi menuju kediaman sang sahabat.

"Wa'alaikumusalam," jawab Ghina dan juga Gilang bersamaan.

"Telepon perempuan itu, minta dia ngadep Bunda sekarang!" Setelah mengatakan kalimat ultimatum tersebut, Ghina langsung meninggalkan sang putra yang masih dirundung ketakutan.

"Amaaaaa!" murkanya pada sang adik yang mungkin saja saat ini tengah kegirangan menertawakan nasibnya.


NB : Aku pake latar sebelum ada pandemi yah, jadi kegiatan perkuliahan dan hal-hal lainnya bisa dilakukan secara tatap muka, gak seperti sekarang yang apa-apa harus dilakukan secara daring dan virtual. Semoga mengerti dan memaklumi :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top