Hadad
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sendiri dalam taat lebih baik, daripada berdua dalam lingkup maksiat. Kopiah saja yang tak memiliki pasangan derajatnya lebih tinggi dari sendal jepit yang sepasang."
"Ayah!" teriak gadis itu saat melihat sang ayah baru saja keluar dari ruang perawatan Ghilsa. Ia langsung memeluk erat tubuh ayahnya.
"Kenapa?"
"Cowok modus yang waktu itu, ikutin Ama lagi, Ayah," adunya yang malah dihadiahi kekehan oleh sang ayah.
Ama menyingkir karena sebal melihat respons yang Ghani berikan. "Ayah nyebelin!" amuknya.
Ghani mengacak puncak kepala sang putri. "Cowok itu gak akan makan kamu hidup-hidup, kenapa juga mesti takut? Sama Guntur aja kamu nempel terus kaya perangko, lah sama tuh cowok malah kabur-kaburan."
Ama mengentakkan kaki kesal. "Beda, Ayah!" Sang ayah menggeleng beberapa kali, melihat tingkah sang putri sedikit bisa menghibur kemelut hati yang kini tengah dirasai.
"Permisi," katanya yang berhasil membuat perbincangan di antara sepasang ayah dan anak itu terhenti.
Sontak Ama pun langsung melipir dan bersembunyi di balik punggung Ghani. "Itu orangnya, Ayah," bisiknya takut.
Tanpa diberi tahu pun Ghani sudah mengetahui, sebab ia masih mengingat dengan betul pemuda tersebut. Pemuda yang diduga telah memodusi sang putri sebanyak dua kali hingga berhasil membuat Ama takut dan parnoan seperti sekarang ini.
"Ya," sahut Ghani tegas dan dingin.
Ia menilik dari ujung kaki hingga ujung kepala, senyumnya sedikit terbit kala tak mendapati sedikit pun gurat gugup di wajah sang pemuda. Sangat jauh berbeda dengan Guntur yang mudah gugup serta tak mampu menguasai diri.
Hadad tersenyum ramah dan menjulurkan tangannya, tanpa diduga Ghani menyambut baik uluran tersebut. "Hadad Badri," ucapnya memperkenalkan diri.
Ghani mengangguk singkat dan melepaskan jabatan di antara mereka. "Ada kepentingan apa kamu mengintili putri saya?" tanya Ghani tak ingin membuang-buang waktu.
"Ber-ta'aruf, jika putri bapak bersedia dan bapak mengizinkan," jawabnya lugas dan jelas. Baik Ghani maupun Ama saling berpandangan, mereka terkejut bukan kepalang.
"Tak kenal maka ta'aruf." Pemuda itu menyambung kalimatnya, dan hal itu membuat kesadaran Ghani kembali.
"Jika sudah saling mengenal?" cetus Ghani memancing. Ia ingin melihat kesungguhan pemuda di depannya.
"Khitbah dan menikah." Jawaban lugas itu begitu mulus keluar dari sela bibirnya.
Ia bukanlah lelaki penganut paham pacaran, jika memang sudah merasa cocok ya segera saja dihalalkan. Ia ingin menjemput jodoh dengan cara yang Allah ridai, bukan malah menyalahi aturan dengan banyak beralibi.
"Boleh saya lihat CV-nya?" pinta Ghani yang langsung pemuda itu angguki.
Hadad menyerahkan sebuah CV yang selalu ada dalam tasnya. Sebab ia yakin, bahwa di mana pun dirinya berada ia pasti akan kembali bertemu dengan gadis si penyuka hujan yang sudah sejak lama dicari.
Terbukti, kini tanpa diduga ia kembali dipertemukan lagi. Garis takdir Allah memang terkadang tidak bisa diduga dan disangka-sangka. Keberadaannya di rumah sakit untuk membantu salah satu warga yang terserang penyakit, dan ia dengan ikhlas mengatakannya.
Namun ternyata ini merupakan cara Allah untuk mempertemukannya lagi dengan sang gadis incaran. Kuasa Allah memang luar biasa dan tak pernah mengecewakan.
"Ya sudah sana pulang," usir Ghani kala sudah menerima berkas yang Hadad berikan. Mendapat perlakuan demikian ia malah tersungging lebar.
"Terima kasih, Pak, saya pamit. Assalamualaikum," katanya saat setelah menyalami punggung tangan Ghani dengan khidmat.
Ghani mengangguk dan sedikit tersenyum. "Wa'alaikumusalam warohmatulloh."
Pemuda itu berjalan dengan ringan meninggalkan Ghani dan juga Ama. Bebannya sudah terangkat satu, kini ia hanya tinggal menunggu. Menanti sebuah jawaban yang pasti. Harapnya hanya satu, semoga saja gadis yang baru ditemuinya sebanyak tiga kali itu benar-benar sosok yang sudah Allah persiapkan sebagai pelengkap iman.
Ama menggoyang-goyangkan lengan sang ayah guna menarik perhatiannya yang terus tertuju pada punggung pemuda bernama Hadad tersebut. Ia merasa mendapatkan angin segar kala melihat kesungguhan Hadad. Tapi ia masih belum bisa benar-benar melepas si bungsu. Masih ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan.
Ghani menatap lekat kedua netra sang putri lantas berucap, "Nah cari cowok tuh yang kaya gitu, gak banyak ngomong, gak banyak janji, tapi langsung kasih bukti."
Ama mencebik kesal dan mengerucutkan bibir hingga maju beberapa senti. "Ama gak suka cowok itu, Ayah!"
"Bagus dong," sahutnya seraya kembali berjalan menuju ruang perawatan Ghilsa.
"Ish kok malah bagus sih?" selanya tak suka. Ghani mengacak gemas puncak kepala Ama, tak lupa ia pun mendaratkan sebuah kecupan singkat di sana.
"Karena cinta yang sebenar-benarnya cinta adalah pada saat ijab qobul sudah diikrarkan. Lebih baik kamu mencintai dia pada saat kalian berdua sudah halal. Dibandingkan seperti kamu dan Guntur? Belum tentu akan berakhir di pelaminan, tapi sudah sesumbar rayuan dan kata-kata sayang penuh bualan. Itu gak baik, Ama."
Ama menyilangkan tangan di depan dada serta menatap sengit sang ayah. "Ya udah Ayah aja yang ta'arufan sama cowok modus itu!" Setelahnya ia langsung berjalan memasuki ruangan Ghilsa dan duduk cemberut di sofa yang tersedia.
Hadad bernapas lega kala ia baru saja sampai di tempat salah satu penduduk, lebih tepatnya di kediaman kepala desa. Saat ini pemuda itu tengah melaksanakan praktik Kuliah Kerja Nyata, atau yang kerapkali dikenal dengan istilah KKN.
Pemuda yang kini masih duduk di bangku kuliah semester 8 itu disibukkan dengan kegiatan KKN dan juga skripsi sebagai syarat kelulusan. Selama kurang lebih dua bulan ke depan ia bersama ketujuh kawannya harus tinggal di desa dan mengabdikan diri pada masyarakat.
Semula Hadad tak biasa, bahkan ingin segera minggat saja kembali ke Ibu kota, namun pada saat ia tak sengaja bertemu Ama di sebuah perkebunan teh, dirinya seperti menemukan semangat baru agar tak mundur di tengah jalan.
Selama tinggal di Ibu kota ia selalu mencari keberadaan gadis penyuka hujan yang pernah ia modusi sebanyak dua kali itu. Tapi hasilnya nihil, dan tak membuahkan hasil, namun saat ini tanpa diduga dan disangka Allah kembali mempertemukannya lagi.
Ingin hati menghubungi dan saling berkomunikasi, tapi nomor yang ia dapatkan pada saat memodusi sang gadis selalu tidak aktif. Dan pada saat tadi tak sengaja bertemu di rumah sakit, tanpa pikir panjang lagi dirinya langsung tancap gas menghampiri ayah dari sang gadis.
"Kesambet apaan lo? Senyum-senyum sendiri udah kaya orang kagak waras!" suara sang sahabat membuyarkan segala angan yang tengah ia rangkai.
"Gue udah ketemu sama cewek yang waktu itu gue temuin di depan halte," curhatnya dengan senyuman lebar.
"Wihh, pacaran nih, PJ-nya dong," oceh sang sahabat yang bernama Hamid.
Hadad meninju lengan bagian atas Hamid lumayan kencang. "Sebaik-baiknya lelaki adalah dia yang tidak mengajak pacaran. Dan sebaik-baiknya perempuan adalah dia yang tidak mau diajak pacaran. Prinsip gue ta'aruf, khitbah, dan nikah."
"Lo masih kuliah, Dad, mau lo empanin apa tuh anak gadis orang?" sela Hamid tak sepaham.
Ia merupakan lelaki penganut paham pacaran sebagai budaya, dan sayang jika sampai tak mengikuti tren zaman. Baginya prinsip sang sahabat sangat kolot tak masuk akal.
Ta'aruf di matanya seperti membeli kucing dalam karung. Tak jelas wujudnya bagaimana tapi sudah berani membeli. Itu merupakan pembodohan publik yang harus dihindari. Toh yang semula berpacaran pun bisa bahagia kala sudah melangsungkan pernikahan, tapi yang ta'aruf? Kebanyakan dari mereka bubar di tengah jalan.
"Gue percaya kalau rezeki setelah menikah itu akan selalu ada, sekalipun lo ngeraguin hal itu. Tapi gak ada yang gak mungkin di mata Allah, yang sekarang gue lakuin hanya berikhtiar," ucap Hadad dengan sunggingan.
Hamid mendengkus tak suka. Sahabatnya itu memang sangat susah jika ingin dipengaruhi untuk mengikuti tren zaman. Selalu membawa-bawa agama yang membuat kepalanya pening saja.
"Perempuan itu dimuliakan dengan akad, bukan cokelat. Apalagi cuma modal mawar murahan, mahar lebih dia inginkan," imbuhnya tersenyum bangga.
"Pemikiran lo kolot. Inget, Dad lo sama si cewek penyuka hujan itu gak saling kenal. Kalau pernikahan kalian bubar jalan begimana? Masa iya lo berdua jadi janda dan duda di usia muda. Malu-maluin!"
Hadad beristigfar. Ia menepuk pundak sang sahabat. "Terserah lo mau berpikiran seperti apa. Inget, Mid Allah udah ingetin kita soal zina. Jangan sampailah kita terjerumus ke dalam sana."
"Zina? Gue gak ngapain-ngapain, paling cuma pegangan dan jalan bareng doang," sangkalnya.
Zina dalam otak Hamid hanya berupa berhubungan badan. Ia seakan dibutakan bahwa yang namanya zina itu beragam, tidak hanya satu. Dan pacaran adalah ladangnya semua zina.
"Kalau lo gak ngapain-ngapain, kenapa juga harus pacaran? Ya udah jomlo aja sekalian," sahut Hadad.
Ia sudah sering mengingatkan sang sahabat, tapi tanggapan yang Hamid berikan selalu seperti itu. Tak ada perubahan sedikit pun.
"Ngomong sama lo mah ujungnya kagak enak. Pasti gue kena ceramahan!" Hamid langsung berlalu pergi meninggalkan Hadad yang menggeleng pelan serta mengelus dada penuh rasa sabar.
Catatan Kaki :
1. Hadad KKN pada semester 8, sedangkan Gilang semester 6/7. Setiap kampus beda-beda yah. Jadi jangan pusing dan bertanya-tanya, kok bisa beda? Padahal posisi Gilang dan Hadad sama-sama semester akhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top