Guntur
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Terkadang ekspektasi dan realitas tak sejalan dan bertolak belakang, dan adakalanya hal itu memang sudah menjadi sebuah ketetapan."
Hujan Merindu Guntur
Aku menanti dalam sepi
Merindu dalam ruang tabu
Semuanya terasa abu-abu,
terlebih kala kamu tak berada di sisiku
Hati bergejolak inginkan temu,
Tapi dengan sombongnya semesta tak mengizinkan hal itu
Bisakah aku sejenak meminta pada-Mu?
Sampaikan bisikan rindu ini padanya yang kini berada jauh di pelupuk netra sana
Ama menutup lembaran kertas putih yang baru saja dicorat-coret olehnya. Tak ada lagi papan ketik yang bisa ia gunakan untuk berkeluh kesah mencurahkan isi hati.
Benda canggih itu ditinggalkan begitu saja di tempat tinggalnya dulu, bukan bermaksud tak ingin membawanya. Hanya saja pinta dari sang ayah dan bunda agar tak terlalu banyak membawa barang-barang.
Lagipula hunian yang berada di Ibu kota itu pun masih ditempati sang kakak, jadi tak heran jika segala perabotan rumah masih banyak di sana. Mungkin jika kakak pertamanya itu ikut serta minggat ke sini, semua furniture akan diboyong juga.
Ama melihat ke arah gawainya yang sedari tadi menampilkan layar hitam tanpa ada notifikasi apa pun. Ia kira akan ada sebuah panggilan masuk dari seseorang yang berada jauh di sana.
Namun pada nyatanya ia harus menelan pil kecewa dan berkawan dengan kemelut hati yang tak kunjung reda. Rasa rindunya hanya bertepuk sebelah tangan saja, tak menerima sambutan baik dari seseorang yang diharapkan.
"Guntur, Ama kangen. Kok Guntur jahat gak nelepon Ama sih? Guntur udah lupain Ama yah," monolognya syarat akan kesedihan.
Saat ini ia hanya mengharapkan Gunturlah yang lebih dulu menghubungi, sebab ia tak tahu nomor kontak lelaki itu. Andaikan saja sang ayah tak usil dan menghapus secara diam-diam nomor sang sahabat, mungkin saat ini ia tengah saling bertukar kabar.
Ia tak suka keadaan seperti ini. Rasa rindu itu semakin menjadi dan inginkan temu, tapi ia tak bisa berbuat banyak selain diam serta menunggu. Ya, menunggu, lagi-lagi ia berkawan dengan kata itu.
"Ama nunggu Guntur di sini, di sana Guntur jangan nakal-nakal yah," lanjutnya, ia memilih untuk merebahkan diri di pembaringan.
Gadis muda itu terus berkelana, merangkai segala angan dan asa dengan seseorang yang jauh di sana. Salahkah jika ia merindu sedalam ini? Hatinya kosong dan hampa.
Sedangkan tanpa sepengetahuannya ada seseorang yang tengah mengendap-endap mencari kamar yang Ama tempati. Tapi sayang, ia kurang beruntung dan malah memasuki ruang pribadi Ghilsa.
"Aaaakkhh!"
Teriakan nyaring itu membuat semua penghuni rumah berlari menghampiri sumber suara, sedang sang dalang kekacauan masih terlihat linglung. Ia masih shock dengan apa yang dilihatnya.
Ghilsa yang tengah menggunakan pakaian tidur, tanpa khimar yang menutupi rambut indahnya. Jangan lupakan juga perut buncit Ghilsa yang berhasil membuat ia meneguk ludah tak percaya.
"Ka-ka-mu kenapa ada di sini?" gagap Ghilsa dengan tangan bergerak mencari penutup kepala dan selimut tebal yang bisa menutupi lekuk tubuhnya.
"Ma—"
"Ghilsa! Guntur!" pekik Ghani dengan wajah merah padam, bahkan urat-urat leher pria itu sudah mengencang kuat.
"Apa yang kalian lakukan, hah?!" Ia maju dan menatap sengit penuh permusuhan pada anak dari kerabatnya.
Hari sudah malam, dan dengan tidak sopan Guntur malah menyelinap masuk ke dalam kamar putri pertamanya. Sungguh fakta yang sulit untuk dipercaya.
"A-a-a-ku bisa jelaskan, Om. Ini gak se—"
Perkataan Guntur melayang di udara karena Ghani yang begitu emosi langsung mencengkeram rahangnya. "Apa kamu yang sudah menghamili Ghilsa!"
Itu bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan yang berhasil membuat tubuh Guntur menggigil bukan kepalang.
Sontak lelaki itu pun menggeleng dengan kepayahan. Menghamili? Jangankan untuk menghamili ia saja tercengang kala melihat kondisi Ghilsa yang tengah berbadan dua.
Kedatangannya kemari hanya ingin bertemu Ama, dan memberikan gadis itu kejutan karena kemunculannya yang tiba-tiba. Ia pun sengaja mengendap-endap agar tak tertangkap basah Ghani.
Namun nasib buruk menimpanya, ia salah memasuki kamar dan malah berakhir seperti sekarang. Sumpah demi apa pun ia tak pernah melakukan hal yang Ghani tuduhkan. Ia bukan lelaki seperti itu.
"Ayah lepasin, Guntur," pinta sang putri bungsu dengan nada memohon dan suara yang sedikit bergetar. Ia tak tega melihat sang sahabat kesakitan, terlebih ayahnyalah yang menjadi sumber kesakitan tersebut.
"Jangan ikut campur urusan Ayah, Ama!"
Ghani melepas cengkraman tangannya secara kasar, dan ia pun beralih pada sang putri yang sedari tadi bungkam. "Jawab Ayah, Ghilsa. Apa dia yang sudah menghamili kamu?!"
Wanita yang tengah berbadan dua itu semakin dirundung rasa takut dan gelisah. Bola matanya berkeliaran dengan tangan yang saling memilin selimut yang membungkus tubuh.
Ia gugup bercampurnya takut. Melihag kemarahan sang ayah membuat perasannya resah tak keruan. Terlebih ia pun masih shock dengan kehadiran Guntur.
Ghina memilih untuk menenangkan sejenak emosi sang suami, ia mendekat dan mengelus lembut punggung tangan Ghani, berharap hal itu bisa sedikit membuatnya tenang.
"Semuanya bisa kita bicarakan baik-baik, Mas jangan emosi dulu," katanya seraya tersungging tipis.
"Guntur keluar dan tunggu di ruang keluarga," pinta Ghina yang mau tak mau membuat lelaki itu menurut.
Guntur melajukan tungkainya, dan ia sedikit terpaku kala melihat wajah sendu Ama. Sebisa mungkin ia memberikan senyuman lebar.
"Guntur gak papa?" cicitnya dengan nada rendah dan pelan.
Lelaki itu menggeleng lantas merogoh kantong celananya dan memberikan Ama sebuah kalung liontin dengan inisial huruf G. "Aku mau kasih ini ke kamu, tapi malah kaya gini."
Tangan Ama terulur untuk mengambil, namun tak jadi sebab Ghani yang lebih dulu membuang kasar benda yang hendak Guntur berikan. Emosi telah menguasai diri, akal serta pikirannya tak lagi bisa berjalan dengan benar.
"Jangan pernah dekati Ama lagi!"
Perintah tegas itu dilayangkan Ghani, lengkap dengan sebuah bogeman mampir di wajah Guntur. Rasa nyeri dan panas menjalar, dan membuat sudut bibir lelaki itu mengeluarkan darah segar.
"Ayah jahat!"
Air mata gadis itu sudah mulai berjatuhan. Ia kecewa, ia tak suka, bahkan ia marah pada sang ayah yang sudah bertindak sangat keterlaluan.
"Jangan nangis, Ma, aku gak papa," ungkap Guntur seraya menghapus cairan merah kental tersebut. Ia sedikit meringis kala rasa sakit mulai bermunculan.
Ghani hendak memberikan bogeman lagi, ia muak dengan apa yang baru saja dilihatnya. Namun hal itu malah meleset dan melukai sang putri, Ama.
Kepala gadis itu seketika pening dan berkunang-kunang, belum lagi rasa sakit yang kian datang menghadang. Tinjuan sang ayah sangat amat menyakitkan.
"Mas udah keterlaluan!" Ghina yang sedari tadi menyaksikan akhirnya kembali angkat suara, ia memeluk tubuh sang putri yang terasa sudah melemas tak bertenaga.
"Pu-pu-sing, Bunda," lirihnya saat sebelum kegelapan menyapa.
"Ama bangun, Sayang," bisik Ghina saat kedua mata sang putri sudah terpejam. Tubuh Ghina sudah mulai oleng karena menahan bobot sang putri.
"Aku bantu, Tan—"
Secara kasar Ghani langsung menepis tangan Guntur dan mengambil alih tubuh mungil sang putri. Ia membopong Ama dan membawanya ke dalam kamar.
"Maafkan, Ayah," katanya setelah mendaratkan kecupan singkat di dahi sang putri. Ia sangat merasa bersalah karena sudah melukai putrinya sendiri.
Sedangkan Ghina membereskan kekacauan di kamar anak keduanya. Kepala wanita beranak tiga itu sudah berdenyut pusing, hari sudah larut tapi keluarga mereka malah sibuk dan berjibaku dalam keributan.
"Ganti pakaian kamu, Bunda perlu bicara sama kamu dan Guntur," pinta Ghina lembut tapi menusuk.
Ghilsa tak banyak berkata, ia segera menuruti titah Ghina setelah sang bunda dan juga Guntur keluar dari kamarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top