4

Halooo plis VOTE DAN KOMEN YAAAAAA

BTW MAU NGASIH TAU KALO BUKU CCM, KATA MEREKA, dan HE'S NOT NORMAL READY STOCK YAAAAA. YG MAU PESAN SILAKAN DM.

ADA EBOOKNYA JUGA DI GOOGLE BOOKS YAAAAA

Selamat membacaaaaaaa

---------------------------------------------------------------------------


Kurundukkan kepalaku malu benar-benar tak berani menatap pria yang dipanggil Kas tersebut. Baru mendengar suara tanpa melihatnya saja sudah membuatku malu. Bisa-bisanya dia mengatai orang yang menggunakan tinder seperti itu. Tapi sepertinya tidak ada yang berani melawan ucapannya karena mereka semua hanya diam. 

"Udah-udah. Pagi-pagi malah ngomongin tinder. Aplikasi nggak jelas. Mending sekarang kita mulai daily stand-up," ujar si Kas. Aku bisa mendengar langkah kaki si Kas yang menjauh dariku dan mendekat ke area meja dan grasak-grusuk di depanku yang kuyakin mereka mulai duduk di tempat masing-masing.

"Langsung mulai nih, Kas?" Itu suara Kewa. 

Aku masih merundukkan kepalaku. Tak sengaja mataku memandang lututku. Astaga! Darahnya kembali merembes di celana putihku! Semoga saja tidak ada yang menyadarinya. Aku pun menurunkan tas selempangku menutupi area lutut. 

"Menurut lo? Biasanya kita gimana?" tanya balik Si Kas.

"Ya kali langsung mulai, Kas. Lo nggak lihat ada anak baru depan kita?" tanya Menuk.

Wah, mendengar ada yang menyebut kata anak baru jiwaku terpanggil. Otomatis kuangkat kepalaku. Dan ternyata tidak jauh dariku, akhirnya aku bisa mengetahui sosok Si Kas ini. Lututku seketika rasanya melemas. Diriku tertegun memandang dirinya. Ini benar-benar mimpi buruk. Setelah sekian tahun tak kusangka aku akan bertemu dengan dirinya lagi. 

"Oh ini yang dibilang Mas Ronny? Anak temannya itu kan, Wa?"

Kewa mengangguk. Bisa kulihat raut wajah Kewa yang terlihat sebal. Sama halnya dengan Donal yang terus memandang laptop memunggungiku. Mungkin ejekan tinder tadi masih membekas di hati mereka. Wajar sih aku juga begitu. Tidak semua orang bermain tinder itu karena tidak laku. Tapi aku tidak begitu mempedulikan mereka karena di depanku sekarang ada dia. Pria yang sebenarnya menjadikan alasanku menginstall tinder di ponselku. Benarkah itu dia? 

Sepertinya Kas menyadari pandanganku. Ia menangkap mataku dan tentu saja itu membuatku segera membuang wajahku. Sial. Semoga dia tidak mengingat diriku dan aku yakin sih dia tidak ingat. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang tidak penting.

"Kayaknya muka lo nggak asing deh." Ucapan yang meluncur dari mulut Kas jelas saja membuat mataku melotot. Ya Tuhan, apa dia mengingatku? Tidak. Plis, jangan!

"Lo kenal juga sama Jyo?!" pekik Donal.

"Jangan bilang lo kenal sama Jyo halnya sama kayak gue dan Donal." Kewa menimpali.

Mati aku mati aku. Jangan sampai dia bilang ....

"Lo berdua kenapa sih? Heboh banget. Udah gue bilang gue nggak main tinder. Coba deh lihat kakinya dia. Berdarah nggak?" tanggap santai si Kas itu sembari mengeluarkan laptop dari dalam ranselnya. 

Fyuuuh, leganya diriku. Kupikir ia mengingatku. Pokoknya jangan sampai ada tentangku di pikirannya. Sudah cukup. Semua masa lalu dan ingin kulupakan. Lagipula diriku tak penting ini. Sudah pasti bukan diriku yang ada di pikirannya melainkan ....

Dan aku kaget ketika Donal bergerak cepat bangkit lalu menunduk dan menyingkirkan tasku sehingga kali ini darahku benar-benar terlihat oleh mereka semua. Mata mereka semua serentak melotot dengan mulut menganga tak percaya. Bahkan sesekali mereka menoleh melihat si Kas yang tampak acuh tak acuh dengan mata terfokus pada laptopnya. Dan aku juga bingung, tahu dari mana dia kalau kakiku berdarah?

"Kok lo tahu kakinya berdarah?" tanya Kewa terdengar emosi. Untung Kewa menanyakan hal yang sama denganku.

Tapi belum sempat rasa penasaranku terjawab, aku malah terkejut dibuat dengan sikap Donal. Tiba-tiba dirinya mengambilkanku kursi dan mendudukkan diriku dengan menekan pundakku pelan. Aku tentu saja tak bisa menolaknya. Inginku bertanya, tapi Donal benar-benar sigap dengan ....

"Duduk sini. Gue ambil obat dulu." Ia bersikap sangat jantan. Lantas ia pun meninggalkan kami. 

"Kas, lo tahu dari mana kakinya Jyo berdarah?" tanya Opey yang sama penasarannya.

"Au nih. Kita aja yang dari tadi sama dia di sini nggak ada yang sadar kalau darah di kaki Jyo sebanyak itu. Lo yang barusan datang langsung ngeh," tambah Menuk.

Wajah mereka terlihat tak suka dengan sikap si Kas. Ternyata dia memang secuek itu ya. Dari dulu begitu dan sampai sekarang sikap cueknya sama sekali tak berubah. Huh. 

Kewa pun berjalan mendekatiku. Ia tarik kursi Donal dan duduk lalu memandang lukaku. "Jangan-jangan tadi lo ke kamar mandi karena ini ya? Apa mungkin lo jatuh di kamar mandi? Kenapa nggak bilang sih, Jyo?" tanya Kewa yang terlihat cemas sekali. "Gue kan jadi merasa bersalah. Apa gara-gara gue ya kaki lo berdarah. Sialnya kenapa gue nggak ngeh? Dan malah si Kampret itu yang ngeh."

"Gue dengar lo ngatain gue ya, Wa." Mendengar kata Kampret baru si Kas itu melirik tajam Kewa.

Tapi Kewa tak peduli. "Meskipun jabatan lo di atas gue, gue tetep bakal ngatain lo selama lo selalu cuek sama orang di sekitar lo kayak gini."

Kuteguk ludahku perlahan. Kenapa suasananya mulai terasa panas ya?

"Cuek gimana sih? Gue kan udah ngasih tahu kakinya berdarah. Donal langsung sigap ambil obat dan lo sekarang merhatiin dia. Terus gue harus gimana? Bersikap kayak lo berdua juga? Ini gue juga perlu buru-buru balas email user karena lo cuekin email mereka dari kemarin."

Kewa memutar bola matanya ke atas lalu ditatapnya si Kas yang berada di belakangnya. "Gue kan tadi nanya kenapa lo bisa tahu kaki Jyo berdarah? Ya masalah email, ntar gue respon. Harusnya hari ini kelar develop-nya baru gue kabarin mereka. Capek kali ditanyain terus."

Tiba-tiba saja bola mata kas bergerak ke arahku. Mata kami bertemu. Detik itu juga kurundukkan kepalaku malu. Sial, kenapa dia melihatku? Jangan sampai dia ingat aku siapa ya Allah....

"Minggir lo. Gue mau obatin Jyo dulu." Untung Donal datang. Kewa yang merasa terusir pun bangkit. "Angkat dulu celananya ya," suruhnya pelan. Aku menurutinya. Dengan lembut dan pelan Donal pun membersihkan lukaku. Mereka semua kecuali si Kas itu mengerumuni aku dan Donal. Hmmm, Donal baik sekali ....

"Sial, kalah cepat gue tadi," gumam Kewa.

"Tau lo, Wa. Baru kali ini loh gue lihat Donal sesigap ini sama cewek. Kayaknya banyak cewek di gedung ini nggak ada yang bisa buat Donal sampai turun ke basement demi beli hansaplas, alkohol dan kapas begini. Salut gue sama lo, Nal," ujar Opey sembari menepuk pundak Donal.

"Feeling gue, Donal bakal kurusan deh," tambah Menuk.

"Karena ada Jyo ya? haha." Dan dua pria itu tertawa sementara Kewa menatap mereka sebal dan Donal terus fokus pada lukaku dan mengobatinya pelan-pelan.

Niatku, aku akan mencari waktu untuk kami berdua dan meminta maaf pada Donal. Sungguh, aku jadi merasa jahat padanya. 

"Udah nih. Harusnya darahnya udah nggak ngalir," ujarnya tanpa senyum. 

Ya ampun, aku merasa jahat. "Makasih ya, Nal," tanggapku lembut. 

Ia mengangguk dan lantas kembali memutar kursinya lalu fokus ke laptopnya lagi. Aku kenal Donal kok. Kenal sekali dan masih mengingat dirinya jelas. Maafkan aku, Nal ....

"Yaudah, Jyo. Lo duduk di samping gue ya." Ucapan Kewa menyentakku. 

"Ah iya," responku otomatis. 

Meskipun agak perih, tapi setidaknya lukaku sudah mendingan berkat Donal. Nanti akan kuungkapkan cara terimakasih versi terbaikku padanya pokoknya. Aku pun bangkit dan mengekori Kewa. Ternyata aku duduk di antara Donal dan Kewa. Di samping kanan Kewa ada si Kas. Di samping si Kas ada Opey dan di samping Opey ada menuk. Ya beginilah, dengan meja bundar seperti ini aku bisa melihat wajah mereka secara jelas.

Tak sengaja mataku dan si Kas bertemu. Lagi-lagi segera kubuang pandanganku. Kenapa sih dia doyan sekali melirikku?

"Oke. Sebelum daily-stand up dimulai, boleh untuk yang baru join di tim kita untuk ngenalin dirinya." 

Tetiba diriku gugup begitu mendengar si Kas berbicara begitu. Ya aku tahu sih memang sudah seharusnya aku mengenalkan diri sebagai anak baru, tapi seandainya di sini tidak ada Kas aku pasti akan sangat pede. Oke memang sangat mengesalkan ketika mengetahui Donal dan Kewa satu kantor denganku, tapi semua itu masih kalah mengesalkan daripada mengetahui Kas yang juga menjadi satu tim denganku sekaligus atasanku!

Tapi ya sekali lagi. Semua itu adalah masa lalu yang wajib kulupakan. Mungkin si Kas juga tidak akan mengingatku. Apalah artinya diriku yang cuma semut kecil jelek yang tidak tampak di depannya. Lagipula buat apa juga aku gugup begini. Lebih baik kuhadapi sajalah kenyataannya. Toh orang di depanku memang benar-benar adalah dirinya. 

Aku pun bangkit berdiri. "Kenalin, nama saya Azyorandra. Panggil Jyo aja. Saya di sini sebagai technical writer."

"Background-nya apa?" tanya si Kas tanpa melihatku dan kembali memandang laptop.

"Background saya bisnis. Kalau untuk pengalaman kerja, jujur saya nggak punya karena ini adalah pekerjaan pertama saya," jelasku. Malu sebenarnya mengatakan kalau background-ku bukanlah IT seperti mereka semua. 

"Oke. Masuk ke sini berarti karena Mas Ronny ya?" tanya si Kas ini lagi.

Aku mulai agak kesal. Menyebalkannya orang ini memang tidak hilang-hilang dari dulu. Untung saja dulu yang berani mendekati dirinya bukan aku melainkan ....

"Yaudah sih, Kas. Lo kenapa sih? Kalau dia masuk ke sini karena Mas Ron ya nggak ada masalahnya juga kan. Orang ini perusahaannya Mas Ronny juga," ujar Kewa.

"Tau. Ngeselin banget pagi-pagi," timpal Donal dengan wajah merengut.

"Lo berdua nggak ngaca, yang dari tadi ngeselin siapa?" balas Kas.

"Angkasa Angkasa. Lo tuh tadi gue tanyain tahu dari mana kaki Jyo berdarah coba? Lo malah nggak jawab-jawab." Nada Kewa perlahan naik. 

Iya. Nama si Kas ini adalah Angkasa. Bahkan aku tahu nama lengkapnya, tanggal lahirnya, dia lulusan mana. Dia SMA di mana. Kuliah di mana. Rumahnya di mana. Berapa bersaudara. Pekerjaan orang tuanya apa. Semua aku tahu! Yang aku tidak tahu hanyalah ternyata si Kas yang dari tadi kami sebut ini adalah Angkasa yang merupakan penyebab asal muasal dari segalanya. Beruntungnya, aku hanya serpihan debu saat itu sehingga ia sama sekali tak mengingat siapa diriku.

"Masih lebih hebat gue lah ngaku kenal Jyo dari mana walaupun gue udah dilupakan," tambah Donal.

Sontak mendengar ucapan Donal mengembalikan kesadaranku. Duh, Si Donal mulai deh. Tangan Menuk pun otomatis mengelus pundaknya. "Sabar, Nal. Mungkin lain cerita kalau lo kurus kayak yang lo pernah akuin ke kita."

"Buahaha!" Tawa paling keras dari Opey membahana. Ya hanya Opey seorang karena kami semua di sini hanya diam. Opey yang menyadari kalau ia hanya sendiri segera menutup mulutnya dan berpura-pura menatap laptop. Sementara Kewa sama halnya dengan Donal, terus memasang wajah kusut mereka. Aku baru tahu ternyata ada perusahaan yang terang-terangan berdebat dengan atasannya seperti ini ya. Aku tahu umur mereka beda tipis, tapi tetap saja namanya atasan ya atasan.

"Oke. Oke. Gue jawab." Akhirnya Kas atau Angkasa buka suara setelah adegan hening beberapa saat. Semua mata secara otomatis menatap tajam dirinya. 

Karena dulu aku pernah memanggil nama Kas dengan sebutan Mas Angkas, sepertinya sekarang aku juga akan menyebut namanya seperti itu. Mas Angkas pun meletakkan kedua tangannya di atas meja dan menyandarkan dagu pada buku-buku tangannya. 

"Pada tahu kan gue berangkat kantor naik apa?" Semua orang kecuali aku menganggukkan kepalanya mengiyakan. "Tadi pagi gue nggak sengaja nabrak dia di depan lobi. Gue bahkan sempat negur masalah lututnya yang berdarah. So, that's why I know why her knee is bleeding." terang Angkasa malas. 

Semua orang langsung terdiam mendengarnya termasuk aku. Aku berusaha merangkai kata-katanya. Berangkat kantor naik apa? Negur masalah lututnya berdarah? Seketika ingatanku berputar ke tadi pagi di mana aku tertabrak oleh sepeda!

"Jadi kalau lo nuduh gue kenal sama dia dari tinder, itu nggak benar. Gue nggak pernah install tinder seumur hidup gue. Mainin tinder dan lihat aplikasinya aja nggak pernah."

"Bohong ...." Astaga! Ya Tuhan, kenapa aku bisa menggumam kalimat seperti itu?! Detik itu juga semua mata memelototiku tak percaya. "M-maksudnya bohong itu dosa. Jadi nggak mungkin Mas Angkas bohong." Entahlah apa yang kuucapkan masuk akal atau tidak. 

"Mas Angkas?" tanya mereka lagi serentak.

Aku jelas bingung. "Kenapa?"

"Buahahaha!" Lagi-lagi sebuah tawa meledak dari mulut mereka semua kecuali Mas Angkas. Di tengah tawa mereka, anehnya Mas Angkas memicingkan matanya menatapku. Hmmm, ada yang salah kah?

"Angkasa dipanggil Mas Angkas! Hahaha!" Dalam satu hari ini aku sudah bisa hapal dengan tabiat Opey yang suka tertawa paling keras tanpa mempedulikan tatapan kanan kiri. Ya buktinya seperti sekarang ini dan lama-lama jadinya menyebalkan. Huft! 

"Seumur-umur baru kali ini gue dengar Angkasa dipanggil Mas haha. Udah gitu Angkas lagi. Duh, udah berapa tahun kita kerja sama baru ini loh, Kas," lanjut Menuk.

Mereka masih terus tertawa padahal menurutku tidak ada yang lucu dengan hal itu. Sampai akhirnya ....

"Satu-satunya yang manggil Mas Angkas itu cuma satu orang dan gue nggak sangka panggilan itu datang lagi, tapi dari orang yang nggak gue kenal," ujar Mas Angkas dengan mata yang kini sedang menatap laptop. Alisnya mengerut seperti sedang membaca sesuatu.

Ya ampun. Segera kututup mulutku. Mataku melotot. Tak seharusnya aku menyebut nama Angkasa seperti itu. Betul, memang hanya ada satu orang yang dia kenal dan memanggil dirinya dengan sebutan Mas Angkas. Walaupun asal muasalnya tidak demikian. Serius, kenapa aku mendadak ingin menangis ya mengingat semua ini? Ya, harusnya bukan orang itu yang Mas Angkas ingat melainkan aku. Mendengar Mas Angkas berbicara seperti itu membuat dadaku sesak sekali. 

"Betul. Selama gue kerja bareng Angkas rata-rata manggilnya ya, Mas Kas, Mas Kasa, Pak Angkasa. Mas Angkas itu baru dengar dari mulut lo, Jyo. Padahal lo kan baru kenal sama Kas sekarang. Aneh aja lo udah bisa nyaman banget dengan panggilan Mas Angkas begitu," kekeh Kewa.

"Lo berdua yakin kan baru kenal sekarang? Sebelumnya nggak kenal kan? Jangan-jangan ini kisah kita kebalik. Jyo yang kenal Angkasa, tapi Angkasa yang nggak kenal Jyo."

Kepalaku menoleh cepat ke Donal. Bisa-bisanya ia berbicara seperti itu?! Meskipun sebenarnya itu benar. Huhu, kenapa sih begini amat nasib di kantor baru? Tidak bisa damai tanpa masalah apa ya? Papaaaa, tolong Jyoooo....

***

Plis tanggapannya yaaaaa. Gimana chapter ini? Makin seru atau B aja???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top