2

Mohon vote dan komen panjang lebarnya yaaaaa. 

Sama mau ngasih tahu CCM, KM, HNM Ready stock ya. bisa dibeli di tokped dan shopee. Terimakasiiiih.

Selamat membacaaaaaa dan tetap ya jangan ke mana-mana. Stay at home, guys!

-------------------------------------------------


"Oeeeek oeeeeeek." Tangisan kencang itu kembali membangunkanku. Lagi-lagi suara bayi itu. 

Tanganku secara otomatis mencar-cari ponsel. Kubuka mataku perlahan dan betapa terkejutnya aku ternyata sekarang masih jam dua pagi coba. Astaganaga. Hidupku benar-benar tak tenang semenjak ada bayi itu. Kalau nangis lihat-lihat jam kek. Segera kuambil bantal dan kututup kepalaku dengan bantal agar meredam tangisan bayi itu. Aku ingin tiduuuur huhu. Besok kan hari pertamaku bekerja, tapi ....

"Jyo!" Tiba-tiba pintuku terbuka dan aku tahu itu siapa. "Bantu Mama buatin susu buat Icia ya. Mama kebelet ke kamar mandi. Papa harus diemin Icia ini."

Tuhkan! Kenapa sih? Kenapaaa? Susah sekali rasanya tenang semenjak pulang ke Indo. Untung besok aku kerja. Melihat diriku yang tidak bergerak sama sekali, langkah kaki pun terdengar mendekatiku. 

"Atau mau gantian sama Papa? Papa yang buatin susu kamu yang diemin Icia? Ayo pilih...." Papa membisikiku. 

Aku pun mengangkat bantalku. Kupasang wajah kesalku. "Jyo baru tidur jam 12, Pa. Seharian Jyo udah jagain Icia. Ajak main segala macam. Masa malam-malam di waktu tidur Jyo juga harus ngalah sama Icia sih?" gerutuku sebal. 

Papa menghela napasnya. "Ya gimana. Namanya juga anak kecil. Kamu dulu pas kecil juga sama aja cengengnya kayak Icia kok. Lagipula nggak sering ini," timpal Papa.

"Tapi kan Jyo nggak sampai ganggu orang tidur."

Papa terbahak. "Duh, sayang aja di sini nggak ada pintu ajaib doraemon. Kalau nggak udah Papa bawa kamu ke jaman dulu. Mending Icia cuma repotin kamu, Mama, dan Papa. Dulu kamu repotinnya hampir seluruh RT RW tahu nggak."

"Apaan sih. Papa lebay," sahutku emosi dan memutuskan bangun.

"Eh, beneran. Tanya aja sama Mama. Kamu dulu suka ilang. Meleng dikit ilang." Papa masih tak mau kalah.

"Mas Bagaaas, Jyoooo. Buruan. Mama mau pipis nih. Bantu dooooong!" Mama teriak dari luar sana. Mendengarnya membuatku benar-benar melek. Kuacak-acak rambutku sebal. Ingin menangis rasanya ya Allah. 

"Iyaa. Nih Papa lagi bangunin Jyo, Ma," sahut Papa kencang. Kulirik Papa ganas. "Kan besok kamu udah kerja. Itu udah salah satu cara Papa nyelamatin kamu loh. Bayangin, mana ada orang baru beberapa hari di Indo udah dapat kerja tanpa test pula. Asal kamu tahu juga, besok Eyang ke sini sama Mbok Inung bantu jagain Icia. Udah. Jangan kesal mulu. Ntar keriput lama-lama," tambah Papa sambil mengelus kepalaku lembut dengan senyum manis Papa yang pada akhirnya selalu membuatku tenang. 

Untung ada Papa. Aku sangat bersyukur sekali Bagas Wasdito adalah Papaku. Beliau adalah sosok nomor satu yang selalu menenangkanku. Apa pun keluhanku, aduanku, ia selalu bertindak paling cepat. Siapa pun yang menyakitiku, keesokannya pasti langsung meminta maaf padaku. Kadang gara-gara beliau juga, aku tidak memiliki teman. Bagaimana tidak, menangis sedikit saja diriku, pasti Papa langsung menghubungi seluruh temanku menanyakan penyebab kenapa aku menangis. Para pria pun rata-rata langsung ciut jika sudah mengetahui bahwa Bagas adalah papaku. Pamor Papa itu sangat terkenal di lingkungan sekitarku dan area pertemananku. 

Kalian tahulah. Tadinya aku adalah anak perempuan satu-satunya Papa. Hanya aku. Azyorandra Wasdito. Hanya aku cucu Eyang--orangtua Papa--satu-satunya. Tak ada yang lain. Maklum, Papa anak tunggal. Tapi sekarang semua sudah berubah. Sudah tak ada peran satu-satunya di keluarga ini semenjak dua tahun silam. Sekarang selain Azyorandra Wasdito, ada juga Iztiaqra Wasdito. 

Papa pun melangkahkan kakinya, namun sebelum itu Papa menyempatkan berkata, "Walaupun ada Icia, posisi Jyora di hati Papa dan Mama nggak tergantikan. Nggak ada yang bisa gantiin Jyora di sini. Rasa sayang kita tetap sama baik sebelum ada Icia dan sesudah ada Icia. Dan kami tetap nunggu momen di mana Jyora bisa menyambut Icia dengan senang hati." Kemudian Papa pun keluar.

Entah kenapa ada yang aneh di hatiku. Perkataan Papa seolah menohokku. Tubuhku tiba-tiba saja lemas. Aku yang tadinya ingin menangis karena kesal kini berubah menjadi ingin menangis beneran. Aku bukan membenci Icia. Aku hanya menyesalkan keadaan ini. Kenapa ia mesti datang? Seolah semua perhatian ke dia sekarang. Aku sayang Papa. Aku sayang Mama. Aku hanya kaget dengan suasana ini. Di mana ketika aku kembali ke Indonesia, semua berubah dalam sekejap. Dari kecil sendirian bahkan sampai lulus kuliah S1. Tapi sekarang tidak. Ada anak lain selain aku ....

"Jyooooo!" panggil Mama lagi dari bawah. 

Aku mendengarnya, tapi tubuhku rasanya membeku. Aku tak bisa bergerak. Dadaku sesak. Aku merasa menjadi orang yang paling jahat di rumah ini. Aku masih ingat betul pandangan seluruh keluargaku ketika aku baru tiba di Indonesia beberapa hari yang lalu. Tidak ada kerinduan di sana. Tidak ada yang bertanya apa kabar padaku. Nilaiku bagaimana. Semua orang malah sibuk dan memamerkan Icia yang sedang lincah-lincahnya. Giliran Icia menangis, langsung aku diminta bantuan sana-sini.

Aku jahat tidak sih kalau kesal dan suka marah-marah pada kedua orangtuaku bahkan sampai meminta kerja secepat-cepatnya? Air mataku terus turun tak berhenti. Ini benar-benar menyedihkan ya Tuhan. 

"Jyo, besok kerja hari pertama, Ma. Udah nggak usah panggil dia. Biar kita berdua aja yang urus Icia." Aku bisa mendengar jelas ucapan Papa di bawah dan jelas saja membuat tangisku makin hebat. 

Karena Papa tadi tidak menutup pintu aku pun bangun dan lantas menutup pintu pelan. Lalu kurebahkan diriku di atas kasur dan menangis malam itu berdoa semoga ada hari di mana aku bisa berdamai dengan keadaan.

***

Ponselku bergetar lagi. Astaga. Masih pagi padahal. Aku yang sedang dandan terpaksa menghentikannya sejenak. Kebetulan aku sudah mengenakan pakaian rapi ala kantoran. Celana bahan putih dan kemeja pink sifon yang kumasukkan ke celana. Aku juga akan memakai high heels hitamku. Ini adalah penampilan yang cukup bagus untuk hari pertama bekerja. 

Tapi sialnya, mood yang sudah bagus kubangun dari pagi mendadak buruk karena begitu aku melihat ponsel, ternyata ada pesan dari aplikasi sialan itu! Huh! Dan aku sudah bisa menebak ini dari siapa. Si Donal menyebalkan itu! Ia tak henti-hentinya coba menghubungiku dari kemarin. Caraku mengabaikannya tak membuatnya berhenti menanyakan perihal lupanya diriku akan dirinya.

Tiba-tiba saja aku teringat perkataan Om Ronny kemarin yang bilang bahwa Donal akan setim denganku. Astaga. Ada dosa apa coba aku dulu sehingga kebagian bertemu dan harus setim dengannya huhu. Kuhela napasku panjang. Rasanya tak ada yang salah sih jika kuputuskan untuk membuka pesan tindernya pagi ini. 

Aku pun duduk di atas ranjangku. Kubuka aplikasi laknat ini dan ya, ada 10 pesan di sana. Aku membacanya satu per satu. 

Ini gue Donal, Jyo. Masa iya lo lupa sih. Kita dulu ketemuan di kafe kopi depan kokas. Setelah itu kita nonton. Terus gue anterin lo pulang. Emang sih nggak sampai depan rumah, tapi gue masih ingat kok sama tempat pemberhentian terakhir kita itu.

Gue tahu sih dulu badan gue nggak segede sekarang, tapi bukan berarti lo lupa kan? Waktu itu lo pakai dress putih selutut tanpa lengan. Ingat banget gue. Lipstik lo merah muda. Rambut lo diikat. Gue nggak mungkin salah orang.

Plis balas, Jyo. Jangan pergi lagi kayak dulu. 

Dan sisa pesannya adalah panggilan padaku agar aku membalas pesannya. Kuputar bola mataku ke atas. Menyebalkan. Sebenarnya aku malas mengingat-ingat jaman kuliahku itu. Gara-gara pria sialan itu, aku jadi terjebak dengan tinder. Pria yang tak akan pernah kugapai bahkan lewat tinder sekalipun. Gara-gara saran Goana juga aku menggunakan aplikasi itu. Serius, benar-benar menyebalkan sekali. 

"Jyoooo!" Teriakan Mama menyentakku. "Ayo, sarapan duluuuu. Ingat, ini hari pertama kamuuu."

Ah iya, kulupakan saja kasus tinder ini. Aku harus kembali ke dunia nyata. Aku pun bangun. Kuambil hand bag-ku dan bersiap turun ke bawah. Papa, Mama, dan Icia sudah di bawah di meja makan. Icia duduk di kursi bayi sembari menikmati cemilan bayinya. Ia tersenyum riang begitu melihat kehadiranku di meja makan. Aku pun duduk dan bergabung di antara mereka.

"Mukanya jangan jutek gitu apa. Hari pertama kerja loh," ujar Mama sembari mengelap pipi Icia yang penuh sisa-sisa makanan.

"Senyum dong, Sayaaang," timpal Papa. 

Iya sih aku tahu. Aku hanya kesal saja ketika membaca pesan dari Donal. Tapi daripada membuat kedua orangtuaku cemas, sengaja kupasang senyum paling cantikku sembari mengambil roti lalu mengoles selai kacang di atasnya. Kami pun mulai mengobrol mulai dari persiapan kerja di hari pertama orangtuaku dulu. Ya, Papa adalah salah satu bos di perusahaan minyak ternama di Indonesia sedangkan Mama tadinya adalah seorang manajer di sebuah perusahaan cetak dan sekarang Mama hanya seorang ibu rumah tangga karena mendadak munculnya kehadiran bayi di depanku ini.

Sampai akhirnya aksi mengobrol kami terhenti ketika Papa mengajakku untuk ke kantor. Dan sekarang aku sudah berada di mobil bersama Papa dan sopirnya. Papa terus menyemangatiku. Ia meyakinkanku bahwa ini adalah langkah baik bagiku. Tentu saja aku terharu dan rasa sayangku pada Bagas Wardito ini kian besar. 

Tak butuh waktu lama untuk sampai di kantor baruku karena kini aku sudah di depan gedungnya. Kupejamkan mataku dan berdoa semoga hari ini baik-baik saja. Tak lupa kusalam Papa dan lagi-lagi Papa menyemangatiku sebelum ia pergi meninggalkanku. Aku pun memandang jarum pendek pada jam di tangan kiriku yang mengarah ke angka sembilan. Wah, aku harus cepat-cepat naik ke atas karena kemarin Om Ronny bilang kalau aku harus tiba di kantor jam sembilan teng. 

Segera aku berlari detik itu juga namun, tiba-tiba entah dari sudut mana ada sepeda muncul di hadapanku dan, "Aaaaaaa!" Aku berteriak kencang dan gubrak! Tubuhku melayang dan hampir saja menimpa sepeda. Untungnya, lutut dan kedua tanganku mampu menahan berat tubuhku. Kalau tidak, habis mungkin perut atau dadaku. 

"Lihat-lihat dong, Mba, kalau mau nyebrang." Pikiranku buyar dan kepalaku otomatis menoleh ke asal suara itu. 

Ternyata yang menabrakku adalah seorang pria pengendara sepeda lengkap menggunakan helm, masker, kacamata hitam, baju ketat, celana pendek, termasuk sepatu bersepeda. Ia terjungkang tidak jauh di depanku. 

"Situ yang nggak pakai mata." Aku tak terima tuduhannya dan bersiap bangun. 

Tapi sialnya, ketika aku berusaha bangun, lututku terasa nyeri. Aku pun melihatnya dan aaaa ada daraaaaah! Tapi aku tak mau terlihat lemah, cukup berteriak dalam hati saja. Sekuat tenaga pun aku berusaha bangun. Mana aku pakai celana putih lagi. Ketara sekali ini merahnya. Tapi bodo amatlah. Hari pertamaku kerja mungkin memang tidak semulus cerita Mama dan Papa. Sekarang yang harus kulakukan adalah buru-buru bertemu Om Ronny. Memilih mengabaikan si Penabrak itu adalah langkah paling tepat saat ini. Lagipula ia juga tak jelas. Pagi-pagi naik sepeda di depan gedung berpakaian seperti itu lagi. Menyebalkan. Aku pun berjalan dan melewatinya.

"Hey! Lutut lo merah itu!" teriaknya kencang sehingga semua mata langsung tertuju ke lututku. 

Ah, aku tak peduli. Terus kulangkahkan kakiku. Aku tak mau hari ini lebih buruk lagi. Kini aku sudah berada di lift. Bisa kudengar bisik-bisik orang di belakangku membicarakan kasus lututku.  Ingin menangis rasanya. Bukan karena sakitnya, tapi karena malunya itu. Kisah jatuh di depan kantor tadi benar-benar memalukan. Mana pria tadi yang menegurku duluan seolah aku yang tidak melihat. Orang dia yang nyetirnya tidak benar kok dan ....

Ting! Pintu lift terbuka. Kugelengkan kepalaku agar membuang semua kisah buruk yang barusan menimpaku. Kebetulan di mobil tadi, Om Ronny sudah bilang ke Papa agar langsung saja ke ruangannya. Begitu aku di depan kantor saja, resepsionisnya sudah menyambutku dan mengantarkanku ke ruang Om Ronny. Di sana Om Ronny sudah duduk manis. Begitu melihatku, ia langsung tersenyum. Dan sekarang, aku sudah di dalam ruangan duduk di hadapannya.

"Gimana? Degdegan nggak, Jyo?" tanya Om Ronny ramah.

"Lumayan, Om, hehe," cengirku. 

Om Ronny hampir mirip Papa. Perawakan mereka besar dengan tubuh yang masih bugar. Bedanya rambut Om Ronny masih tebal dan rimbun sedangkan Papa sudah mulai menipis. 

"Oke. Jadi hari ini adalah hari pertama kamu. Nah, nanti ada buddy yang ngenalin kamu sama suasana kantor. Om, udah panggil dia sih. Mungkin bentar lagi dia datang."

"Buddy itu apa ya, Om?" tanyaku.

"Buddy itu orang yang akan membimbing kamu selama tiga bulan pertama. Bantu kerjaan kamu, jelasin kamu ngapain aja. Ya intinya, semacam mentor pertama kamu. Om udah jelasin sih kalau ini adalah pengalaman pertama kamu bekerja di bidang IT dan background kamu itu benar-benar bisnis. Harusnya dia paham."

Aku manggut-manggut mengerti meskipun di bawah sana aku bisa merasakan ada yang terus mengalir. Kutahan saja sejenak. Setelah bertemu buddy itu aku akan minta izin ke toilet sebentar. 

"Nah, itu dia buddy kamu datang," ucap Om Ronny yang otomatis membuatku menoleh ke belakang.

Dan lagi-lagi rasanya jantungku ingin copot. Aku tak mungkin berpura-pura untuk tak mengenalnya. Ini sungguhan dirinya. Lesung pipi itu. Aku ingat betul. Dulu kami sempat jalan beberapa kali. Ia selalu menjemputku tiap pulang kuliah. Satu-satunya pria yang bertahan paling lama denganku lewat aplikasi sialan itu. 

"Wow," ucapnya yang membuatku tersadar dan kembali ke dunia nyata. Ia menyeringai sembari mengusap rambut keritingnya ke belakang.

Om Ronny sepertinya penasaran. "Kenapa, Wa?"

"Mas Ronny bisa aja jadiin dia buddy gue." Ia berkata dengan santainya.

"Kenapa emang? Nggak suka? Bukannya kemarin-kemarin lo ngotot kalau ada anak baru mau jadi buddy? Atau mau gue gantiin Angkasa aja jadi buddy-nya?"

Ini kenapa mereka malah tawar menawar begini di depanku? Sepertinya aku tidak akan pernah berhenti apes deh semenjak menginjak kantor ini. Kemarin Donal dan sekarang ....

"Jangan, Mas. Gue malah senang banget dia buddy gue. Mau tahu nggak kenapa?" Pria itu kini mendekatiku dan seenaknya merangkulku! Astaga! Mataku ingin keluar dari tempatnya melihat tingkah pria ini. 

"Kenapa?"

"Dulu dia itu teman kencan gue dari tinder, Mas Ron! Pas gue masih cakep-cakepnya!"

Anjrit! Kenapa dia terus terang seperti itu?! Iya. Namanya Arkewa. Panggilannya Kewa. Dan ya, benar. Dia adalah teman kencanku lewat tinder dan itu cukup lama. Lima bulan! Setelah itu ia menghilang bagai ditelan bumi. Siapa yang menduga kalau sekarang dia adalah buddy-ku? Dan seorang buddy adalah sosok yang menemaniku selama tiga bulan. Mimpi buruk apa ini ya Allah?

"Om, kalau buddy itu berarti setim juga ya?" tanyaku polos berdoa semoga jawabannya adalah tidak. 

"Ya iyalah, Jyora. Lo itu teman setim gue. Namanya juga buddy."

Seandainya di depanku ada jurang. Mungkin opsi melompat akan kulakukan detik ini juga. Kewa akan menjadi teman setimku dan sosok yang kemarin tidak mungkin kulupakan juga. Ada Donal yang akan menjadi timku juga. Argh! Kenapa ini mesti terjadiiiii?!!!

Pa, bisa resign di hari pertama tidak ya?

***

PLIS KASIH TANGGAPAN YAAAA. MENARIK ATAU NGGAK? LANJUT ATAU NGGAK NIH?!

Follow gegeong di instagram utk bertanya lebih lanjut yaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top