1
Welcome to my another story yaaaaa.
Bukan spin off tapi mungkin adalah nyangkut2 ke cerita yang lain.
PLIS VOTE DAN TANGGAPANNYA YA SETELAH BACAAAAA
Terimakasih ....
------------------------------------------------------
Oke. Ini adalah hari terdegdegan. Bagaimana tidak. Ini adalah hari pertamaku datang ke kantor yang 'sepertinya' akan menjadi tempat pertamaku bekerja sebagai wanita di usia 20-an. Sebenarnya aku enggan bekerja di sini, tapi daripada menghabiskan waktu di rumah mengurus bayi, aku memilih untuk menyibukkan diri. Terserahlah mau pekerjaannya apa dan di mana. Intinya aku tidak mau di rumah.
"Tolonglah, Ron. Gue bosan dengar anak gue tiap pulang ke rumah ngeluh mulu minta kerjaan. Gue pusing tahu."
Antena telingaku bekerja dengan sangat ekstra. Ya, saat ini aku berada di luar ruangan dan duduk manis tepat luar ruangan ini. Sementara di dalam ada Papa dan Om Ronny yang ternyata adalah kerabat yang Papa bilang akan membantuku sebagai karyawan barunya nanti. Dan kalian dengarkan barusan? Gue bosan. Gue pusing. Ya bagaimana tidak bosan dan pusing karena tiap kali Papa pulang dari kantor, ia akan mendengarkan keluhanku di hari itu. Mulai dari keluhan mendiamkan Icia yang sangat sulit kutakhlukkan, membuatkan susunya, kadang mengganti popoknya. Astaga, itu benar-benar memusingkan diriku.
"Tapi lowongan yang ada di tempat gue itu nggak cocok sama background anak lo, Gas. Lagipula perusahaan ini masih seumur jagung. Gue nggak yakin anak lo betah di sini."
Yayaya, aku tahu itu. Background-ku itu adalah business communication dan aku bisa tahu dari lingkungannya bahwa kantor ini bergerak di bidang apa. Dengan tampilan ala kadarnya tanpa mempedulikan penampilan. Pakaian karyawan cowok yang hanya kaos oblong dan celana jeans. Lalu perempuan yang seperti memakai baju tidur tanpa dandan sama sesekali. Ya hanya beberapa orang saja yang kulihat berpakaian rapi layaknya orang kantoran. Kalian pasti sudah menebak ini perusahaan apa.
"Sementara aja. Sambil kerja di sini, dia juga cari kerjaan yang cocok. Lo tahu kan, di rumah istri gue udah pusing sama anak gue satunya ditambah dengar keluhan si Jyora. Dia marah-marah mulu. Mana Si Bibik lagi pulang kampung. Gue pusing. Bantulah teman lo ini, Ron." Terdengar betapa nada Papa sangat memelas.
Kuhela napasku. Maafkan aku, Papa, sampai membuatmu memelas seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi. Kepalaku rasanya mau pecah tiap mendengar tangisan Icia. Kenapa sih dia mesti ada sekarang?
"Lagian, lo udah tua bisa-bisanya punya anak," keluh kolega Papa.
"Gue sama istri gue juga kaget. Bayangin aja, setelah Jyora lahir sampai usia dia 20 tahun gue aman-aman aja. Istri nggak pernah pakai KB. Gue juga bingung kok bisa ada benih nongol. Gue sampai sempat curiga, apa istri gue main sama yang lain."
"Gila lo nuduh istri lo begitu." Aku mendengar ada suara timpukan yang berasal dari dalam ruangan. Pasti kolega Papa yang memukulnya.
Lagipula ada-ada saja. Icia itu beneran adekku kok. Semakin ke sini, wajahnya semakin mirip Papa. Pantas Papa ditimpuk seperti barusan. Bukannya membalas, aku malah mendengar Papa tertawa.
"Haha. Sempat ribut gede waktu itu. Gue sampai tes DNA segala macam dan benar kok anak gue." Tawa kembali membahana.
Ya Allah, Papa lama sekali sih ngobrolnya. Aku sudah mulai bosan. Sudahilah pembicaraan mengenai keluarga kita, Pa. Aku terus memohon dalam hati. Kakiku kugoyang-goyangkan supaya tidak terasa lama.
"Terus gimana nih Jyora? Terima aja deh. Siapa tahu dia bisa bantu perusahaan lo makin gede. Gue nggak enak kalau masukin ke perusahaan gue. Ketara banget nepotismenya. Ntar anak gue diolok-olok. Kalau di kantor lo gini kan masih kecil. Efek di Jyora juga nggak gede-gede amat. Karyawan masih dikit." Papa lagi-lagi menawarkan diriku. Ya masa bodohlah ya. Yang penting aku tidak di rumah.
Bisa kudengar helaan napas panjang kolega Papa. "Gue udah lama sih nggak lihat Jyora. Tapi ya semoga aja dia cocok. Ada sih tim yang kosong. Tapi cowok semua. Lo nggak apa-apa? Lo kan over banget kalau Jyora dekat-dekat sama cowok lain."
"Selama bukan teman kencan nggak masalah."
"Haha tetap lo ye dari dulu, Gas." Dan kembali kedua pria itu tertawa.
Duh, lama sekali sih. Apa mereka tidak sadar aku sudah cukup lama berdiam di sini dan hanya bisa diam memandangi orang-orang yang melewatiku. Ada yang cuek, ada yang memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung rambut, ada yang langsung bisik-bisik. Entahlah. Aku merasa tak nyaman. Kalau kupandangi sih, penampilanku biasa saja kok layaknya orang mau wawancara kerja. Ya, semalaman aku youtube-an mencari penampilan terbaik untuk wawancara dan inilah hasilnya. Celana panjang hitam dengan kemeja biru muda yang dimasukkan serta rambut panjangku yang kuikat rapi. Ditambah hasil make-up natural dengan lipstik hampir senada dengan kulit. Ini tidak berlebihan sama sekali.
Ya, aku memilih untuk tidak menyimak pembicaraan dua pria itu di dalam. Lebih baik aku menyibukkan diriku dengan bermain hp. Melihat instagram bosan, baca twitter juga bosan. Dan seketika aplikasi yang sudah sekian lama tak kubuka tiba-tiba menyentak mataku. Ya, aplikasi itu. Salah satu aplikasi yang mengingatkanku pada jaman aku kuliah di mana aku selalu berani bertemu dengan lawan jenis tanpa kenal orangnya sama sekali. ckckck. Kalau dipikir-pikir mau-mau saja aku menghabiskan waktu tak jelas dengan sembarang orang.
Kuputuskan untuk membuka aplikasi tersebut. Tampaklah wajah seseorang tak di kenal hampir memenuhi layar. Ia foto dengan deretan gigi memenuhi tawanya. Memakai kacamata. Lalu mataku mengarah pada profilnya. Umurnya 26 tahun dan dia bekerja di Bank Indonesia. Hmmm, sebenarnya menarik. Bisa saja aku swipe right, tapi aku ingat dengan misiku. Aku sudah berhenti main beginian. Sudah cukup pengalaman terakhirku dengan pria itu. Pria yang ternyata sangat jauh dari fotonya dan aku kapooook. Bisa saja ini foto menipu. Ya kan?
"Jyora ya?" Hampir saja hpku terjatuh mendengar ada seseorang dari antah berantah menyebut namaku. Sudah lama sekali rasanya aku tak mendengar orang memanggil namaku.
"Eh eh iya." Tanpa melihat wajahnya aku sudah menjawab karena berusaha menggapai hp-ku yang hampir saja layarnya menyentuh lantai.
"Udah lama banget ya nggak jumpa," ujarnya lagi.
Dan begitu aku mendongakkan kepalaku, aku kagetnya bukan main. Mataku melotot. Astaga, wajah itu. Meskipun sudah lebih chubby dari beberapa tahun lalu, tapi aku masih ingat betul dengan pria ini. Ya, dulu dirinya sangat kurus dan sekarang tubuhnya bahkan sudah tidak bisa kukatakan kurus lagi. Ia mengembang. Ya Tuhan, kenapa aku bisa berjumpa dengannya di sini? Dan ia dengan santainya kini malah memilih duduk di sampingku dengan senyum ramahnya yang paling kuingat seumur hidup.
"Ya ampun, asli gue nggak pernah kebayang bisa lihat lo lagi, Jyo."
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya tersenyum simpul memandangnya. Ya Tuhan, kenapa mesti di sini sih? Masih terlintas jelas pertemuan terakhir kami dan itu hanya sekali saja. Bahkan kalian dengar sendiri kan? Dia memanggilku Jyo. Omegat. Dari dulu memang sosoknya ini sok kenal sok dekat gitu.
"Setelah pertemuan terakhir kita itu, gu ...."
"Diam." Astaga, kenapa mulut ini malah berbicara seenaknya?
"Jyo ...." Sontak pria ini kaget memandangku. Mulutnya menganga dan matanya berkaca-kaca mendengar nada perintahku yang tegas dan pelan. Bahkan perlahan tangannya bergerak menutupi mulutnya.
Serius, aku sangat malas dengan kondisi ini. Tapi sudah kepalang basah dan aku harus menghadapinya. Ehm, aku harus bagaimana ya? Apa aku pura-pura tidak kenal dengan dirinya saja? Sepertinya itu cara terbaik. Ini bukan saat yang tepat untuk bernostalgia. Apalagi di belakangku ada Papa. Papa itu over protektif dan aku sangat hapal dengan tabiat Papa bila aku berbicara dengan seorang pria. Tidak tidak. Aku harus pura-pura tidak mengenalnya.
"Maaf," Aktingku dimulai. Pria itu memandangku penuh tanda tanya. Kupasang ekspresiku yang paling datar lalu bertanya, "Anda siapa?"
"Lo--lo nggak ingat gue?" tanyanya terbata-bata.
"Anda siapa ya? Anda tahu dari mana nama saya?" tanyaku sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Sebenarnya, aku merasa bersalah sih bersikap seperti ini.
"Gue Donal, Jyo. Masa iya lo nggak ingat? Emang sih udah lama banget kita nggak ketemu. Bahkan cuma sekali. Tapi gue ingat banget sama pertemuan kita itu karena lo cewek pertama yang gue temuin dari Tinder."
Oke. Aplikasi yang sangat tidak ingin kusebut namanya apa itu akhirnya disebut juga oleh pria di depanku ini. Aplikasi yang sudah berapa tahun sudah tak kubuka dan sungguh ingin kulupakan. Aplikasi yang baru saja kubuka tadi dan tidak disangka pria yang pernah terhubung denganku langsung berada di depanku.
"Apa karena gue udah gemukan sekarang? Dulu kan gue kerempeng banget. Sebenarnya gara-gara itu kan lo nggak respon gue lagi, Jy?"
Sebenarnya aku sangat ingin sekali memintanya diam untuk kedua kalinya. Tapi jika aku begitu, pasti obrolan ini akan makin panjang. Belum lagi harus melihat reka ulangan adegan ketika aku meminta ia diam sebelumnya. Aku pun menoleh ke belakang berusaha melihat Papa sedang apa. Tapi sepertinya Papa masih asyik mengobrol dengan temannya. Sebelum Papa melihat kami, aku harus atasi pria yang bernama Donal ini.
"Maaf, tapi saya benar-benar nggak ingat. Dan saya rasa sekarang bukan waktu yang tepat buat kita ngobrol. Sekarang, saya lagi sibuk," kilahku. Aku harap dia segera pergi dari sini.
Tapi sepertinya harapanku hanya harapan karena tiba-tiba pria ini malah membuka ponselnya. Terlihat ia sibuk mengotak-atik dan tak berapa lama ia menunjukkan layar ponselnya padaku. Aku terkejutnya bukan main melihatnya.
"Nih! Kita match, Jyora. Kita sempat chattingan. Di sini lo bisa lihat kapan kita janjian ketemu." Lalu ia menurunkan ponselnya dan kembali mengotak-atik. Tak berapa lama ia menunjukkannya lagi padaku. "Ini foto lo, Jyo. Nama lo Azyorandra. Usia sekarang 24 tahun. Dan kita match dua tahun yang lalu dan ...."
"Diam." Aku tak tahan. Dengan nadaku seperti sebelumnya yang datar dan tegas, Donal kembali terdiam.
"Diam lagi Jyo?" Donal kembali bersuara. Argh!
"Lo ...."
"Jyo ...." Panggilan Papa mengejutkanku. Otomatis kepalaku menoleh ke belakang dan melihat reaksi Papa yang heran melihatku. "Kamu ngobrol sama siapa?"
"Bukan siapa-siapa, Pa. Jyo nggak kenal!" tanggapku cepat.
"Donal, ngapain kamu di sini?" Tiba-tiba di belakang Papa menyusul rekan Papa yang kuketahui bernama Om Ronny. Cara memandangnya sama seperti cara Papa memandang kami.
"Oh nggak apa-apa, Pak. Tadi saya dari toilet, terus numpang duduk bentar di sini."
Donal berbohong! Numpang duduk dari mana coba?
"Anak buah lo, Ron?" tanya Papa yang terdengar sinis.
Om Ronny mengangguk. "Iya. Tapi nggak langsung dari gue sih." Kini ia memandang Donal. "Angkasa udah masuk? Dia kurang ngasih kamu kerjaan?" Pertanyaan dari Om Ronny barusan mampu membuat Donal berdiri. Wajahnya langsung berubah panik.
"Nggak kok, Pak. Udah pas. Kerjaan saya udah lumayan. Tadi saya cuma numpang duduk bentar aja. Nih, saya mau balik meja lagi, Pak. Saya kerja dulu ya, Pak." Donal langsung terbirit-birit pergi meninggalkan kami begitu saja. Bahkan ia sama sekali tak pamit denganku.
Kubuang napasku panjang. Lega rasanya ia pergi.
"Jyo, ayo masuk," ajak Papa yang segera berbalik badan dan kembali masuk ke ruangan. Di susul Om Ronny.
Aku pun bangun menyusul mereka. Kini aku sudah di dalam dan duduk di salah satu kursi kosong di antara dua pria dewasa ini. Om Ronny pun menyerahkan beberapa lembar kertas padaku. Aku menerimanya dan mulai membacanya.
"Itu surat kontrak kamu. Silakan kamu baca dulu ya," ujar lembut Om Ronny.
"Makasih ya, Ron, udah bantu gue," kata Papa sembari menepuk bahu Om Ronny pelan.
Om Ronny menyeringai. "Karena gue nggak lupa aja lo sempat modalin gue untuk bangun perusahaan ini." Papa hanya terbahak mendengarnya. "Jyo udah gede banget ya ternyata. Tambah manis aja. Terakhir kali Om lihat Jyo kalau nggak salah pas kuliah deh. Sebelum Goana pindah ke UK."
Nama itu kembali terdengar. Goana--anak Om Ronny yang dulu pernah menjadi sahabatku. Aku sudah tak tahu kabarnya sama sekali semenjak ....
"Astaga, iya Goana. Apa kabar dia, Ron?"
Wajah Om Ronny seketika berubah. "Baik sih kata Mitha." Sambil membaca isi kontrak ini, kupingku mau tak mau mendengar obrolan dua pria dewasa ini. Mitha adalah istri Om Ronny. Tante Mitha. Dan ya, aku sudah tak kontekan dengan Goana semenjak .... "Udahlah, ngapain sih dibahas. Gue malas ingat-ingat. Sekarang, gimana, Jyo? Udah kamu baca kontraknya? Udah setuju sama salary kamu ntar?"
Ya ampun, iya. Kenapa aku malah sibuk memikirkan Goana? Jadi tidak fokus kan. Begitu membaca salary sebenarnya hatiku menjerit sih. Tidak sesuai ekspektasi. Kupandang Papa begitu membaca angkanya. Papa menyuruhku mengangguk saja karena sepertinya ia tidak punya pilihan lain. Ya, bekerja di sini saja sudah sepatutnya kusyukuri. Tapi kan aku lulusan S2 luar negeri.
Mungkin Om Ronny bisa membaca ekspresiku ketika membahas gaji. "Namanya startup kecil, Jyo. Om tahu kamu lulusan luar negeri. Tapi kan kamu belum ada pengalaman kerja. Lagipula Papa kamu bilang yang penting kamu kerja dan budget kita untuk karyawan baru emang segitu. Gimana?"
"Untung ada Om Ronny loh, Jy. Kamu pilih mana antara kerja atau bantu Mama jagain Icia?"
"Lagipula masih ada Papa kamu kok kalau duit kamu kurang. Om bisanya segini aja."
Sebentar, aku menimang-nimang. Gajiku hanya UMR Jakarta. Lebih besar uang bulanan Papa dibanding gajiku. Daripada aku menjaga Icia. Kalau Bibik sudah pulang sih tidak masalah di rumah. Tapi entah kapan Bibik akan pulang karena sepertinya belum ada tanda-tanda. Seharusnya sih tidak apa selama Papa masih mau membiayaiku.
"Pa?" tanyaku sembari melirik Papa penuh harap agar mengiyakan perkataan Om Ronny barusan. Papa memutar bola matanya malas meskipun akhirnya ia menganggukkan kepalanya.
"Gampanglah."
Hatiku kegirangan mendengarnya. Tanpa basa-basi langsung kuambil pulpen yang berada di meja ini dan kutandatangani. Setidaknya aku tidak di rumah. Itu sudah cukup. Setelah selesai, kuserahkan lembaran ini kembali pada Om Ronny. Om Ronny menerimanya. Ia tersenyum.
"Oke. Besok kamu udah bisa kerja ya. Senang bisa bekerja sama dengan Azyorandra," kata Om Ronny sambil menyodorkan tangannya.
Aku jelas menyambutnya. "Senang bekerjasama dengan Om Ronny juga!" sambutku riang.
"Pak Ronny, Jyo. Dia sekarang bos kamu."
"Ah iya, Pak Ronny!"
Kami pun melepas jabatan kami. Kedua pria dewasa ini kembali terbahak.
"Oke deh kalau gitu. Berarti gue udah bisa balik kerja lagi ya, Gas. Dari tadi banyak ini yang call gue," lapor Om Ronny pada Papa sembari menunjukkan ponselnya.
"Astaga, gue lupa. Maaf bos besar." Lagi-lagi dua pria ini terbahak.
Om Ronny pun bangkit. Begitu juga dengan diriku dan Papa. Mereka berdua pun berpelukan sebagai tanda pamit. Memang sih Papa dan Om Ronny itu akrab sekali. Melihat tingkah mereka yang suka tertawa sudah biasa. Maklum, kenal Om Ronny juga sejak aku kecil. Om Ronny pun meninggalkan kami namun ....
"Oiya, Jy. Pria tadi yang di luar duduk sama kamu namanya Donal. Dan dia bakal satu tim sama kamu ya."
Jger! Rasanya kebahagiaanku langsung lenyap. Donal?! Bagaimana bisa dan kenapaaa?! Dia itu pria yang sangat kuhindari dari seluruh pria dunia maya yang pernah kutemui. Huaaa bagaimana ini?! Kenapa Om Ronny baru memberitahunya setelah aku menandatangani kontrak itu?!! Sial. Mending di rumah aja deh jaga Icia huhu.
***
Plis kasih tanggapan ya soal cerita ini. Sebenarnya idenya udah lama jauh sebelum cerita Qinsy dan Benja. Lanjut atau nggak??? Plis jawab yaaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top