1. Kata Sandi

2019

Ada lima hal terlarang jika dilakukan saat bertemu calon mertua. Pertama, melakukan percakapan sensitif seperti politik dan seks. Kedua, mengira akan ditraktir saat diajak makan di luar. Ketiga, mengecek ponsel di hadapan calon mertua. Keempat, makan dan minum banyak. Terakhir, menjadi sosok yang lain.

"Menjadi sosok yang lain? Maksudnya?" Ires mengangkat alis.

"Ya karena lo harus jadi diri sendiri."

Ires memutar bola matanya. "Okay."

"Eh, satu lagi!" Manda mendekatkan wajahnya ke Ires. Nyaris sangat dekat sampai Ires harus mendorong jidat cewek itu. "Nah, ini yang paling penting. Lo nggak harus menjawab semua pertanyaan, termasuk masa lalu. Alihkan aja pembicaraan kalau sudah mulai bahas-bahas hal privasi.

Ires mengerjapkan matanya. Masa lalu?

"Intinya, camer bebas kasih pertanyaan apa aja. Tapi camen yang menentukan akan jawab yang mana."

"Well, masuk akal. Gue juga ogah bahas masa lalu."

Manda mengacungkan jempolnya. "Yah, gue dulu pas kayak lo juga ogah cerita masa lalu. Mana mau gue cerita ke camer kalo dulu, gue pernah jadi playgirl kelas kakap."

"Serah lo, deh." Ires berdecih. Lalu dia kembali fokus ke layar komputer.

Besok malam, untuk kali pertamanya selama ratusan tahun. Ires akan bertemu dengan calon mertuanya. Tak ayal hal itu membuat Ires gugup. Meskipun dengan angkuh-memang seperti itulah wataknya-Ires mengatakan kalau dia tidak gugup sama sekali. Padahal sejak tadi pagi, dia mondar-mandir ke toilet. Mungkin, kalau bisa dihitung, toilet kantor isinya jejak Ires semua. Dalam kurun waktu dua hari ini.

"Kamga sudah hubungi lo belum?"

Ires berhenti mengetik. "Belum. Buat apa?"

"Ajegile ... pake nanya buat apa lagi. Ya seenggaknya wanti-wanti lo mau pake baju apa. Atau mau dijemput apa nggak."

"Nggak perlu lah. Gue udah gede."

Manda berdecak tak percaya. Dia segera memajukan badannya, mendekati teman satu profesinya itu. "Karessa, lo mau diajak ke jenjang serius. Oleh seorang Kamga. KAAM ... GA.... Tanpa pacaran-sesuai permintaan lo, dia dateng ke elo dan langsung ngajak serius. Lo excited nggak sih sebenarnya?"

Ah. Hubungan tanpa status yang berubah jadi ajakan untuk serius itu. Ires tersenyum kecil. Dia lantas menoleh. "Gue belum pasti akan nikah, Manda. Gue baru diajak ketemuan aja sama orangtua dia." Ires tahu kalau Manda sudah siap dengan omelannya. Jadi, buru-buru dia melanjutkan, "Dan sekarang ... ada yang lebih menguras otak gue."

Dengan ujung matanya, Ires melirik ke arah lembaran laporan yang baru masuk di emailnya. Satu hari yang lalu, LSM tempat dia bekerja sambilan mendapatkan klien baru. Namun, berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, klien yang satu ini memiliki kasus yang lebih rumit. Jika biasanya mereka harus mengurusi orang-orang depresi dan punya pikiran ingin bunuh diri. Dan terjebak dalam agenda momentual seperti workshop, dan kegiatan bersama pemuda saat 10 September—hari pencegahan bunuh diri sedunia—telah tiba.

Usai membaca laporan itu, Manda menghela napas. "Lo masih di sana?"

"Yes."

"Tante Disa juga?"

"Iyalah. Dia kan founder-nya."

Manda mengedikkan bahu. "Gue pikir BTH udah bubar."

Ires melotot. "Enak aja lo."

Manda menahan tawa. "Gue kan cuma komentar sesuai kenyataan. Semua orang juga tahu kalo komunitas lo itu busy pas ada duty, ya kan?"

"Ya karena BTH cuma LSM, Manda. Bukan bagian dari kementerian kesehatan yang harusnya mengaktifkan layanan call center pengaduan bunuh diri. Lagian, nggak banyak orang yang mau bunuh diri mau nelpon lo dulu terus bilang 'Halo, saya mau bunuh diri. Tolong saya dong.' kebanyakan dari mereka langsung main terjun bebas aja dari gedung."

Manda, yang sejak beberapa detik lalu menoleh sekitar, langsung menutup mulut Ires. Soalnya, Ires nyaris membuat seisi orang di kantor melihat ke arah mereka berdua. "Oke, Ires. Tutup mulut lo. Atau lo mau Pak Tigor dateng dan mendamprat lo?"

Ires mendengkus. Meski dia menurut saja.

"Jadi, lo harus gimana? Gue tau BTH nggak menuntut anggotanya untuk selalu hadir. Tapi, perusahaan ini bukan kayak BTH."

"Gue punya jam malam di BTH. Jadi, Lo nggak usah takut kerjaan di sini bakal terbengkalai," terang Ires seraya menghadap ke layar komputer dan membuka-buka email pribadi miliknya.

"Yeee ... gue kan cuma nggak mau lo dipecat. Susah dapet rekan kerja kayak lo. No hard feeling, dong."

Ires mengabaikan Manda. Keduanya langsung mengangguk hormat saat bos mereka, Pak Tigor, keluar dari ruangannya dan melewati mereka.

Selain bertugas memfotokopi, membuat kopi, dan kadang-kadang beli gorengan, Ires sejujurnya tidak mengerti kenapa perusahaan ini membutuhkan seorang asisten sekretaris. Ini, sama saja menjadi OB. Dan, Ires butuh lebih banyak tantangan.

Bergabung di BTH—beyond the horizon—adalah salah satu tantangan. Setidaknya, di sana, BTH menerima semua kalangan tanpa memperhatikan lulusan dari mana. Siapa pun yang punya dan ingin mempunyai kepedulian pada masalah orang lain, boleh bergabung. Intinya, BTH itu tempat curhat.

Namun, kali ini klien baru itu datang. Lewat pesan singkat di WA, dia ingin mendapatkan bantuan. Dia adalah seorang perempuan yang mengiris nadi setiap dua hari sekali—dan sampai saat ini, dia masih gagal mati.

Ires menghela napas. Sekuat itu usahanya untuk mati?

"Gue punya lipstick bagus. Lo gue kasih pinjem deh untuk modal ketemu sama camer." Pak Tigor sudah menghilang. Manda kembali mendekatkan kursinya ke Ires, dan menggoyang-goyang bahu temannya itu. Perempuan itu sepertinya suka sekali merecoki hidup Ires.

Ires memicingkan mata. Namun, Manda tetap dengan kegiatannya mengganggu Ires. Kali ini dia memainkan pena gadis itu.

"Gue punya firasat buruk. Kalo lo udah nikah, lo bakal hengkang dari sini. Mengingat Kamga orangnya protektif gitu," ucap Manda lagi. "Jadi, please, setidaknya gue pengen puas puas main sama lo."

Memangnya perusahaan ini taman kanak-kanak? Akan tetapi, Ires mengangguk. Sebetulnya Manda sangat menggemaskan. Dia sekretaris yang humble dan menyenangkan. Kecuali saat dia mulai berisik dan menyanyikan lagi Beautiful in White-nya westlife. Mungkin, satu kantor langsung punya keinginan untuk bunuh diri.

"Well, kapan pun lo mau main. Dateng ke rumah gue. Bukan di sini," ucap Ires seraya menarik secangkir kopi yang baru dia seduh di pantry.

"Rumah lo yang mana? Rumah Canigrow atau Rumah Tante Disa, atau kos-kosan lo, atau rumah yang mana? Lo terlalu banyak rumah. Sampe bingung gue kalo mau main ke rumah lo."

Ires menggebuk Manda dengan cepat. "Rumah sakit. Lo harus ke rumah sakit!" Kemudian, tanpa rasa bersalah, gadis itu beralih ke komputernya dan mengabaikan Manda yang balas menggebuknya dan mulai bercerita kalau suaminya ingin makan Nasi liwet buatannya.

Ires membuka email pribadinya sekali lagi. Dan, memeriksa surat-surat yang masuk. Berbeda dengan email kantor yang penuh dengan pesan penting dan tidak bisa dilewatkan begitu saja, email miliknya benar-benar padat tak terurus. Ada banyak email masuk dari berbagai sosial media, website komunitas lain, website informasi lamaran pekerjaan (dulu dia berlangganan saat masih jadi pengangguran), notifikasi online shop, dan email-email lainnya yang penuh dengan pemberitahuan yang Bila tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.

Maka, sudah jadi kebiasaan bagi Ires untuk mengabaikan pesan-pesan itu, bahkan menghapusnya.

Namun, sebuah email dari alamat tak dikenal membuat Ires berhenti dari aktivitas scanning-nya.

Sebuah pesan tak terbaca. Pesan yang sudah masuk sejak tiga minggu lalu.

Dengan satu gerakan cepat, Ires meng-klik pesan itu.

From : [email protected]

Kepada Yth,
Karessa Wandari

Saya menyimpan sebuah benda milik anda. Usia saya yang tua, membuat saya kesulitan datang dan menemuimu. Jadi, dengan kerendahan hati, saya berharap anda bisa mengunjungi saya. Berikut saya lampirkan alamat saya. Terima kasih.

Salam,
Hartati

P.s. kata sandinya. Kau harusnya ingat kata sandinya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top