#4

.
.
.

Sejak seharian ini, ia terus memantau wanita itu. Matanya yang tajam terus memperhatikan apa pun yang wanita itu lakukan. Dapat dilihat olehnya betapa wanita itu tidak nyaman, gelisah dan ketakutan. Wajahnya pucat dan kehilangan semangat. Mendadak ia merasa tak enak. Tak suka dengan semangat yang hilang itu. Namun, cepat-cepat ia sadarkan diri bahwa untuk apa ia khawatirkan semangat wanita itu? Lagipula, ini adalah hal yang wanita itu inginkan. Bekerja di dapur dan belajar membuat bubur. Kalau dipikir-pikir beberapa hari ini dia sungguh baik hati.

Ia bangun dari tempat duduknya dan menghampiri wanita itu yang terlihat merenung di depan kompor.

"Kau pikir api tahu kalau dirimu sedang merenung dan kalau dia ingin membuat kebakaran, dia harus menunggumu selesai galau?"

Wanita berambut keriting tersebut terperanjat hingga hampir menjatuhkan panci di tangannya. Buru-buru wajahnya menunduk saat ia melihat siapa yang menyapanya. Beberapa karyawan memperhatikan sebentar dan setelah itu tak peduli lagi.

"Apa kau tidak mengerti perkataanku? Sudah kubilang, jangan merenung di dapur atau kau akan kumasukkan dalam kuah ini." Bisik dirinya di telinga wanita itu dengan suara yang tidak terdengarr seperti bisikan. Wanita itu bergidik. Bulu kuduknya meremang. Ini sungguh sebuah kengerian yang nyata dan tak pernah dipikirkannya sekalipun. Ia hanya melihat kengerian yang seperti ini di televisi dan sekarang ia merasakannya langsung. Merasakan detik-detik penuh harapan menunggu kematian. Bukan tidak mungkin, ia akan mati. Buktinya, ia bahkan tidak diizinkan pulang sejak kemarin. Dipaksa berdiri di dapur dan menatap semua daging manusia yang baru saja digiling atau daging manusia yang baru dibersihkan. Mungkin, kematian memang baik untuknya. Sebab pikiran dan perasaannya sudah kehilangan rasa dan semangat untuk sekedar makan. –"Kurasa kau memang keras kepala. Sudah kubilang jangan berpikir apa pun. Jangan merencanakan apa pun atau kau yang selanjutnya. Aku masih ingin berbaik hati padamu. Jangan buat aku marah."

Wanita itu hanya diam dan menunduk makin dalam. Terlihat jika wajahnya kian memucat dan ketakutan. Melihat itu, terlintas rasa tidak menyenangkan dalam hatinya. Seolah-olah ia telah melakukan kesalahan. Maka, untuk membuat suasana tidak terlalu menyeramkan, ia menatap wanita dekat dan bertanya,

"Kau bilang sangat ingin belajar membuat bubur, apa kau masih menginginkannya sekarang?" suaranya terdengar rendah dan lunak. Entah setan apa yang telah membuatnya begitu, ia pun tidak paham.

Wanita keriting itu tidak menjawab.

"Katakan apa yang ingin kau bicarakan. Sangat tidak menyenangkan melihatmu begitu."

Wanita dengan bola mata berwarna coklat terang itu melihat ke arahnya. Saat itu ia dapat melihat sesuatu di sana. Sesuatu yang sangat tidak asing. Seolah begitu dekat.

"Apa aku tidak boleh pulang? Aku tidak akan mengatakan ini pada siapa-siapa. Kumohon, biarkan aku pulang. Aku sudah tidak ingin belajar membuat bubur lagi."

Ia menghela napas sabar. Sesuatu yang dirasa sangat jarang dilakukannya selama ini, terutama pada wanita asing yang bahkan ia tidak tahu namanya siapa. Dia merasa dirinya sudah agak gila.

"Jangan katakan apa pun tentang pulang. Rumahmu di sini. Kau hanya berhak mengatakan tentang segala sesuatu yang menyangkut hal di sini, sekiranya itu penting. Jika hal itu kurang penting, lupakan." Dengan sudut matanya, ia menangkap wanita itu menitikkan air mata. –"Kerjakan tugasmu sekarang. Jika kau berubah pikiran dan ingin mencoba membuat bubur, katakan padaku." Bergegas dia pergi sambil menggerutu. Kenapa ia harus bersikap baik? Apa yang diharapkannya?

Tidak apa, ia hanya sedang membuat wanita itu tidak terlalu gelisah sampai waktunya tiba. Sebab, pikiran yang gelisah akan menurunkan berat badan dan akan membuat dirimu menjadi kurus. Wanita itu tidak boleh kurus sekarang. Ia akan segara menemui janjinya.

**

Ketika restoran hampir tutup karena malam sudah makin kelam, ia masuk sekali lagi ke ruangannya untuk mengambil jaket kesayangan yang selalu ia gantung di samping jendela. Namun, hal pertama yang dilihatnya di sana bukanlah jaket melainkan wanita itu. Matanya membeliak kaget. Cepat-cepat ia dekati wanita itu dan menarik sebuah album foto yang ada di tangannya. Itu adalah rahasia pribadi, tak boleh diketahui siapa pun.

"Apa yang kau lakukan di sini? Kau sudah bosan hidup, hah?"

Wanita itu menatapnya dalam. Sebuah tatapan yang membuatnya risih berkepanjangan.

"Kau ..."

"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau di ruanganku? Apa yang sebenarnya kau inginkan? Hah?!" suaranya terdengar makin keras dan kasar di tengah heningnya malam itu.

"Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau membunuh orang dan kau jadikan resep buburmu? Apa yang telah membuatmu begini? Kenapa ..."

Dia merasa semakin marah saat wanita berambut keriting itu menanyakan sesuatu yang tidak seharusnya ditanyakan. Tak ada yang boleh mengurus-ngurus kehidupan bahagianya dengan ibu saat ini.

"Bukan urusanmu!" jawabnya kasar. Ia mendekati wanita itu dan menampar wajahnya yang penuh air mata. –"Kau sudah kelewatan! Ketika aku membiarkanmu hidup dan aku bahkan ingin mengajarkanmu membuat bubur tinutuan agar kau bisa membuatnya sendiri, kalaupun kau tidak akan menggunakan daging manusia di dalamnya. Tapi, kau! Keterlaluan! Kau tidak seharusnya dibiarkan bernapas lama-lama." Wajahnya mengeras dan ia memicingkan mata ke arah wanita berambut keriting yang sekarang bukan melihatnya dengan takut tapi malah merasa iba. Suatu perasaan kasihan yang tergambar jelas dari wajahnya.

"Aku tidak menyangka kau akan jadi seperti ini. Hidup dengan penderitaan orang lain. kau membodohi setiap orang. Kau bilang apa yang kau buat adalah yang terbaik, tapi ternyata kau menipu semua orang. Adakah yang lebih jahannam dari dirimu? Kau tidak punya hati!"

Ia tersentak saat wanita itu berteriak padanya. Ini sangat tidak diperkirakan.

"Ap ..."

"Sekarang dengarkan aku, bisakah kau berhenti dan pergi saja dari tempat ini? Kumohon, jalan hidupmu masih panjUang. Berhenti dan bertaubatlah. Kau akan mendapat kehidupan yang lebih baik."

Dia mengepal tangannya.

"Apa yang ..."

"Mari kita pergi. Aku yakin kau akan baik-baik saja. Jangan tetap di sini. Tempat ini neraka." Wanita berambut keriting itu mencoba meraih tangannya. Ia menepis itu buru-buru.

"Jangan sentuh aku!" ia mendekati wanita lagi, lebih intens. –"Kau tidak tahu apa-apa tentang kehidupanku jadi jangan menggurui. Aku tidak butuh guru sepertimu."

"Aku tahu."

Ia tersenyum merendahkan,

"Memangnya siapa kau hingga mengetahuinya? Jangan berusaha manipulasi aku. Aku tidak akan termakan dengan semua kata-katamu. Kau bilang ingin membuat tinutuan tapi ternyata kau mempunyai rencana lain. Aku sudah cukup bersabar untukmu. Ini adalah yang terakhir kalinya."

Wanita berambut keriting itu menampilkan muka sedih.

"Kumohon, dengarkan aku. Aku tahu tentangmu. Aku Ilya. Apa kau lupa?"

Ia tak sempat mendengar lagi kata-kata wanita itu dan bergegas memanggil berkepala botak itu.

"Urus dia. Aku tidak ingin melakukannya. Bawa kepadaku saat sudah selesai digiling."

Mendengar itu, wanita tersebut meronta ingin dilepaskan. Namun, tak ada lagi yang mendengarnya. Ia mati dengan keadaan yang tidak kalah menggenaskan.

**

"Hentikan! Hentikan!" suara lelaki itu tertelan arus angin malam yang kencang. Ia sudah berteriak sekuat tenaga dan tak memberi pengaruh apa-apa. Dengan langkah yang sangat cepat, ia masuk ke dalam area pemotongan dan terus berteriak 'hentikan atau jangan lakukan'.

Sayangnya, ketika ia masuk ke dalam sana, wanita berambut keriting itu sudah mati.

"Hentikan!"

Kepala wanita itu bergelinding di lantai di dekat kakinya berdiri. Tubuhnya bergetar oleh rasa marah, sedih dan kecewa yang amat sangat. Ia terduduk di lantai dan meraih kepala itu untuk memeluknya. Ketika itu, ia menangis sejadi-jadinya. Sekeras mungkin hingga pria berkepala botak yang baru saja melakukan pemotongan, heran.

"Tuan ..."

"Maafkan aku, Ilya! Bunuh saja aku! Aku telah membunuh adikku. Seseorang yang telah menjadi keluargaku. Aku pantas mati."

Semua sudah berakhir untuknya. Ia sangat bodoh tak menyadari apa yang dikatakan Ilya tadi. Sungguh terlambat ketika ia menyadari setelah semuanya terjadi. Itu pun karena tak sengaj tas Ilya tertinggal di ruangan dan dia melihat foto masa kecil mereka.

Lebih baik ia mati untuk menyusul Ilya dan meminta maaf.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top