#2

.
.
.

"Sudah makan?" Sebuah suara tua yang kering terdengar saat ia keluar kamar setiap pagi. Dengan pertanyaan yang sama dan intonasi yang sama sejak bertahun-tahun yang lalu. Bahkan, sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Pertanyaan yang dirasakannya berbeda dari pertanyaan yang diberikan ibu panti. Tanpa menunggu lama, ia bukannya menjawab tapi, ia langsung menghampiri wanita yang kira-kira berumur 56 tahun dengan wajah yang sudah keriput, rambut yang seluruhnya memutih, dan mata yang begitu cekung menatapnya dengan senyum.

Ketika ia menghampiri, wanita tua itu akan memberinya pelukan. Selalu begitu. Pelukan hangat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Pelukan yang dirasakannya memberi energi bagi seluruh jejak hidupnya ke depan. Sungguh, ia menghargai wanita itu. Tapi, ia juga selalu tak bisa lupa pada gadis berumur 12 tahun yang menjadi sahabat terbaiknya di panti. Kalaupun semua sudah berlalu lama, ia masih terjerat dengan perasaan aneh yang tak bisa ia deskripsikan.

Hatinya kosong ketika mobil sudah meluncur di jalan raya dan meninggalkan panti yang telah membesarkannya selama 6 tahun. Ia tak bisa duduk tenang barang sebentar, dikarenakan matanya tanpa sengaja malah berair dan tak pernah lepas dari memandang panti yang semakin jauh sedikit demi sedikit.

Betapa ia akan menyongsong kehidupan yang indah ke depan. Hidup yang ia idam-idamkan. Walau sulit sekali baginya untuk mengabaikan lambaian tangan gadis itu padanya. Walau ia tak akan pernah kembali jua.

**

Wanita itu datang lagi. Di saat siang sedang bersinar terang dengan udara panas yang menyengat badan. Restoran sedang penuh-penuhnya. Pengunjung seperti lalat yang terbang di atas kotoran, wanita itu malah berdiri dengan muka penasaran, menatap takjub ke arah dirinya yang sibuk menata bubur tinutuan untuk dihidangkan. Tak banyak memang menu yang tersedia di restoran ini, hanya bubur tinutuan dan bubur ayam biasa. Namun, dua menu tersebut sudah jadi menu andalan bertahun-tahun.

Buburnya sederhana saja, tapi tak banyak yang mengatakan bahwa rasanya seperti surga. Mungkin rasa itu juga yang membuat wanita itu terobsesi sampai mirip orang gila. Ingin ia tertawa, namun, ia pun hanya memperhatikan dibalik jendela kaca tempatnya berdiri di samping dapur.

"Sajikan buburnya dengan benar! Ada pelanggan yang protes katanya bubur kurang garam!" Suara Adi, si tukang saji melengking memenuhi dapur. Wajahnya terlihat berkeringat tapi tetap penuh semangat. Ketika Adi tak sengaja memalingkan muka ke arahnya, lelaki berumur 26 tahun itu menunduk memberi hormat. Ia mengalihkan pandangan ke arah karyawan lain di dapur dan bicara,

"Jangan ada pelanggan yang kecewa. Bubur tinutuan harus tetap jadi andalan. Kalau ada pelanggan protes perbaiki segera."

"Baik, Tuan!"

"Ayo, cepat bawa ke depan! Pelanggan sudah menunggu lama."

"Jangan bawa dulu, belum ditaburi bawang ...."

"Cepat! Cepat! Pelanggan sudah bertanya, aduh, kalian ...."

Hiruk-pikuk di dalam dapur sungguh membuat pengap. Ketika dialihkan pandangan ke luar jendela lagi dan aroma bubur yang baru masak menguap, ia tak melihat wanita berambut keriting itu berdiri di sana. Sempat matanya ingin mencari, namun, dikarenakan tak begitu penting baginya, ia memilih kembali menata bubur tinutuan di hadapannya. Menabur bawang, daun seledri, potongan daging ....

Saat jam sudah menunjukkan waktu dua siang. Ia bangun dari tempat duduknya dan ingin keluar dapur barang sebentar. Baru saja ia memutar kenop pintu, sebuah wajah yang membuatnya terkejut muncul di sana. Tersenyum lebar dan menampakkan gigi-gigi yang tersusun rapi. Wajah itu kelihatan lelah walaupun dihiasi senyum ramah.

"Halo! Aku kembali. Apakah hari ini aku diizinkan bekerja?"

Dia mendesah tak suka. Ingin sekali dia mengusir wanita itu, tapi ia tak jua melakukannya. Ketika ia sedang berpikir akan melakukan apa pada wanita itu, terbersit dipikirannya bahwa wanita itu tidak terlalu kurus dan sepertinya dapat jadi simpanan yang memadai untuk berhari-hari ke depan. Ia tak perlu susah-susah menyuruh Parjo, tukang pemukulnya untuk mencari-cari. Ini ide bagus.

Maka,

"Baiklah. Kau boleh bekerja. Tapi sebagai tukang pel lantai."

Wanita itu ingin berteriak senang, tapi mendadak mukanya menjadi mendung. Bagaimana mungkin ia bisa belajar membuat bubur kalau pekerjaannya adalah mengepel lantai?

"Tapi, aku juga bisa memasak. Aku pernah ikut kursus memasak dengan nenekku selama setahun. Biarkan aku bekerja di dapur, ya?"

Ia memicingkan mata ke arah wanita yang sekarang terlihat memohon padanya. Ah, sungguh gerah rasanya menghadapi wanita-wanita seperti ini.

"Kalau tidak mau. Angkat kaki dari tempat ini. Pintu tak pernah terkunci."

Belum sempat wanita itu buka suara, cepat-cepat ia kembali ke dapur, meninggalkan wanita itu menggerutu.

"Uh, menyebalkan! Kalau bukan karena aku penasaran dengan resepnya, aku tak mau melakukan ini. Jadi tukang pel lantai? Halo, ini pekerjaan termenyebalkan sedunia. Dasar! Tapi mau bagaimana lagi, aku tetap harus bertahan ...."

**

Seharian ini dirinya benar-benar merasa lelah. Selain karena memang restoran selalu penuh, juga karena wanita itu sering sekali membuat tensi darahnya naik. Sebab, wanita itu tak pernah berhenti bertanya "kapan aku akan diajarkan cara membuat bubur?"

Ia berkali-kali menepis bayangan bagaimana pemilik rambut keriting itu antusias dengan pekerjaan yang ia lakukan. Sungguh terlalu. Bagaimana mungkin ia membagi resep rahasianya dengan orang lain? apa wanita itu bodoh atau memang tidak bisa berpikir dengan benar? Melihat bagaimana wanita itu sangat bersemangat sesungguhnya sangat membuat ia semakin tak sabaran untuk melakukan rencananya.

Satu pikiran yang selalu mengganjal adalah ketika dia dan wanita itu terasa familiar. Ia tak pernah yakin dengan apa yang dipikirkannya sebab selalu ia hilangkan pikiran itu jauh-jauh. Tak ingin berlarut-larut dan membuatnya lupa keadaan.

Untuk membuat pikirannya jernih akan lebih baik baginya untuk bekerja. Bekerja adalah hal yang sangat ia cintai, terlebih lagi dapur dan tempat pemotongan. Dengan langkah yang berat dan penuh pemaksaan, ia bangkit dari tempat tidur empuknya dan bersiap keluar. Sebelum menutup pintu, ia sempat meraih jaket dan merapikan rambut belah tengahnya di depan cermin. Setelah puas dengan penampilan, ia meraih pisau dan kapak yang selalu disimpannya dalam kamar.

Bersiap untuk pemotongan.

"Sudah siap?"

Lelaki botak itu mengangguk cepat.

"Tidak dibius, 'kan?"

Lelaki yang hari ini kembali memakai baju lusuh itu menggeleng. Air mukanya terlihat tenang dan penuh tekanan disaat bersamaan.

"Memang tidak pernah dibius, Tuan."

Ia mengangguk dan berkata, "Iya, bahkan ayam pun tak pernah dibius ketika dipotong. Ini sama saja."

"Iya, Tuan, mari."

Mereka berdua masuk ke dalam tempat pemotongan yang luas dan dipenuhi darah yang sudah mengering di lantainya. Ruangan itu terasa amis dan juga menyesakkan.

Ia menghirup napas dalam-dalam. Setelah melepas jaket dan menyinsingkan lengan baju, ia meraih kapak dan berjalan mendekat pada seorang wanita berumur 17 tahun dengan kulit seputih susu dan wajah yang tak bisa dibilang tidak cantik. Bibirnya tipis, alisnya juga tipis, dan tulang pipinya tidak begitu terlihat. Meskipun begitu matanya yang agak bulat membuat wajahnya menarik. Parjo menemukan wanita itu di jalan saat pulang ke restoran beberapa minggu yang lalu. Tapi, itu tidak penting sekarang. Wanita itu melotot ke arahnya dengan suara yang diredam oleh lakban di mulutnya. Ia menghela napas lagi. Setelah memakai sarung tangan, ia bersiap mengambil kapak dan ...

TUK!

PAK!

Kepala milik si wajah cantik itu menggelinding di atas lantai. Dengan mata membeliak menahan sakit. Lega sekali perasaannya sebab tak ada hambatan yang terjadi. Setelah penghilangan kepala, ia langsung melanjutkan dengan pengulitan. Dengan gerakan cepat ia menguliti tubuh yang tidak tertutupi apapun itu. Proses langsung dilanjutkan pada perebusan setelah tubuh itu selesai dipotong menjadi bagian-bagian kecil. Ia tidak langsung mengeluarkan isi perut karena isi tersebut akan dikeluarkan nanti.

Sungguh malam yang melelahkan baginya. Ia hanya berharap agar daging wanita itu alot dan empuk. Iya, semoga.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top