9 | Know and Naive
Author Note:
Sebenarnya nggak mau ganti POV, tetapi dikarenakan adanya pemindahan antar jiwa karakter. Alur waktu baik sebelum dan setelah ganti POV akan tetap bersifat maju.
POV yang diganti yaitu :
POV pertama Reader si pelaku utama >> POV ketiga serba tahu.
Warning: Ai akan lumayan OOC di sini karena situasi yang dialami [Name]. Kalau tidak diwajarkan, itu hak kalian kok. Hanya sekadar mengingatkan :)
Happy reading!
• • •
Mungkinkah ini tantangan yang sesungguhnya?
Kulihat Mikaze tidak ada lagi di ruangan pameran ini. Kerumunan pengunjung pameran pun semakin padat. Gadis yang ada di hadapan Roberto meraba lukisan itu dengan tatapan sendu. Ia mengelus lengannya, mungkin merasakan hawa keberadaan Roberto.
Aku harus menghentikan Roberto. Dia tidak boleh seenaknya merasuki jiwa seseorang--- mungkin saja niatnya bukan begitu, tetapi tidak ada yang tahu situasi ke depannya, kan?
Dengan cepat, kakiku menghampiri gadis itu.
"Kau menyukai lukisan ini?" tanyaku mengalihkan perhatian gadis itu dari pigura tersebut.
"Ya, aku suka," jawab gadis itu tidak melepas pandangannya sama sekali.
Lain halnya, aku memandang Roberto tanpa mengucap sepatah kata pun (dan bermaksud menggunakan bahasa isyarat lewat tatapan), tetapi Roberto sepertinya tidak menangkap maksudku.
"Ikut aku," desahku kepada Roberto berkomat-kamit tanpa suara.
Yes! Akhirnya dia melihatku juga. Entah aku bisa bernapas lega dulu atau belum, setidaknya dia menangkap petunjukku.
Roberto pun dengan berat hati menghampiriku, terlihat dari sirat sepasang maniknya yang tidak segan meninggalkan gadis asing itu.
"Kau mengenal gadis itu?" tanyaku kepada Roberto dengan volume kecil, takut dikira berbicara sendirian.
Roberto terkesiap sejenak lalu berkata, "Tidak, kok! Dia sangat cantik, jadi aku ingin mendekatinya."
Sepayah-payah kemampuanku sebagai cenayang, aku takkan mudah tertipu oleh makhluk sepertimu, bung!
Aku melipat tangan, hendak mendengus pelan. "Ucapanmu tidak konsisten dengan matamu. Mata semestinya... tidak bisa berbohong."
Roberto pun menunduk, sepertinya tidak lagi bisa mengelak.
"Aku akan membantumu dengan sebuah syarat," ucapku menawarkan perjanjian dengan mengulurkan tangan, "bagaimana kalau aku meminjamkan tubuhku kepadamu?"
Ini hal yang beresiko, bahkan aku merasa sedang mempertaruhkan diriku sendiri. Selama sang hantu belum dipulangkan secara paksa (berbeda dari kasus Hijirikawa yang diusir oleh Mikaze), sepertinya tidak masalah. Aku tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin aku mengajaknya pulang (baca: menyegel) tanpa melakukan sesuatu yang diingininya.
"Boleh? Apa tidak apa?"
Roberto mungkin berbeda dengan hantu wanita sangar kemarin. Dia masih bisa bertanya begitu, jadi kuanggap dia masih memiliki sisi kesopanan.
Aku mengangguk. "Kau hanya punya waktu selama setengah jam. Setelah waktumu berakhir, kau harus memulangkan jiwaku ke semula."
Aku mengenakan kalung pelindungku. Benda ini akan menjadi penjamin ragaku. Semoga dia akan memegang janjinya.
"Lalu syaratnya?" Roberto menanyakan tawaranku lebih lanjut.
Dengan berat hati, aku berkata, "Kau harus pulang dan menerima penyegelanku setelah mengembalikan ragaku."
Roberto terbelalak. Aku tahu betul ucapanku tadi termasuk kejam, teruntuk makhluk halus.
Kini aku jamin dia merasa terusir, tetapi cepat atau lambat pun, dia juga tidak akan nyaman berkelana di dunia yang fana ini.
"Baiklah. Sebelumnya, terima kasih."
• • •
Third POV
Mikaze pun kembali memasuki ruangan pameran setelah mengakhiri panggilan dengan Shining melalui ponsel. Shining menanyakan perkembangan [Name] dalam menghadapi hantu yang bersemayam di kamarnya. Kaki Mikaze yang terbalut pantofel hitam mengitari sekeliling ruangan pameran. Mencari [Name], juga Roberto.
Manik cyan-nya berhasil menangkap eksistensi [Name]. Gadis itu sudah sibuk bercengkrama dengan gadis lain. Mikaze mendengus. Baru saja ditinggalkan selama dua puluh menit lebih lima detik, gadis itu telah bertindak semaunya sendiri.
"Kau nggak seharusnya bersantai-santai," tegur Mikaze menarik lengan [Name].
Biasanya gadis itu akan mengangguk kaku dengan menuruti ucapannya karena telah mengetahui posisinya--- menurut Mikaze--- yang ternyata tidak sejalan dengan pemikirannya. Gadis itu malah menatap sinis dirinya.
"Jangan ganggu perbincangan kami!" seru [Name] menepis genggaman Mikaze.
Sempat menatap telapak tangan lebih dulu, Mikaze akhirnya hendak mendelik [Name]. "Jadi kau nggak sadar diri, tujuanmu ke sini sebenarnya untuk apa?"
"Yang kau cari bukan aku. Jadi, jangan menggangguku. Ayo kita pergi saja dari sini!" [Name] pun hendak menggandeng tangan gadis itu, meninggalkan ruang pameran.
Mikaze berdiam diri, tidak langsung mengejar [Name]. Mencerna penuh informasi yang ganjil dari [Name]. Mikaze pun mendapatkan hipotesa yang tidak ingin ia yakini, tetapi dirasa masuk akal.
Antara [Name] dirasuki secara paksa atau gadis itu mengizinkan Roberto menggunakan tubuhnya.
"Dasar ceroboh. Inilah mengapa perempuan tidak semestinya menjadi cenayang," gumam Mikaze akhirnya ikut meninggalkan pameran seni.
Mikaze menyelipkan jemarinya ke dalam saku. Tiada raut cemas sama sekali yang menghiasi wajahnya. Seolah-olah dia tahu, kejadian seperti ini akan terjadi. Tadi ia hanya terdiam selama dua menit. Baginya, menemui [Name] versi Roberto tidak akan begitu sulit dalam rentang waktu singkat.
Gotcha. Mikaze berhasil menemukan kedua gadis itu. Mereka telah berada di sebuah taman yang dikhususkan bagi pengunjung pameran. Duduk di sebuah bangku panjang yang sepi eksistensi.
[Name] yang tengah dirasuki raga Roberto berkata, "Kau tahu, aku sangat merindukan goresan tangan darimu. Lukisanmu, senyumanmu...."
"Benarkah?" tanya lawan bicaranya tampak tersipu. "Padahal kita baru saja berkenalan."
"Be-benar juga, tapi aku adalah mahasiswi jurusan seni. Diam-diam, aku selalu mengagumi karyamu yang terpajang indah di kampus," ungkap Roberto memegang kedua jemari gadis itu, "menari-nari dalam warna. Aku tahu, kau punya kesempatan untuk melukis."
Mikaze mendengus di balik semak-semak yang menjadi persembunyian sementara. Ia tidak meresapi sedalam apa pembicaraan antara kedua orang barusan. Ia hanya ingin drama yang dilantunkan Roberto berakhir.
"Aku boleh 'kan, bersandar di bahumu?" pinta Roberto memiringkan kepalanya. "Hari ini sangat melelahkan sekali."
Gadis itu mengangguk pelan, membiarkan kepala [Name] yang tidak berdosa itu menjadi jejak kesempatan dalam kesempitan.
Lain halnya, Mikaze memandang arloji. Sudah hampir tiga perempat jam berlalu terhitung dari kepergiannya sejenak.
Mikaze tidak yakin gadis itu merelakan tubuhnya dipinjam dalam waktu lebih lama lagi. Yang tidak disangkanya, sebuah kalung yang terlihat familier terlempar asal di rerumputan. Mikaze tahu, [Name] suka meraba-raba kalung itu. Kalung konvensional yang punya kekuatan mistis.
Tangan Mikaze mengenggam kalung itu. Ia beranjak dari semak-semak, ditemani sedikit dedaunan yang menjejaki sekujur tubuh.
Mikaze menggeleng, tidak menyangka.
Roberto yang menggunakan tubuh [Name] seenak hati mendekatkan wajahnya dengan gadis itu. Membuat pengunjung mana pun yang melihat mereka seperti pasangan lesbian, meskipun sebetulnya berbeda jiwa. Mikaze yang masih diberikan akal budi, tentu saja menentang kejadian yang jika dilanjutkan tanpa ada peran penengah menjadi sangat menjijikkan.
"Hentikan hal bodoh yang kaulakukan. Sekarang juga," semprot Mikaze mendorong tubuh [Name] jauh-jauh dari gadis itu hingga terjatuh dari bangku.
"Maaf, Anda... sepertinya terlalu kasar kepada seorang perempuan," tegur lawan bicaranya.
Mikaze berkacak pinggang. "Lebih baik kau pergi. Biarkan aku berurusan dengannya."
"Tapi---"
Roberto menatap Mikaze pasrah, lalu berkata kepada gadis itu. "Anna, pergilah. Selamat tinggal."
Gadis bernama Anna pun meninggalkan taman. Dan kini, taman didominasi sepenuhnya oleh Mikaze dan Roberto.
"Huhuhu, sakit sekali. Kejamnya, padahal ini tubuh seorang gadis." Roberto mengerucutkan bibir.
Mikaze mengambil selembar kertas kuning yang dicoret dengan tulisan hitam pekat dari kuas.
"Hantu sepertimu sangat cocok menjadi penerus penghuni neraka. Bagaimana kalau aku mewujudkannya dengan membakar kertas mantra ini?" sindir Mikaze sambil mengulurkan tangan.
Roberto menyeringai kaku. "J-jangan! Kakak [Name] sudah berjanji kepadaku untuk menyegelku ke dunia yang tenang di sana."
"He-eh? Kurasa kau melakukan sebuah kesalahan. Kalau tidak dijawab dalam hitungan ketiga, akan kupulangkan paksa. Satu---" ancam Mikaze dengan menantang segera menyalakan pemantik.
Keringat dingin pun mengucur di pelipis Roberto. "Aku tidak menepati janji! Aku sengaja melewati batas waktu yang dijanjikan! Maaf, aku sungguh-sungguh bersalah!"
Mikaze mengangguk mantap. Mengumpulkan pecahan bayang-bayang masalah yang telah terjawab.
"Bagus. Cepat kembalikan," suruh Mikaze melempar kalung [Name] kepada Roberto.
Roberto pun menuruti hal tersebut. Jiwanya telah terlepas dari raga [Name]. Seketika, raga [Name] pun lemas. Tidak ada kekuatan yang menaungi raga, keseimbangan untuknya berdiri pun goyah. Mikaze pun langsung mendekap tubuh [Name].
"Gadis ini...." Mikaze menatap [Name] yang telah tak sadarkan diri.
"Su-sudah, 'kan? Aku tidak akan mengganggu lagi. Jangan coba-coba melakukan mantra jahanam itu kepadaku!" seru Roberto melenyapkan diri dari taman itu.
Mikaze pun memandang [Name] lagi. Sebuah pertanyaan terlintas dari Mikaze. Sebuah kebingungan yang tidak bisa dijawabnya dengan asumsi apapun.
"Kenapa aku tidak bisa membiarkanmu sendirian?" gumam Mikaze beralih memandang taman yang telah menyepi.
Meski telah berucap demikian, pemuda itu tidak menemukan jawabannya.
• To be Continued •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top