8 | Date and Test
Sebelumnya, aku telah memahami jalur dari mansion ke mall ; maksudku menuju bioskop. Hijirikawa banyak membantuku. Aku disuruh datang lebih dulu karena Mikaze ada urusan sebelum datang ke sini. Tentu saja mall yang dituju tidak jauh dari mansion karena bisa kulalui dengan menggunakan bus.
Tunggu.
Adegan menunggu di bioskop seperti di drama-drama bisa dibilang kencan?
Apa alasannya mengajakku ke bioskop?
"Kamu cantik hari ini. Aku sampai tidak bisa mengalihkan pandanganku terhadapmu."
Idih. Apa yang sedang kupikirkan, sih?!
Yang ada, aku malah merinding membayangkan ucapan dari delusiku sendiri!
Mana mungkin Mikaze akan bilang seperti itu.
Sekadar mengingatkan, ini bukanlah serial komikal cantik yang mengutamakan warna-warni keindahan masa kasmaran.
Kenyaatannya, ini hanya sejejak kehidupanku yang absurd.
"Hai, kakak cantik~"
Tepat di sebelah Mikaze, sesosok makhluk halus menyapaku dengan ramah.
Hantu itu mendekapku. Aku terkejut lalu menarik diri. Di belakang hantu itu, Mikaze melipat tangan. Punggungnya bersandar di dinding studio yang memajang poster film.
"Hari ini aku akan mengujimu. Pulangkan dia dengan caramu."
"Eh?"
"Dia tidak mau pulang karena masih ingin melakukan suatu hal di sini. Dia hantu yang bersemayam di kamarku," ucap Mikaze menyelipkan jemarinya ke dalam saku jas biru pekatnya.
Aku menggaruk tengkukku. "Kukira kau maniak pembasmi hantu---"
Mikaze melirik sinis terhadapku. "Aku bisa saja mengusirnya sesegera mungkin, tapi seharusnya kau bersyukur karena aku menyisihkan waktuku untuk membimbingmu."
Hantu pemuda itu berlari menuju poster yang memajang ilustrasi sepasang kekasih--- yang sudah dipastikan adalah film romantis.
"Kita nonton yang ini, ya!" seru hantu itu terlihat girang.
Aku menyeringai kaku.
Tidak punya kuasa yang bisa kulakukan untuk menyanggah apapun, aku pun segera bungkam seribu bahasa. Dia menantangku. Akhirnya, aku mengerti alasan Mikaze menanyakan soal ketertarikanku terhadap drama romantis semalam.
Shaman's Life
8 | Date and Trouble
Uta no Prince-sama (c) BROCCOLI, Sentai Filmworks, Kuruhana Chinatsu
By agashii-san
.
.
.
Penerangan di studio masih menyala karena film masih belum ditayangkan. Tidak banyak penonton yang duduk, tetapi kudapati sejumlah orang yang melewati deretan kursi kami dengan tatapan heran.
Aku tahu persis di balik tatapan heran mereka--- penonton lain.
Bagaimana tidak? Aku dan Mikaze tidak duduk bersebelahan dengan dibatasi oleh sebuah kursi kosong yang dihuni sang hantu, tetapi tidak kelihatan dengan sepasang mata telanjang. Akibatnya, kami dianggap sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Belum lagi, posisi duduk kami terletak paling tepi meskipun termasuk deretan teratas.
Tidak lupa, kami menyiapkan kudapan sebaskom kertas bermotif vertikal merah-putih berisi popcorn ukuran jumbo dan dua gelas cola.
"Kau menyukai drama romantis?" tanyaku memecah keheningan.
Hantu itu bernama Roberto. Aku berani jamin itu bukan nama aslinya. Mungkin semacam nick-name kesukaannya.
"Tentu. Aku butuh teman menonton, tapi Mikaze-san sepertinya tidak tertarik."
Mikaze mendengus. "Fiksi hanyalah fiksi. Apa sih yang bisa kausanjungkan dari tayangan?"
"Tidak ada salahnya kalau ingin menonton, 'kan? Cih, nikmati saja, apa susahnya?" gerutuku malas memandang Mikaze.
Aku mulai melahap beberapa butir popcorn. Lelehan mentega yang melebur di indera perasa membuatku ketagihan untuk suapan kedua. Padahal layar bioskop masih menampilkan iklan sebelum memulai filmnya. Ya, mungkin aku sulit menahan lapar. Persetan dengan jaga image, kedua laki-laki itu juga bukan kekasihku.
Akhirnya penerangan mulai dipadamkan sehingga meredupkan segala ruang. Membiarkan sumber cahaya didapatkan dari sorotan layar bioskop. Tidak mengherankan bila tidak banyak penonton di studio ini, apalagi didominasi pasangan kekasih.
Sepanjang tontonan di bioskop, suasana di antara kami seharusnya hening bila tidak ditemani Roberto. Roberto cukup ekspresif dalam menonton (meskipun dia tidak bisa diam dengan menanyakan kelanjutannya dan berakhir kuacuhkan).
Mikaze tidak mengucap sepatah kata pun dengan tatapan datar. Aku heran, dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan tertidur--- menguap atau memejamkan mata dengan pose terkantuk-kantuk--- meskipun filmnya sudah berlalu setengah jalan. Persis seperti patung kalau manik cyan-nya tidak berkedip.
Memastikan Mikaze tidak menyadari tatapanku kepadanya, aku segera menyeruput cola. Sejujurnya karena keributan Roberto, aku bahkan tidak paham amat alur ceritanya. Samar-samar, kudengar isakan.
Ah, pelaku itu adalah Roberto.
Sang pemeran utama wanita tertabrak mobil dan berada di dekapan pemeran utama pria.
"Wanita itu tidak boleh mati! Hiks! Aku nggak akan pulang dari bioskop ini kalau sampai sad ending!"
Aku menyeringai kaku. "Roberto, ini 'kan hanya film---"
Roberto menatapku, masih dengan linangan air mata. "Tetap saja... hiks."
Tiada satu pun dari kami yang bersusah payah memberikan selembar tisu kepadanya. Toh, dia tidak terlihat.
Mikaze pun melirik kami sepintas, menepuk pundak Roberto. Aku pun ikut terdiam. Mengambil suapan popcorn lagi.
Yang jelas, aku ke sini tidak sepenuhnya untuk beesenang-senang. Melainkan karena sebuah misi. Aku harus memulangkan Robert, hari ini juga.
• • •
Aku ingin menyalahkan penulis skripnya, meskipun itu haknya untuk menentukan akhir dari sebuah kisah.
Kenapa filmnya sad ending, hah?
Kenapa?!
Ini berbahaya bagi nasibku.
Aku membenamkan kepalaku di sandaran kursi yang berada di hadapanku. Sepanjang aku menunggu penonton lain keluar, kemesraan pasangan di sana sepertinya semakin intens. Sang gadis kebanyakan menangis bombay usai tontonan itu, sedangkan pacarnya menghibur dengan berbagai cara--- baik memeluk atau melontarkan ucapan yang menghangatkan hati.
Tepat ketika aku mengangkat kepalaku, mataku memandang sesuatu yang tidak mengenakkan. Tepatnya karena aku sedang bersama dua orang yang sudah kukatakan, bukan kekasihku. Bahkan kalau pun bersama kekasih, aku akan merasa canggung saat melihatnya.
Sepasang kekasih tengah berciuman.
Ya Tuhan, mereka seolah-olah tidak punya tempat lain yang cocok untuk melakukannya.
Aku berpura-pura mengabaikan pemandangan itu dengan mengambil tas lempang yang tersampir di sebelah kursiku.
"Kakak...."
Tepat ketika aku menoleh, wajah Roberto ternyata sangat dekat denganku. Kalau aku tidak langsung mengelak, mungkin bibirnya bisa saja menyentuh pipiku. Memang dia hanya hantu, tetapi tetap saja aku tidak mau. Mungkin dia hanya terbawa perasaan.
Satu kata dari kejadian barusan; bahaya.
Mikaze langsung beranjak dari kursi penonton. Menarik lenganku. Aku mendongak terhadapnya.
"Kuharap kau tidak berlama-lama membiarkan hantu aneh ini berkeliaran," bisik Mikaze.
Aku mengepalkan tanganku. Aku juga ingin secepat mungkin memulangkan Roberto.
"Kalian mau ke mana?" tanya Roberto menghentikan langkah kami, berada di belakang.
"Kau masih ingin di sini? Katanya ingin melihat pameran seni?" tanya Mikaze menyelipkan jemarinya ke dalam saku mantel cokelat pekat.
"Habisnya kukatakan tanpa sadar karena merasa sedih, sih," gerutu Roberto, lalu memandangku. "Lalu... soal ke pameran tentu saja aku mau. Sudah lama sekali aku tidak pergi! Kakak akan pergi bersama kami, 'kan?"
Aku mengangguk kaku. Kakiku tanpa sadar telah tergerak--- berdiri membelakangi Mikaze. Untuk sementara, aku tidak boleh berdekatan dengan Roberto.
"Jangan dibawa berlarut-larut, ya. Kita 'kan masih bisa bersenang-senang!" timpalku tidak mau terlihat tidak menanggapinya.
Roberto pun sepertinya tidak menyadari bahwa aku sedang menarik jarak. Ia tersenyum, lalu mengikuti kami di belakang.
• • •
Pameran.
Aneka lukisan antik dari berbagai pelukis terkenal terpajang dengan megah. Aku tidak begitu tahu soal nama-nama pelukis, tetapi aku cukup mengagumi sisi estetika dari goresan cat air itu.
"Indah, ya," ucap Roberto, tetapi menatap pilu sambil menghadap lukisan.
Aku berdiri di sebelahnya. Diam-diam hendak menebak, arti di balik tatapan kesedihan yang ia tunjukkan. Dengan mengetahui apa yang menyebabkan hatinya terluka sepertinya bisa menjadi petunjukku untuk memulangkannya. Tanpa sadar telah larut dalam lamunan pencapaian misiku, rupanya Roberto tidak lagi berada di sebelahku.
Aku hendak memutar arah mencarinya. Namun tanpa kusadari, manikku telah membola. Roberto... sedang berhadapan dengan seorang gadis asing. Seolah benar-benar telah mengenal gadis itu di masa sebelum kematiannya.
Wajahnya begitu dekat, tangannya merangkul punggung sang gadis.
Yang tidak kusangka lagi, Mikaze tidak ada di dalam ruang pameran ini.
Mungkinkah... ini benar-benar ujian yang harus kuhadapi sekarang?
• To be Continued •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top