3 | Untold and Desires

Pemandangan seperti ini--- toko buku--- ialah surga duniawi bagi kutu buku. Hanya saja ketika aku melewati rak ini, ini surga buat penggemar shoujo alias serial cantik.

Sayangnya, aku tidak terlalu tertarik dan menjelajahi rak lainnya. Beragam buku baru yang dapat dibaca tentunya sebenarnya membuatku betah berlama-lama di sini. Walau sebenarnya aku hanya perlu mencari buku tentang pepohonan.

Kapan-kapan, aku akan datang lagi ke sini. Sendirian pun tidak masalah karena dari mansion hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit.

Jujur, aku berbohong bila tidak merasa iri; di desa hanya ada sebuah perpustakaan daerah. Kebanyakan buku di sana telah kubaca semua dan isinya tidak lagi diperbaharui. Setelah membayar di kassa, aku menghampiri Ichinose yang menunggu di depan toko buku.

"Maaf lama menunggu," ucapku menghampirinya.

Ichinose menggeleng pelan. "Tidak masalah."

Aku menggigit bibir bawahku. Haruskah kutanyai soal tali jemuran itu? Aku penasaran, tetapi bisa jadi benda itu ada karena kebutuhan.

"Ichinose-san, kalau boleh tahu, siapa yang akan menggunakan tali jemuran itu?" tanyaku gugup sambil membasahi bibir.

"Oh. Itu si Masato yang titip," jawab Ichinose.

Aku mengernyitkan dahi. "Eh? Bukannya di atap mansion sudah ada tempat khusus menjemu---"

Ichinose terdiam sejenak lalu mengusap dagu. "Mungkin untuk digunakan sebagai keperluan lain."

"Begitukah...."

Tanpa tahu kelanjutan untuk menanyakan hal lain, aku memutuskan untuk diam saja. Hari ini aku akan mampir ke kamar Hijirikawa. Lebih baik menanyakan kepada penitipnya langsung. Namun bisa jadi ini karena aku kelewat paranoid, apalagi benda seperti itu rawan dengan tindakan mengerikan seperti bunuh diri, misalnya.

Aku tidak bisa tidak berpikir negatif sejak mendengar tawa-tawa milik perempuan waktu itu. Aku yakin itu bukan halusinasi.

Namun, mungkin itu sekadar firasat saja, 'kan?

• • •

Ketika kami menjumpai ruang tamu, Camus duduk di sofa sambil menonton televisi. Aku melirik pula laki-laki menyebalkan yang kutemui semalam sedang berjalan dari dapur sambil menyomot pisang. Namun kalau diingat-ingat, lipatan matanya yang sengaja dihitamkan sudah rapi.

Refleks, aku mengembungkan pipi--- menahan tawa karena teringat insiden semalam.

"Ada yang lucu?" tanya Ichinose, yang disadari pemuda berambut jabrik segera melirik sinis ke arahku.

"Tidak juga," sahutku yang langsung mengibas-ngibas tanganku di depan dada.

"Tokiya, apa kaukenal gadis aneh ini? Dia tertawa sendiri," ucap pemuda itu menunjuk ke arahku.

Aku meliriknya sinis. "Aku bukan gadis aneh!"

Ichinose berkata, "Kurosaki-san, Namanya [Full Name]."

Sekarang, akhirnya aku mengetahui nama pemuda menyebalkan itu.

"Tch. Cuma kau sendiri yang tidak mengenalnya, baaaka (bodoh)," ledek Camus menekan 'a' pada ucapan 'baka'  sembari meneguk tehnya.

"Kau mengataiku bodoh?" Kurosaki mengepalkan tangan--- terpancing provokasi Camus.

Ichinose mendesah lalu meletakkan kantong belanjaan di atas meja. "Barang kalian sudah kususun dalam kantong yang terpisah. Jangan bertengkar, malu-maluin penghuni baru saja."

Mereka pun telah sibuk satu sama lain karena telah menerima kantong berisi barang titipan.

"Kira-kira Hijirikawa-san ada di kamar tidak, ya?" gumamku melirik sederetan pintu dari lantai dasar.

"Ketuk saja pintunya. Dia termasuk peka dengan suara dari luar, kok," sahut Camus.

Aku mengangguk mantap. "Terima kasih. Semuanya di sini sangat baik, ya. Tidak seperti seseorang yang semalam keasyikan dandan sampai mengusir seenaknya," sindirku sengaja melirik Kurosaki.

Kurosaki mendengus. "Cih. Tidak seperti penghuni lain, ada saja gadis agresif yang nekat masuk ke kamar laki-laki dengan seenaknya."

Ichinose dan Camus sama-sama melirik kami bergantian dengan tatapan bingung. Dasar laki-laki kurang ajar! Bisa-bisa aku dikira berbuat yang aneh; sengaja merusak kesan pertamaku.

Aku mengernyitkan dahi. "Hah? Aku masuk ke kamarmu karena ada suara, bukannya tanpa alasan!"

"Tuh, 'kan dia telah mengaku juga. Diam-diam kau pasti suka meraba-raba tubuh laki-laki, 'kan?" Kurosaki menampilkan senyum miring.

"Sepertinya mereka lebih akrab ketimbang perkiraan," tebak Camus.

"Nggak loh, ya!" sahut kami serempak usai Camus berucap demikian.

Kalau aku tidak mengaku, memangnya mereka percaya kehadiran seorang perempuan lain?

Aku emosi. Benar-benar kesal. Karena aku terbawa emosi dan tidak terpikir untuk mengendalikannya, aku segera menampar pipi Kurosaki. Tepat di pipi kanan.

"[N-Name]-san?" Ichinose terbelalak pun menegurku karena terkejut, tapi aku tidak peduli.

"Jangan seenaknya menipuku begitu. Asal kautahu, aku tidak takut sama sekali denganmu." Aku segera mengambil kantong belanjaan yang kutaruh di lantai lalu menaiki anak tangga.

Kusadari Kurosaki telah bergeming; memegang pipi bekas tamparanku. Selagi aku telah memutuskan masuk ke kamar, aku tahu cepat atau lambat, dia akan segera mengumpatku dengan sumpah serapah. Aku sadar bahwa ini berawal dari kesalahanku karena aku duluan menyindirnya, tetapi alasannya karena aku tidak terima dia mengusirku dengan kasar.

Lalu... haruskah nanti aku minta maaf kalau situasinya sudah tenang?

Tidak. Tidak mau!

Aku segera menghamburkan diri ke ranjang empuk. Mendekap diri dengan guling. Entahlah, kini untuk berpikir jernih terasa berat untukku. Dan, aku memang terlalu lelah untuk berpikir.

• • •

Lagi-lagi aku melupakan Hijirikawa. Buku yang barusan kubeli akan menjadi bahasanku dengannya; tepatnya aku ingin berteman dengannya melalui buku ini. Sepertinya dia juga baik hati, meskipun raut wajahnya selalu terlihat kelelahan.

Kutatap jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Sepertinya dia ada di ruangannya. Jika tadi aku tidak bersilat lidah dengan Kurosaki, seharusnya aku bisa mampir kebih awal. Lain kali, aku tidak akan memancing pembicaraan dengan Kurosaki. Aku siap menganggapnya orang asing.

Kamar Hijirikawa--- yaitu pemilik kamar nomor tiga. Aku mendekap buku lalu berlari kecil menuju ruangannya. Tentunya, aku harus turun tangga sekali karena ruangan kami berbeda lantai. Kuketuk kamarnya tiga kali.

"Hijirikawa-san?"

Selang beberapa detik berikutnya, tiada balasan. Mungkin saja karena aku memanggil dengan suara pelan. Aku berdeham beberapa kali, bersiap-siap mengeraskan suara.

"Hi-ji-ri-ka-wa-san? Apa kauada di dalam?"

"Masuklah, tidak dikunci," ucap Masato dari dalam kamar.

Aku pun segera memutar kenop pintu lalu masuk ke ruangannya. Tidak lupa kutaruh sepasang sandal yang kukenakan di sisi rak sepatunya. Kulihat sekeliling. Kesan awalku tentang suasana ruangan Hijirikawa; gelap dan memiliki temperatur rendah. Alhasil, aku telah merinding kedinginan.

Meskipun gelap, kutemui setitik cahaya yang berasal dari lampu meja belajar.

"Maaf. Apa aku... mengganggu?"

Hijirikawa menoleh. Ia membenarkan posisi bingkai maniknya. "Tidak juga. Aku sedang penat belajar."

"Begitukah. Belajar apa?"

"Mengerjakan kumpulan soal tes seleksi pegawai sipil." Hijirikawa meletakkan pensil mekaniknya.

"Ka-kalau begitu, mau bahas soal pepohonan denganku? Aku baru saja membeli bukunya, loh!"

Hijirikawa tersenyum miring. "Rupanya dirimu sangat antusias soal pepohonan itu, ya?"

Aku mengernyitkan dahi lalu terkekeh. "Tentu saja! Kau suka pohon, 'kan? Begini-begini, aku juga suka me---"

Hijirikawa mendorongku; membuatku mau tidak mau bersandar di dinding.

"Cenayang sepertimu rupanya polos sekali, ya? Aku ragu kaubisa menjalankan tugasmu."

Aku mengerjap. Hanya Ichinose yang kuberitahu soal itu. Hijirikawa pun berubah drastis ketimbang yang kutemui tadi pagi. Pemuda ini bukan dirinya. Firasatku buruk.

"Kau... siapa?" tanyaku panik.

Hijirikawa terkekeh. "Hijirikawa-san yang biasa kaukenal."

Dia kira aku bisa tertipu?

Aku mengepalkan tangan. "Kau... apa hantu yang waktu itu?"

Yang tertawa-tawa meski tidak berhasil kutangkap eksistensinya.

"Jackpot. Bagaimana kalau kita 'nikmati' permainan hingga malam tiba?"

"Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi! Keluar dari tubuh Hijirikawa!" seruku mendorong tubuh Hijirikawa hingga terbaring di atas tempat tidurnya.

Aku meraba tengkukku. Gawat. Kalungku ketinggalan di kamar!

Makhluk astral yang mengendalikan Hijirikawa tertawa segera bangkit setelah kudorong.

"Kalau begitu, aku akan menghabisimu dulu lalu mengabulkan permintaan pria ini dengan senang hati."

Aku mengernyitkan dahi. "Permintaan...."

"Dia ingin mati, sangat menginginkannya. Aku tidak boleh berlama-lama lagi."

Tangan besar Hijirikawa mencengkram leherku. Oksigen yang kuhirup semakin menyempit. Hantu ini unggul karena masuk ke dalam raga Hijirikawa. Dalam posisi terjepit, kekuatanku pasti sulit untuk menyainginya.

"K-kembalikan, uhuk!"

"Tidak akan!"

Seorang cenayang akan menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan misinya; yaitu mengembalikan makhluk yang bergentayangan ke asalnya. Dengan kemampuan untuk terbebas, aku menyentil dahinya berkali-kali. Makhluk astral bisa merasakan nyeri ketika bersemayam di raga meskipun bukan miliknya.

"Dasar gadis sialan! Berani-beraninya!" ujar makhluk astral itu memegang dahinya yang memerah.

Aku tersenyum sesekali terbatuk-batuk. Kupegang leherku yang terasa nyeri.

"Aku siap menghajarmu dengan paksa kalau begitu." Aku meregangkan sendi-sendi tubuh yang terasa kaku.

Maafkan aku, Hijirikawa.

Aku sama sekali tidak berniat melukaimu.

Mungkin setelah peristiwa ini, dia tidak akan tertarik berbicara denganku lagi. Dan, membayangkan hal itu terjadi sangat menyakitkan; sejak aku memutuskan dia sebagai teman pertamaku di Tokyo.

Namun, Hijirikawa berjalan menuju meja belajar yang menampung deretan vas bunga sengaja dipecahkannya--- menimbulkan kepingan putih yang tidak beraturan dan acak di lantai.

Jemari Hijirikawa mengambil satu kepingan kaca yang cukup besar.

"Selamat tinggal, [Name]-chan."

Meskipun raga Hijirikawa dikuasai oleh gadis itu, samar-samar aku bisa melihat sosoknya yang asli--- melalui pantulan kaca jendela.

• To be Continued •

A/N:
Question tidak selalu diberikan secara berkala, jadi mungkin akan dicantumkan berdasarkan situasi tertentu ♡

Kayaknya daku mesti nyantum rating, mungkin ini dikhususkan mature (lagi) untuk sejumlah adegan kekerasan dan gambar yang mungkin rada-rada nyeremin :">

See ya on the next part~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top