23 | Friendship and Mystery

Inspektur Mikaze mengusap dagu. "Aku enggan menyatakan ini, tapi Kurosaki-san sedang koma. Dan ...."

"Dan?" Ichinose bertanya, tak sabaran.

"Ada hantu wanita paruh baya terus berada di sisi Kurosaki-san. Entah sejak kapan, terus menemaninya."

Aku terdiam sejenak. Selama ini, aku mengira Inspektur Mikaze selalu membasmi hantu seperti mesin penyedot debu. Kalau diingat-ingat, kasus Roberto, kukira dia hanya sekadar menahan diri demi mengujiku. Kemudian muncul lagi alasan yang lebih logis: demi penghematan energi, memastikan diri selalu efisien dan efektif.

"Kenapa Mikaze-san tidak mengusirnya?" tanyaku mengepalkan tangan erat-erat. "Kita harus memastikan Kurosaki-san baik-baik saja."

Iris cyan Mikaze menyipit. "Tidak. Dia bukan hantu biasa. Dia tak melukai Kurosaki-san. Diam saja seperti angin, meskipun mata kami bertemu."

Ichinose menyela, "Bisa saja hantu itu memang sosok yang mengenalinya."

Dia belajar dari pengalaman. Semua hantu yang mendatangi mereka pasti punya ikatan. Ikatan yang membelenggu bila tidak diselesaikan sebelum dipulangkan ke dunia kekal.

"Apa hantu bisa pulang sendiri tanpa mantra cenayang?" tanyaku memandang langit indigo pekat. Kini tiada sebutir bintang pun terlihat. Remang-remang penerangan Tokyo cukup terang untuk mengaburkan segala benda langit yang awalnya bisa terlihat.

"Bisa. Apa tadi terjadi olehmu?" Inspektur Mikaze lantas bertanya balik.

Mau tidak mau, aku hanya bisa membenarkan--- gelagapan--- menyadari Ichinose masih berada di sebelahku. Namun, jawaban itu melegakan batinku. Kalau pun Ichikawa memang belum pulang, aku yakin dia takkan sekejam awal bertemu. Setidaknya, dia takkan mengeluarkan aura membunuh. Kejadian di dalam mobil sangat di luar dugaan; berakhir baik-baik saja sudah sangat melegakan jiwa dan raga.

"Mari kita jenguk Kurosaki-san!" ajakku menuju pintu utama rumah sakit. Setengah melangkah, pintu otomatis terbuka. Namun, pintunya tertutup kembali karena Inspektur Mikaze mencegat lenganku.

"Jangan pergi dulu. Tidak baik bagiku untuk curiga, tetapi berbagai fakta yang kukumpulkan cukup meyakinkan," tukas Inspektur Mikaze.

"Maksudmu?" tanyaku sebenarnya setengah tidak sabaran. Debaran jantungku memang sudah meningkat drastis. Terutama melihat rupa wanita itu.

"Sepuluh tahun yang lalu, ibu Kurosaki meninggal akibat kecelakaan mobil yang disengaja. Aku curiga bahwa dialah hantu itu. Ditambah konflik keluarga Kurosaki yang lumayan runyam."

Tubuhku seketika terasa lemas, tetapi berusaha tetap berdiri tegak. Selama ini aku tidak mengetahui asal-usul Kurosaki. Selama ini aku selalu mendapatinya sendirian. Menjinjing bass hitam yang dicintainya. Dia telah berada di mansion sebelum aku tiba. Sesaat, ucapan Saotome kembali memenuhi benakku.

Bahwa kami– penghuni mansion– pilihan-pilihan spesial darinya.

"Jadi ... apa kita tidak bisa berbuat apa-apa?" tanyaku merasakan kedua pipiku basah.

Ichinose menepuk bahuku. "Kurosaki-san pasti bisa bertahan. Apa kau masih sanggup menjenguknya?"

Aku mengangguk, menyeka pipi yang basah. "Karena kita sudah berjuang untuk tiba di sini. Jadi, kenapa tidak?"

× × ×

Jam besuk hanya tersisa satu jam lagi. Perawat setempat menghimbau kami agar tetap selalu tenang dikarenakan hari semakin larut. Mikaze berpesan bahwa aku dan Ichinose yang pergi menjenguk saja; hanya dua tamu per ruang yang yang dipersilakan menjenguk pasien. Namun, bila seandainya hantu wanita itu berulah, aku harus segera menghubunginya sesegera mungkin.

"[Name]-san, jenguk duluan saja. Akan kususul setelah membelikanmu makanan di konbini terdekat," tutur Ichinose berhenti melangkah bersamaku.

"Tidak perlu repot-re–" Hatiku berusaha membantah, tetapi tidak dengan ragaku.

Ya. Perutku berbunyi. Malu, aku sempat membuang muka. Semua aktivitas dalam sehari yang penuh menguras energi cukup membuang banyak kalori. Ichinose segera tahu nasib perut keronconganku pun terkekeh. Aku tidak tahu dia masih memang baik-baik saja atau berpura-pura terhadapku, tetapi rautnya tidak sekelam saat kami bersama di mobil.

"Jangan khawatir. Aku juga lapar, jadi kau tidak akan makan sendirian."

Kuputuskan untuk menurut saja karena sudah tidak bisa mengelak. Akhirnya, aku melangkah sendirian menuju elevator. Tiba-tiba saja aku merasa gugup. Lelaki itu memang pasti belum sadarkan diri, tetapi bagaimana dengan hantu yang terus menetap di sisinya? Apa dia akan seagresif Ichikawa karena aku seorang perempuan? Rasa panik terus melandaku, berakhir mengacak rambut seiring pintu elevator terbuka.

Berbekal petunjuk nomor ruangan, aku tahu Kurosaki ditempatkan di ruang VIP. Tanpa siapapun selain dirinya yang dirawat. Tersedia sofa lebar yang bisa diduduki dua orang dewasa. Televisi layar tipis berukuran 32 inci tidak dalam keadaan menyala. Hanya ada penerangan remang-remang. Uap air mengepul; pertukaran karbondioksida dan oksigen dari paru-parunya. Melihatnya tidak berdaya membuatku terpaku.

Selama dua menit aku berdiam diri. Memandangi sekitar. Namun, tidak ada eksistensi "wanita" yang disebut-sebut Mikaze. Aneh. Apa dia terlalu lelah hingga terus berhalusinasi tentang hantu? Semoga saja tidak. Setelah kuputuskan suasana dinyatakan aman, aku mengempaskan bokongku di kursi sandar sebelah tempat tidurnya. Bersebelahan dekat nakas yang menampung buket bunga.

Baru saja beberapa bulan berlalu sejak ia masih bisa meledekku saat dirawat. Tak jarang, ia membuatku kesal sepanjang waktu. Kini, kondisinya berbalik. Tapi dia jauh lebih parah. Entah beragam kejadian yang terus mengalaminya, tanpa disadari banyak pihak. Kepalanya terbalut kain perban, meninggalkan jejak darah yang sudah mengering. Kecelakaan itu menyerang di sana.

"Kurosaki-san bodoh! Cepatlah bangun! Melihatmu tidak sadarkan diri sangat menyebalkan," gerutuku memandangi dirinya yang masih memejamkan mata.

Tangan kirinya dipasangi selang infus untuk menyalurkan cairan tubuh. Pelan-pelan, aku memegang punggung tangannya. Ada jejak darinya yang masih terasa hangat. Urat nadi yang terus berdenyut. Dia harus tetap hidup. Kalaupun kami tidak bertemu lagi setelah melawan hantu yang mengganggunya, tidak masalah.

"Entah kenapa kurasa lebih nyaman bila kau meledekku atau mengajakku bertengkar. Meskipun itu karena kau membenciku, sedangkan aku menyukaimu. Oleh karena itu, aku bodoh juga."

Saat pintu ruang Kurosaki dibuka dari luar, refleks jemariku melepas genggaman. Menoleh Ichinose yang sudah menjinjing kantong kertas. Semilir aroma karaage menggoda indera pengecap.

"Sepertinya tidak terjadi masalah selama aku pergi," kata Ichinose segera duduk di sofa seberang, setelah memberiku bento kemasan.

Kuharap ia tidak melihat diriku mengusap punggung tangan Kurosaki dari sisi kaca pintu.

"Aku yakin Inspektur Mikaze pasti tidak berbohong, tetapi sekarang sama sekali 'dia' tidak terlihat," sahutku mulai menyumpit nasi dengan potongan daging.

"Mungkin ada saat-saat tertentu. Lebih baik tetap waspada," saran Ichinose. "Setelah jam besuk berakhir, aku akan mengantarmu kembali ke mansion. Kau bisa menjenguk lagi setelah kuantar keesokan harinya."

Aku menyela, "Tidak apa. Aku bisa pergi menggunakan bus. Kau punya kesibukan lain yang perlu diurus, bukan?"

Kebaikan dirinya terhadapku tidak pernah berkurang sedikitpun. Ichinose tertegun sejenak karena aku menolak ajakannya. Namun, ia perlahan tersenyum tipis.

"Wakatta. Kita akan selalu jadi teman, bukan?"

Jemarinya terulur. Tanpa keraguan pun kujabat kembali. "Tentu!"

Selama ini, aku yakin tidak akan bisa membencinya; sepersekian waktu pasti kusesali bila sampai melakukan sebaliknya. Kami tidak lagi berbicara setelah itu – sibuk mengisi perut lapar masing-masing. Bahkan hingga aku selesai makan lebih dulu, menaruh kemasan bento plastik yang sudah kandas ke dalam keranjang sampah.

× × ×

Setelah kunjungan sekali di malam yang melelahkan, aku menggantikan Mikaze menjaga Kurosaki. Meskipun terkadang Camus datang dan Hijirikawa bersedia jaga bergilir, aku menetap lebih lama. Selain memastikan situasi baik-baik saja, aku selalu menantikan sosok hantu yang dimaksudkan Mikaze. Hantu wanita paruh baya yang selalu mengganggu benakku.

Kini, Hijirikawa menemaniku sembari membaca buku pepohonan. Bukan dariku, tetapi koleksi lainnya. Kuharap dia tidak membaca tentang pohon cabai; seketika mengingatkanku bahwa dia dulu pernah nyaris kehilanga nyawa.

"Hijirikawa-san?" sapaku pelan, setengah berbisik.

Iris biru Hijirikawa melebar. "Hm? Ada apa?"

Mungkin Hijirikawa bisa membantuku. Ketimbang tidak menggali informasi sama sekali.

"Apa kau ... mengetahui keluarga Kurosaki? Terutama tentang ibunya?"

Hijirikawa tertegun sejenak lalu mengusap dagu. "Sedikit."

Meskipun jawaban "sedikit" tidak cukup membantu dalam sekali dengar, tetapi "sedikit" bisa jadi relatif dari sudut pandang seseorang.

"Ceritakan sedikit kepadaku. Kalau berkenan," kataku menyelipkan helaian rambut ke sisi telinga.

Sebelum ia menanggapi perkataanku, sebuah tarikan napas diambilnya dalam-dalam.

"Ibu Kurosaki menghilang sejak dia berusia sembilan tahun. Ada rumor kalau dirinya dicekik hingga tewas kehilangan napas. Selain itu, Kurosaki-san pernah dicelakai beberapa kali. Salah satu yang terparah karena kecelakaan lalu lintas."

Alisku tertaut. "Dan kini ... terjadi lagi."

Tuhan, apa yang sesungguhnya kesalahan pemuda ini di masa lalu hingga menderita terlalu banyak?

"Lalu saat membawakan pakaian ganti, aku menemukan ini."

Sebuah foto keluarga; ayah, ibu, dan seorang balita. Kuyakini itu Kurosaki. Sayangnya, sisi wajah ibu di foto itu telah disobek. Ada jejak kuning kecokelatan. Foto itu berwarna hitam putih. Cetakan lama. Ada segelintir jejak keganjilan saat melihatnya. Entah siapa yang merobek. Apa Kurosaki yang melakukannya?

Setelah kupikir-pikir, kehidupan seorang Kurosaki Ranmaru lebih pelik ketimbang bayanganku semata.

- To be Continued -

A/N:

File part ini sempat dikira hilang, huhu :'3

Ternyata malah diketik di ms. word ketika wifi sedang tidak bersahabat denganku.

Terima kasih sudah membaca

With love,

Agachii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top