22 | Obsession and Chance

Sepertinya dia termakan ancamanku. Setidaknya, mobil yang dikendarai sudah berjalan lebih mulus dan stabil. Alih-alih goyah seenaknya. Apalagi jalanan kota semakin dekat.

"Kau bisa saja membunuhku sekarang. Tapi karena tingkah bodohmu diusir oleh selembar kertas ini, kau takkan bisa berpisah dengan tenang. Sensei-mu pasti juga segera lupa denganmu," gertakku lagi.

Kertas mantra bisa mengusir dengan cepat. Meski penuh paksaan. Hantu yang bergentayangan akan lenyap, terbakar, lalu menjadi puing abu. Kepergian termalang yang diingini manusia, di dunia yang fana.

Sebenarnya, aku hanya setengah menggertak. Sisanya kebenaran. Bertindak tega tidaklah sesuai dengan prinsipku, tapi Ichinose pasti akan tersiksa. Dan, aku tidak mau menambah perkara buruk kepadanya.

"Jangan! Tch, sialan," umpatnya balik.

Aku menyimpan kertas mantra ke dalam saku. "Baiklah, tidak akan kulakukan. Ternyata kau bisa menyetir dengan baik, ya? Padahal status aslimu masih murid biasa, 'kan?"

Agak aneh kalau aku sedang berbicara kepada Ichinose yang dirasuki seperti ini. Namun, apa boleh buat. Gadis itu enggan keluar dan terus menempel semaunya.

"Aku sudah bisa menyetir sejak akhir tahun SMP. Aku memang salah merasuki raga. Harusnya kau saja. Tapi ... tidak bisa. Aku kesal melihatnya terluka. Aku jijik denganmu yang terus masih menempel di sisinya."

Alisku tertaut dalam. Menahan kekesalan yang memuncak. "Tidak, kau takkan bisa menguasaiku. Yang bisa melihatmu kini hanya aku, seorang cenayang."

Saat aku tertidur pun hanya pura-pura agar tidak ketahuan telah melihatnya. Kalau saja dia masih hidup, aku pasti sudah menjambak rambutnya. Dia yang terobsesi, tervonis olehku; seratus persen pasti membenciku luar-dalam.

"Aku bukan murid biasa. Peraih beasiswa terbaik, juara bergilir dua tahun berturut-turut, dan setiap harinya mendapat surat cinta," tambahnya lagi kini memojokkan posisi mobil ke sisi trotoar.

Bagus. Dia terpancing untuk mengutarakan emosinya.

"Tipe siswa teladan," sambungku singkat, padat, dan jelas. "Hidupmu sempurna, ya."

Ia menggeleng. "Nyaris. Hanya kurang cinta. Ternyata sensei malah memilihmu. Kenapa? Kenapa aku harus tertabrak mobil saat itu!? Kenapa?! Kenapa?!"

Aku terdiam sejenak. Ternyata dia mati akibat kecelakaan. Pasti sangat kesepian dan menyakitkan. Perasaannya belum sempat terutarakan.

"Kita takkan tahu kapan hidup dan mati di dunia. Tapi setidaknya, kau ingin sensei berinteraksi denganmu, 'kan?" tanyaku tersenyum tipis.

Ia berdecak. "Sensei ... Belum tentu mau bertemu denganku."

Aku menjitak kening--- yang seharusnya raga milik Ichinose--- dan aku akan meminta maaf begitu jiwanya kembali seperti semula.

"Ya sudah. Kuusir saja kau dengan ini. Aku tidak punya waktu untuk hantu malang yang pesimis," gertakku lagi setengah mengeluarkan kertas mantra dari saku.

"Baiklah! Baiklah! Bagaimana aku bisa bicara dengannya? Merasukimu? Tidak akan."

Karena merasuki jiwaku sangat berisiko, hal itu akan jadi tindakan terlarang. Aku tidak mau mendengar ceramah sepanjang jalan kenangan dari Inspektur Mikaze. Aku membuka dasbor Ichinose.

Kedua sudut bibirku terangkat. Bagus. Dia memilikinya.

"Lakukanlah. Setelah itu, pulang dengan tenang atau tidak, itu pilihan hatimu. Tapi inilah yang bisa membuatmu terkait dengan sensei."

Sebenarnya, cinta tak terbalas sangat menyedihkan. Bagai bunga sakura yang bermekaran, tapi berguguran saat tak lagi terasa indah. Saat semua rasa sirna ditelan kekecewaan.

× × ×

Dear sensei,

Aku tahu kau tak mengingatku. Meski aku mati-matian berusaha untuk itu. Diingat.

Dulu, sensei pernah membawaku ke UKS karena aku jatuh pingsan di hari pertama ujianku seleksi. Aku masih murid SMP kelas 3 saat itu.

Aku, Ichikawa Aiko, peraih beasiswa berturut-turut sebagai juara umum seangkatan kelas 1 SMA.

Banyak siswi lain senang mendekatimu, begitu juga denganku. Tapi aku kembali berpikir, "Aku ingin terlihat baik di matamu. Tidak hanya dari tampang saja."

Secara tak sadar, perasaan itu memotivasiku jadi semaju ini.

Namun, ternyata hidupku tak lama lagi saat itu.

Mobil yang dikendarai sopirku oleng, menabrak truk. Sehari sebelum Valentine tiba tahun lalu.

Ketika aku tidak lagi bisa menyentuh, merasakan, menikmati segalanya sebagai raga yang hidup. Aku merasa diriku hancur. Tak berdaya. Terbuang.

Namun, setidaknya aku berkesempatan menulis ini. Dibantu gadis yang kaucintai, tapi malah menolakmu. Dia gadis yang aneh. Tidak seperti yang kubayangkan. Hanya saja, aku mulai mengerti kenapa dia bisa dicintai.

Karena dia tulus.

Dan hatinya jujur.

Sampai jumpa, sensei
Ichikawa Aiko

× × ×

Ichinose menatap haru. Dia tersenyum tipis. "Apa dia masih ada di sini?"

Aku menoleh ke arah jok belakang. Ia tak lagi seseram dulu. Ia duduk tenang. Netranya memandang jendela.

"Masih. Tapi tubuhnya sudah mulai memudar," kataku pelan meski memungkinkan untuk terdengar olehnya.

"Ichikawa-san, apa kau mendengarku?"

Sedan kembali dalam keadaan stabil melintasi jalanan. Usai Ichikawa menyelesaikan surat dan keluar dari raga gurunya itu, Ichinose baru tersadar beberapa menit kemudian. Seakan baru selesai tidur panjang. Aku menyuruh Ichinose membaca surat dan membiarkan Ichikawa menetap, memastikan diriku tak mengingkari janji.

"Sensei." Ichikawa terisak, sepertinya menahan haru karena pertama kalinya bisa berbicara secara tidak langsung. "Dia takkan mendengarku. Tapi aku mendengarnya."

Aku tersenyum getir. "Dia menyapamu juga, Ichinose-san."

Ichinose memutuskan untuk percaya kepadaku--- karena hanya aku yang bersamanya berucap, "Maafkan sensei yang terlambat menyadarimu."

Ichikawa tertegun. "Kenapa sensei minta maaf?! Ini bukan salahmu sama sekali. Bukan kau yang menabrakku!"

Aku menyampaikan ucapan Ichikawa barusan.

"Dan terima kasih karena tidak membunuh kami. Meskipun aku yakin kau tahu perasaanku kepada [Name]-san," tambah Ichinose mengangkat kedua sudut bibirnya. Terlihat sirat tulus dalam lubuk hatinya.

Ichikawa menutup setengah wajahnya. Sebanyak apapun air mata yang melinangi, kurasa ia tahu perasaannya takkan bisa terbalas lagi. Penolakan halus yang menyakitkan, tetapi juga mau tidak mau hanya bisa mengikhlaskan.

"Aku tahu! Aku tak bisa lagi seperti kalian." Ichikawa memandang kedua telapak tangan yang semakin transparan. "Tapi ... biarkan aku melakukan ini sebelum benar-benar menghilang!"

Mengambil kesempatan dalam kesempitan, ia memeluk Ichinose dari belakang. Meskipun beralas jok, kemudian menoleh--- mendaratkan kecupan singkat di pipi Ichinose. Tanpa merasa malu dengan eksistensiku di sebelah pemuda itu.

Jangan tanya bagaimana reaksiku--- sebagai satu-satunya manusia yang bisa menyaksikan kejadian barusan.

"Um ... [Name]-san?" Ichinose memanggilku.

Aku menyahut kaku, "Y-ya?"

"Pipi kananku tiba-tiba terasa dingin. Begitu juga dengan pelipisku yang berkeringat." Ichinose mengusap sekitar dahinya dengan tisu.

"Mungkin hanya perasaanmu saja karena tahu ada hantu di dalam mobil. Hahaha," tuturku merasa canggung.

Tidak, tidak aneh kalau dia tahu yang sebenarnya--- meskipun sedannya ada pendingin ruangan sekalipun.

Saat aku menoleh ke belakang, Ichikawa tak lagi berada di sana. Ia dipastikan menghilang. Padahal aku belum memulangkannya secara resmi. Tapi sepertinya tidak masalah. Jarak menuju rumah sakit tak lagi jauh, jadi aku bisa menanyakan Inspektur Mikaze lebih lanjut.

"Syukurlah sekarang sudah baik-baik saja," kataku mengelus dada.

Alis Ichinose tertaut dalam. "Kita pasti akan sampai lebih cepat kalau aku tidak terlalu tertekan."

Aku menggeleng cepat. "Berhenti menyalahkan dirimu, Ichinose-san. Semua ini terjadi luar kehendak kita."

Lelaki berambut biru pekat itu mengangguk. "Kurosaki-san pasti merasa sangat beruntung kalau mengetahuimu rela melepas liburan demi menjenguknya."

Pipiku terasa panas--- tanpa kupandang cermin tengah, pasti sudah semerah buah tomat. Ah, lagi-lagi, teringat momen konyol di masa lalu. Dulu, Kurosaki menjengukku (tapi lebih condong menjahiliku) saat dirawat opname bersama Hijirikawa.

"Kuputuskan untuk tidak menyerah dan bersaing secara sportif," ucap Ichinose begitu mantap.

Aku menganga syok. "Heeeh?!"

"Bila ia siuman dan kudapati perasaanmu tersia-siakan, saat itulah aku akan meraih hatimu kembali."

× × ×

"Kalian terlambat lima belas menit dari perkiraan." Inspektur Mikaze menunggu kami di depan bangunan belasan lantai. Dia tak salah. Oleh karena itu, aku sudah menyiapkan deretan kalimat untuk menceritakan sebabnya.

Setelah Ichinose selesai memarkir sedannya, kami bergegas untuk menuju ruangan Kurosaki dirawat. Namun, lelaki berambut gondrong cyan itu sudah menunggu lebih dulu. Seperti sudah menantikan eksistensi kami sejak lama.

"Dengar, Kurosaki-san bisa saja takkan siuman dalam waktu dekat. Sehebat apapun kemampuan medis saat ini."

Aku mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu? Bagaimana kondisinya?"

Intonasi Inspektur Mikaze selalu datar dalam situasi apapun. Tapi aku tahu, ia sedang mengatakan kabar buruk. Aku tidak ingin mendengarnya, tapi juga penasaran. Aku takut kehilangan kesempatan melihat pemuda itu lagi.

Inspektur Mikaze mengusap dagu. "Aku enggan menyatakan ini, tapi Kurosaki-san sedang koma. Dan ...."

"Dan?" Ichinose bertanya, tak sabaran.

"Ada hantu wanita paruh baya terus berada di sisi Kurosaki-san. Entah sejak kapan, terus menemaninya."

- To be Continued -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top