2 | Next Door and Emo Boy

Bersiaplah, diriku!

Aku membuka pintu ruangan nomor enam.

Sepersekian detik kemudian, ruangan itu kosong melompong. Gelap. Tak bereksistensi.

Bukan di sini?

Kalau bukan, suara tawa barusan itu dari mana?

Kakiku melangkah lagi menuju sekitar lorong. Kutatap pintu nomor lima cukup lama. Apa jangan-jangan dari sini?

Memutuskan secara cepat, aku langsung bergerak menuju ruangan nomor lima.

Brak!

Di dalam hati, aku segera berjanji untuk meminta maaf kepada penghuni di sana.

"Ketuk du---" Terdengar suara pemuda di dalamnya ketika pintu kamarnya terbuka secara paksa.

Aku segera tergopoh-gopoh menghampiri arah seruan pemuda--- pemilik suara itu. Namun demi apapun, melakukan tindakan nekat ini kelihatan bodoh bagi seorang penghuni baru.

Aku yakin, gara-gara kenekatanku barusan, sang pemilik suara jadi menggagalkan smokey eyes-nya-- terlihat garis hitam tercoret kelebaran hingga ke pelipis kiri.

Benyot pula.

Meskipun aku sebisa mungkin menganggap penampilan itu dari pantulan cermin sebagai masalah sepele, tetap saja aku berakhir menyembur tawa. Kini, pemuda itu lebih mirip badut nyasar ketimbang rocker.

Alhasil, pemuda itu memandangku lekat-lekat.

"Lucu, ya? Sadar, semua ini gara-gara siapa?" tuduh suara berat semi serak itu melontarkan sarkas, yang langsung menghentikan tawaku seketika.

Aku bungkam sejenak sembari mengusap air mata yang telah menitik. "Maaf. Tidak sengaja tertawa."

"Siapa kau?" Sepasang netra berlainan warna itu kini menatapku sinis.

Kurasa aku harus memperkenalan diriku sebelum diusir secara tidak hormat.

"Namaku [Full Name] yang tinggal di ruang nomor tujuh. Maaf, tadi aku langsung masuk ke sini karena aku mendengar suara tertawa seorang perempuan...."

"Lalu kalau bukan kau yang tertawa, siapa? Terus kau ini jenis kelaminnya apa? Bencong?"

Aku menggigit bibir. "Y-ya perempuan, lah! Yang jelas bukan aku yang tertawa! Kalau aku tahu, tidak mungkin aku ke sini!"

Pemuda berambut jabrik keabu-abuan itu mengambil kapas yang basah oleh face toner lalu diusap ke pipi. "Aku tidak tahu kau berbohong atau jujur soal itu, tapi keluar sana."

"Aku tidak berbohong!" bantahku lalu melirik tangan pemuda itu bergetar ketika hendak mengambil kuas. Akibatnya, kuas eyeliner-nya justru terjatuh ke lantai.

"Kau... baik-baik saja?" tanyaku melihat air mukanya berubah drastis; pucat pasi.

Pemuda itu langsung berdiri, mendorong bahuku. Tanpa sempat aku bereaksi, pintu kamarnya tertutup rapat disertai suara bantingan keras. Aku mengerjap beberapa kali dengan posisi jatuh terduduk; syok sesaat.

Aku... diusir karena menanyakan kondisinya?

Apakah tadi aku menanyakan sesuatu yang salah?

• • •

Semilir teh beraroma sitrus tercium olehku. Aku turun menapaki anak tangga, lalu menyadari adanya pemuda berambut gondrong hijau pucat tengah menuang cairan kecokelatan dari teko baja di dapur. Dia melirikku sekilas dengan sepasang manik biru terangnya, tetapi kembali menuang teh ke dalam cangkir hingga penuh.

"Hai," panggilku.

"Kau si penghuni baru, ya?" tanya pemuda itu tanpa menolehku.

Aku mengangguk pelan. "Ya. Mohon bantuannya."

Pemuda itu tidak langsung merespons. Lain halnya, terdengar lagi suara anak tangga. Muncul lagi eksistensi lain--- pemuda berambut biru dengan mole di bawah mata kanannya--- melangkah dengan lamban sambil membawa buku tebal.

Refleks, aku membungkukkan badan. "O-ohayou (selamat pagi)! Namaku [Full Name]. Yoroshiku onegaishimasu (mohon bantuannya)~"

Pemuda berambut biru kalem itu menatapku. Kudapati sepasang maniknya terlihat lesu--- menampakkan kantung mata yang menghitam. Aku tersenyum kaku ketika manik kami saling beradu.

"Hijirikawa Masato. Yoroshiku," sahutnya lalu mengambil botol plastik berukuran satu liter dari lemari pendingin.

Apa semua penghuni memang terlalu cuek atau suasananya yang terlalu canggung?

"[Name], apa kautahu letak pohon cabai yang bagus?" tanya Hijirikawa meletakkan cangkirnya ke dalam wastafel sambil membuka keran.

Pohon... cabai?

Aku menggeleng. "Aku pendatang, jadi masih kurang tahu seputar kota ini."

"Ah... souka (begitu)," ungkap Hijirikawa mendesah.

"Tapi... aku bisa beritahu soal jenis pohon lain. Begini-begini, aku paham soal tumbuhan!" timpalku menambahkan agar ia tidak pesimis.

Hijirikawa mengangguk kalem. "Baiklah. Kapan-kapan beritahu, ya. Kamarku ada di nomor tiga kalau ingin mampir."

Hijirikawa segera menaiki anak tangga, tetapi tidak sengaja berpapasan dengan seorang pemuda berambut biru pekat yang turun dari tangga yang sama. Menyadari hal itu, langkah pemuda itu segera terhenti setelah menggeserkan diri ke kiri.

"Camus, Masato, kalian ingin titip makanan apa? Aku mau ke supermarket," kata pemuda lain lagi itu melirik arloji sesaat setelah membiarkan Masato naik lebih dulu.

Pemuda berambut gondrong yang disebut Camus berkata, "Gula balok."

"Lagi?" tanya pemuda itu mengernyitkan dahi.

Camus menyipitkan maniknya. "Salah?"

Pemuda itu menggeleng cepat lalu menatapku. "Um, tidak. Ah, kau penghuni baru yang Saotome bilang, ya?"

Aku membungkukkan tubuhku di hadapan pemuda itu. "Y-ya. Namaku [Full Name]. Yoroshiku."

Aura pemuda ini jauh lebih positif daripada dua orang cuek barusan.

"Namaku Ichinose Tokiya. Omong-omong, kauingin titip barang juga atau ke supermarket bersamaku?"

Kulirik sekeliling. Camus telah selesai mengaduk teh lalu menghilang karena telah berada di beranda. Lain halnya, Hijirikawa mungkin telah kembali ke kamarnya. Aku mengangguk mantap. Lagi pula, aku bisa sedikit-sedikit memahami lingkungan kota besar.

"Boleh. Aku... mau ambil uang dulu. Tunggu, ya," ucapku sedikit kikuk.

Kakiku segera bergerak menuju kamar nomor tujuh--- ruanganku. Ternyata hari pertamaku tidak buruk juga.

• • •

"Kau seorang cenayang?" kejut Ichinose yang hendak mengambil potongan daging ayam kemas.

Aku menceritakan semuanya.

Setidaknya, ada salah satu orang yang mengetahui alasanku berada di mansion Saotome dan kurasa pemuda ini orang yang tepat.

Aku mendorong troli. "Ya. Aku bisa melihat, berbicara, bahkan melawan hantu."

Ichinose mengusap dagu, tidak langsung berkata apa-apa. Mungkin saja dia begitu karena dia takut kepadaku. Kami berjalan bersama menuju rak kumpulan cemilan. Ichinose melirik daftarnya lalu mengambil sekotak pocky rasa pisang.

"Itu bukan hal buruk, kalau kupikir-pikir. Mungkin kemampuanmu bisa menolong salah satu penghuni yang membutuhkan bantuanmu." Ichinose tersenyum tipis.

Aku terkekeh kaku. "Ja-jangan memaksakan diri kalau takut ke---"

Ichinose mencondongkan tubuhnya ke arahku. Otomatis, aku mundur beberapa langkah dan tanpa sadar aku terjebak karena bersandar di rak.

"Aku tidak takut. Senang mengenalmu," ucap ichinose dengan santai mengambil selai cokelat yang terletak tepat di atasku--- tepatnya karena rak itu karena terletak di atas puncak kepalaku.

Kualihkan tatapan dari dirinya. Kurasakan kedua pipiku memanas. Kaku, aku berjalan pelan. Di samping itu, kutemui sebuah etalase toko yang memajang banyak buku.

"[Name], apa kautahu letak pohon cabai yang bagus?"

Ucapan Hijirikawa terngiang di benakku. Ah, iya! Soal pepohonan!

"Ichinose-san. Aku ke sana sebentar, ya," ucapku menunjuk ke toko buku seberang.

Ichinose mengangguk pelan. "Baiklah."

Sepertinya aku bisa mengakrabkan diri dengan Hijirikawa dengan membeli sebuah buku tentang pepohonan. Dia juga mengizinkanku untuk mampir ke kamarnya. Bagaimana pun juga, dia tetanggaku. Bukankah tetangga seharusnya saling mendekatkan diri satu sama lain karena kedekatan lokasi, kan?

Namun sebelum aku menuju toko buku, alih-alih semuanya yang mendominasi adalah makanan, kutemui sebuah barang yang berbeda di dalam troli--- yaitu seikat tali jemuran.

Aku ingin bertanya, tetapi segera kuurungkan. Ichinose tidak boleh menunggu terlalu lama. Mungkin hanya kecurigaan belaka. Biasanya aku terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak.

Ya, semoga saja begitu.

To be Continued

☆ Question 2 ☆
Siapa yang akan menggunakan tali jemuran itu?
A. Camus
B. Kurosaki Ranmaru
C. Ichinose Tokiya
D. Hijirikawa Masato
E. Shining Saotome

(Cuman nambah satu lagi opsinya xD)

Di karya fiksi sebelumnya, saya bocori spoiler, di sini saya ajak kalian memprediksi ceritanya (padahal bisa aja gampang ketebak), buat lucu-lucuan aja sih :">

See ya on the next part~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top