18 | Conclusion and Worry
Bermalam di makam itu tidak indah. Apalagi ditemani hantu. Aku meratapi mentari yang menyisakan jejak yang semakin menipis.
Pasti ada jalan. Pasti.
Cecil keluar dari mobil. Tidak lupa dengan sebuket lili. Tanpa membiarkannya membukakan pintu untukku lagi, aku segera keluar. Kudapati Onno berada di belakangku. Diam dan patuh.
"Agak jauh untuk sampai ke makam ibuku. Masih tetap ingin ikut?" tanya Cecil menunjuk jalanan penuh makam yang lurus memanjang.
Aku mengambil ponsel dari dalam saku. Sinyal datang dan pergi. Bateraiku masih ada setengah.
"Kita tidak akan bermalam di sini. Tenang saja, aku akan minta bantuan Ichinose-san!" ungkapku mengangkat tinggi-tinggi ponselku.
Cecil menggapai ponselku, menghentikan diriku yang sedang berusaha mencari letak sinyal terbaik.
"Terserah saja. Tapi kalau kau memang tidak ingin, aku akan pergi sendirian. Tak perlu memaksakan diri, [Name]."
Aku menautkan alis. Tidak, bukan begitu. Kuurungkan mencari sinyal. Yang penting niat Cecil menemui ibunya lebih dulu. Aku mengangguk kaku.
"Tidak, kok. Kalau Onno ikut, tidak apa-apa, kan?" tanyaku melirik ke sisi kanan.
Cecil terdiam sepintas kemudian terkekeh, "Tentu saja. Kenapa tidak?"
Aku berjalan di belakang Cecil. Disusul Onno. Sejak keluar dari mobil, Onno tidak berbicara sepatah kata pun. Memang, tadi ajakanku sempat membiarkan wajahnya merona. Tapi setelah itu, ia tetap diam dan terus mengikuti kami.
Nisan demi nisan dilalui. Angin malam berembus sejuk. Ditemani penerangan seadanya dari ponsel. Sesekali belok ke kanan. Dan ditemui pula makam bernama "Aijima Kotomi".
Cecil menghampiri makam ibunya. Menaruh buket bunga tepat di hadapan papan nisan. Aku menatap dalam diam. Selangkah demi selangkah aku menjaga jarak untuk membiarkan Cecil menyapa ibunya.
"Onno, apa kau membenci Cecil? Apa yang kaupikirkan?" tanyaku melirik Onno.
Onno tersenyum tipis. "Kini tidak lagi. Dia bukan pemuda jahat seperti yang kupikirkan. Aku berpikir… nasib makamku seperti apa? Mungkin dibiarkan terbengkalai. Atau telah larut sebagai abu yang terbuang di laut?"
Mendengar soal itu, aku jadi teringat sesuatu.
"Soal itu, kurasa tidak. Cecil bahkan masih ingat dirimu. Tentu saja ia membersihkan makammu. Aku tahu dari ayahnya."
Onno mengerling. Ia menatap lekat-lekat Cecil yang mulai mencabut rumput liar yang menancap di sekitar liang kubur ibunya. Maniknya berkaca-kaca. Menitik perlahan. Kemudian hanyut dalam isakan. Meskipun ia tidak terlihat, aku tergerak untuk mendekapnya.
"Benarkah? Maaf. Maafkan aku selama ini. Maaf."
Aku menggeleng pelan. "Tidak apa. Apa hatimu sudah jauh lebih tenang?"
Onno mengangguk. "Aku siap menghilang. Meskipun aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. Bisakah kau pulangkan aku sekarang?"
"Sungguh? Apa kau ingin berpamitan dengan Cecil dulu?" tanyaku setengah tidak percaya.
Seukir senyuman menghiasi wajah Onno. "Tidak. Jangan pupuskan harapanku. Cepat, sebelum aku berubah pikiran!"
Aku bersyukur Mikaze tidak mendesakku mengunakan mantra pengusir. Sangat tidak etis. Dan tidak bersahabat pula. Aku menarik napas dalam-dalam. Mengucapkan kalimat demi kalimat yang memisahkan dirinya dari dunia fana. Mengantarnya ke dunia baru. Dunia yang kini harus ia lalui sejak ajalnya.
"[N-Name]?"
Aku membuka mataku ketika menyadari guncangan di kedua bahuku. Cecil kini yang berada di hadapanku. Ternyata aku setelah mengantar Onno, posisiku sudah dalam keadaan terduduk.
"Kau tidak apa-apa? Kukira kau pingsan!" Cecil langsung mendekapku.
Kulihat di mana pun, Onno tak lagi ada.
Aku berkata, "Tadi aku mengantar Onno pulang ke asalnya. Aku tidak apa-apa."
Cecil langsung melepas dekapan singkat. Memandangi angkasa yang gelap. Bintang jadi begitu cerah.
"Syukurlah. Tapi kita harus cari jalan pulang dulu."
Aku segera bangkit lalu mengambil ponsel. Mau tidak mau, seringai kaku menghiasi wajahku. Tiga belas panggilan tidak terjawab. Sembilan dari Kurosaki, dua dari Hijirikawa, satu dari Mikaze, dan sisanya dari Ichinose. Yang benar saja, Kurosaki mencoba menghubungiku sebanyak ini?
"Ada apa?" Cecil ikut mengintip ponselku.
Kuputuskan untuk tidak menghubungi Kurosaki karena tidak mau mendengar omelannya. Mungkin memang opsi pertama yang paling tepat; meminta bantuan Ichinose. Jariku kembali mengetuk layar.
Sinyal, jangan menghilang. Kumohon.
[[Name]-san? Kau di mana saja? Seisi mansion mengkhawatirkanmu karena keluar tanpa kabar.]
Aku terkekeh kaku, "Ano... aku dan Cecil pergi mengunjungi makam ibunya. Sekarang kami ingin kembali, tapi mobilnya kehabisan bahan bakar."
Ichinose mengembus napas. Kutahu dia masih tidak tenang, apalagi mendengar kabar buruk barusan.
[Hubungkan aku kepada Cecil. Loudspeaker juga boleh.]
Kuiyakan sesuai instruksi. Cecil tampak heran, tapi memulai pembicaraan dari menyapa teman sekamarnya itu.
"Ichinose-san, kami butuh bantuanmu. Tapi kalau tidak sempat kami bisa tidur di mo---"
[Tidak ada tidur-tiduran di mobil. Jangan menyarankan yang aneh-aneh. Kirimkan letak kalian sekarang agar bisa kulacak lewat GPS. Segera.]
Cecil tampak memberenggut. "Baiklah. [Name], kirimkan saja. Aku tidak paham caranya."
Aku menghela napas. Ternyata tidak salah meminta bantuan kepada Ichinose. Dia paham betul alasan kami tidak boleh tidur dalam mobil. Jelas saja, kami berbeda gender. Kami memang bukan anak di bawah umur, tapi tetap saja bila kelamaan berduaan di makam sangatlah tidak etis.
[Aku akan segera ke sana. Kalian tetap di sana, mengerti?]
• • •
Tapi mungkin saja tidak.
Setengah jam kemudian, Ichinose datang, tetapi tidak sendirian. Ia ditemani Kurosaki. Begitu aku tahu ada sosok berjabrik keabuan, tubuhku merinding. Kalau eksistensi hantu yang menjadi penyebab bulu roma berdiri, kini menurutku manusia tulen terlihat menakutkan di mataku.
Kurosaki keluar dari mobil dengan tidak elegan. Jelas, dia langsung membanting pintu mobil.
"Baka!" seru Kurosaki menatapku sinis.
Aku mendesis, takut-takut. "Apaan, sih? Aku tidak apa-apa, kok!"
Ichinose menengahi kami. "Tenang dulu. Cecil, [Name], kalian baik-baik saja, kan?"
Kurosaki berdecak. "Justru bersamanya sangat berbahaya. Kau tidak takut, apa?"
Tidak, tidak. Aku lebih bersyukur karena Cecil yang menemaniku meskipun telah melamarku berkali-kali.
"Cecil… tidak sejahat yang kau pikirkan. Kalau kau datang ke sini untuk menghakimi seseorang, maaf, aku tidak butuh," ucapku lalu membuang muka.
Ichinose menyela, "Sudahlah. Lebih baik kita pulang dulu. Cecil, soal mobilmu tinggali saja dulu. Besok akan kutemani mencari bahan bakar terdekat."
Tidak tersinggung akan ucapan Kurosaki, Cecil memilih menanggapi Ichinose. "Ayahku bisa menyelesaikan perkara mobilku ini."
Sambil mengiyakan, kami berempat kembali masuk ke dalam mobil. Aku duduk di sebelah Ichinose yang duduk di jok pengemudi, sedangkan Kurosaki bersama Cecil di jok penumpang. Suasana begitu sunyi. Tiada satupun yang memulai pembicaraan lagi.
• • •
"Atas semua yang kulakukan, maaf dan terima kasih," Cecil mengisi keheningan setelah kami keluar dari mobil.
"Kalau kau memang tulus berterima kasih, keluar sana," ucap Kurosaki berdecak singkat.
Ichinose menepuk pelan bahu Kurosaki. "Jangan ketus seperti itu. Dia anak Saotome-san. Kau tidak berhak mengusirnya."
Ucapan itu telak, tepat sasaran. Tidak berkutik, Kurosaki hanya diam di tempat. Sepertinya ia ingin berucap sesuatu, tetapi tertahan di tenggorokan. Dan berakhir tertelan dalam benak.
"Tanpa diusir, aku juga akan segera pulang. Kini ada yang harus kulakukan," ungkap Cecil tampak bersemangat.
Refleks, aku menyentuh pergelangan tangan Cecil. "Sekarang sudah malam. Besok saja."
Cecil terkekeh. "Tidak apa, laki-laki bisa bermalam di mana saja. Tapi…."
Aku menautkan alis. Padahal pertemuan kami tidak lama, tetapi dia sudah seperti bagian dari mansion ini. Ketika aku begitu gugup karena menganggapnya pemuda asal Timur Tengah. Ketika ada hantu yang mengganggu dirinya. Dan semuanya berakhir hari ini.
Demi apapun, renunganku sukses terjeda berkat sebuah kecupan singkat di dahi. Ini di luar dugaanku. Aku mengerjap syok.
"Maaf atas kelakuanku, [Name]. Lain waktu, aku akan melamarmu kembali sebagai orang yang lebih bertanggung jawab."
Kuraih dahi yang terasa panas.
"Cecil, kau…." Ichinose menjadi saksi mata hendak mengernyitkan dahi.
"Buruan, aku mau beres-beres, nih!" Cecil melangkah menuju pintu utama mansion, tetapi kerah bajunya dicegat Kurosaki.
"Apa-apaan perbuatanmu barusan?" tanya Kurosaki dengan intonasi rendah. "Kau sengaja melecehkan [Name] di depan kami? Tanggung jawab? Perlu kusiksa dulu agar kausadar?"
Sebelum tindakan manusia jabrik ini semakin menjadi, aku menengahi keduanya.
"Hentikan. Aku menganggap tadi sebagai salam perpisahan. Dan Kurosaki-san, kau bukan siapa-siapaku. Jadi sebagai tamu, harap tenang."
Kurosaki terdiam. Mungkin ucapanku kelewatan, tapi aku tidak punya pilihan lain. Kalau ia bertindak keterlaluan, Cecil bisa mengadu kepada Saotome. Lalu mengusirnya keesokan hari dengan tuntutan pemuda-malang-yang-disiksa-oleh-tamunya-sendiri.
Genggaman di kerah Cecil melonggar begitu saja. Kurosaki menatapku dengan tatapan tajam. Sepasang heterokromnya kini jadi tidak terasa sama. Tanpa berkata apapun, kakinya melangkah gontai ke dalam mansion. Pintu pun terbanting keras.
"Jangan dipikirkan. Kurosaki-san memang keras, tapi Cecil-san, tindakanmu tidak sopan kepada [Name]. Ini bukan Amerika," tegur Ichinose setelah menarik napas.
Cecil menyelipkan jemarinya ke dalam saku. "Amerika? Ada apa dengan Amerika?"
Tidak tertarik menjelaskan, Ichinose membuka kembali pintu mansion dari luar.
"Siap berberes mulai sekarang," tambah Ichinose masih memegang pintu dalam keadaan terbuka.
Cecil mengiyakan. Aku hanya ikut masuk dari belakang. Menapaki anak tangga. Ingin menghamburkan diri di dalam kamar. Namun, mau tidak mau tetap melewati kamar Kurosaki yang berjarak dua pintu sebelum kamarku.
Kenapa hatiku jadi merasa sepi?
Tidak tahu lagi, aku bergegas ke kamar tidur. Aku tidak mau tahu lagi akan dirinya.
• To be Continued •
Question:
Who will be the next target?
A. Kurosaki Ranmaru
B. Ichinose Tokiya
C. Camus
See ya on next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top